Selasa, 29 Mei 2012

Representasi Makna


Bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata cecak memiliki hubungan kausal dengan referennya atau binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Problema bahasa adalah problema makna.
Bahasa sangat berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem 'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan: representasi. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.


1.        AKSIOLOGI (NILAI) BAHASA
Istilah Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata axia yang artinya nilai dan logia yang artinya ilmu. Jika diartikan, aksiologi merupakan studi tentang nilai atau filsafat nilai. Karena di dalamnya membongkar sesuatu tentang nilai. Meski pun filsafat nilai sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno, istilah aksiologi itu sendiri merupakan istilah baru yang diperkenalkan oleh Paul Lapie and E. Von Hartmann pada abad ke-20.
Aksiologi secara mendalam membedakan antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai (value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau dirumuskan Ada = Sesuatu + Nilai. Oleh karena itu sifat Nilai selalu tergantung pada pengembannya yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilai bersifat parasitis.

HAKIKAT NILAI BAHASA
Hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu. Sulit dipahami jika tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Jika diaplikasikan terhadap nilai. Apa itu hakikat nilai? Berarti unsur yang harus ada sebagai syarat adanya nilai. Dari sini dapat diketahui bahwa ada unsur yang membuat nilai itu ada. Contoh, gitar itu jelek! Apakah kita tau nilai dari gitar itu? Sudah pasti, karena sudah disebutkan, yaitu jelek. Di situlah letak nilai. Nilai di sini memiliki arti netral, nilai tidak memihak, tapi mengidentifikasikan ini loh nilainya. Gitar itu bagus, jelek, atau sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu diadakan pembedaan, antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar jelek. Di mana nilainya? Jelas “jelek” nilainya. Di mana pengembannya? Jelas “gitar” pengembannya. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak: jelek, indah, samar, penyayang, tidak dapat disentuh, hanya dapat diketahui di sinilah letak kedudukan nilai. Sedangkan pengemban nilai tidak selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu sifatnya objektif. Contohnya yang material: gitar, batu, cicak, motor, sampah; dan yang immaterial: Tuhan, panorama, malaikat, langit, angin.

2.        EPISTIMOLOGI BAHASA
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
ASAL MULA BAHASA
Apabila kita menelusuri jejak kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima ratus ribu tahun yang silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung mengenai bahasa nenek moyang kita tersebut.
Cerita dari Mesir, bahwa sekitar abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan eksperimen terhadap bayi yang dibesarkan di hutan belantara dengan pola pengasuhan yang tanpa bersentuhan dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya “becos” yang berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan cerita ini, banyak orang Mesir yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang merupakan bahasa yang pertama dikuasai manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa yang pertama kali ada di muka bumi.
Dalam versi yang lain lagi, Goropus Becanus, seorang bangsa Belanda, mengemukakan pendapat bahwa bahasa yang dipergunakan oleh Adam adalah bahasa Belanda. Seorang filsuf Jerman, Leibniz mengemukakan pandangan bahwa semua bahas di dunia berasal dari bahasa Proto. Namun, baik pendapat Kemke, Goropus, maupun pendapat Leibniz tidak didukung oleh bukti bukti yang sahih, sehingga pendapat mereka dianggap sebagai hasil rekayasa imajinasi belaka.
Dengan kata lain, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya manusia yang pertama kali dalam menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena tidak berdasar pada fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Terdapat beberapa teori yang ada, bahwa bahasa bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat lisan, dan teori yang mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis.
Menurut pandangan yang menyebutkan bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Dalam kitab suci agama Islam misalnyaf disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya, termasuk kemampuan berbahasa (Q.S. Al Baqarah: 31 dan Q.S. Ar-Rum: 22).
Akan tetapi, lain lagi jika menurut kisah ‘Kejadian’ (Injil, Kejadian 2:19) bahwa manusia diciptakan dalam imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah satu dari sifat manusia.
Dalam kebanyakan agama diyakini bahwa Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan bahasa. Namun, berbagai kisah dalam agama-agama itu belum membantu untuk mengetahui dan mengungkap apa sesungguhnya bahasa, serta bagaimana manusia memulai penggunaan bahasa. Dalam pandangan beberapa aliran agama, sebut saja aliran kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy di daerah Banten Selatan (Provinsi Banten), diyakini bahwa nenek moyang mereka adalah cikal bakal manusia di dunia dan bahasa yang digunakan oleh nenek moyang mereka itu adalah bahasa Sunda seperti yang mereka gunakan saat sekarang.
Pandangan lain tentang asal mula bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah seorang filsuf Yunani yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam bunyi-bunyi alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi. Menurut pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi alam yang didengar manusia dan lingkungannya.
Sejalah dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.
Teori lain yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.
Teori-teori yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.
Suara yang sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”, orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle do”.
Teori yang lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha... ha...” timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit, bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.
Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.
Selain teoni-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

3.        ONTOLOGI BAHASA
Menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = Ilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakekat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani (kongkret) maupun rohani (abstrak).
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
  1. Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
  2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
  3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai – nilai khususnya etika.Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
CONTOH AKSIOLOGI (ETIKA) BAHASA DALAM HAL BERBOHONG
Secara umum diyakini bahwa bohong artinya mengatakan sesuatu yang tidak ada dasar realitasnya. Misalnya saja mengatakan ada badai di laut padahal tidak ada, mengatakan turut berduka padahal tidak berduka, mengatakan memiliki pacar padahal tidak punya, atau menyatakan orang miskin di Indonesia hanya 15% padahal 50%. Kebohongan juga bisa diartikan sebaliknya, yakni mengatakan sesuatu yang tidak ada padahal ada dalam realitasnya. Misalnya saja mengatakan tidak memiliki uang padahal punya, mengatakan tidak cemburu padahal cemburu, mengatakan tidak apa-apa padahal apa-apa. Cukup biasa terjadi mengatakan baik-baik saja padahal merintih perih karena tangan tergores pisau. Biasa juga seorang cowok yang membonceng pacarnya naik sepeda onthel mengatakan tidak capek meskipun nafas sudah hampir putus dibuatnya.
Kebohongan yang mungkin terjadi bisa sebanyak fenomena yang mungkin terjadi di dunia. Setiap fenomena bisa dibuat versi bohongnya. Oleh sebab itu, berbohong luar biasa gampang karena tinggal men’tidak’kan apa yang ada saja. Misalnya, ada petir dibilang tidak ada, merasa rindu tapi bilang tidak rindu, bilang tidak punya uang ternyata punya. Pendeknya, merupakan bohong bila bilang tidak pada yang ada, dan bilang ada pada yang tidak ada.
Contoh diatas merupakan etika yang tidak baik sehingga tujuan penyampaian tidak akan tercapai.

1 komentar:

komantarnya bossss