Bahasa
adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah
hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang
dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan
konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki
benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata cecak
memiliki hubungan kausal dengan referennya atau binatangnya. Artinya, binatang
itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-cak-cak. Oleh karena
itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Problema bahasa adalah problema
makna.
Bahasa
sangat berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada
dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita
dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan
simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia
dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
sistem 'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau
simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu.
Relasi antara 'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung
dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini
secara bersama-sama itulah yang kita namakan: representasi. Konsep representasi
bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep
representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah
tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi
yang baru. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia
selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil
dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
1.
AKSIOLOGI
(NILAI) BAHASA
Istilah
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata axia yang artinya nilai
dan logia yang artinya ilmu. Jika diartikan, aksiologi merupakan studi tentang
nilai atau filsafat nilai. Karena di dalamnya membongkar sesuatu tentang nilai.
Meski pun filsafat nilai sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno, istilah
aksiologi itu sendiri merupakan istilah baru yang diperkenalkan oleh Paul Lapie
and E. Von Hartmann pada abad ke-20.
Aksiologi
secara mendalam membedakan antara ada (being [keberadaan])
dengan nilai (value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak
akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau dirumuskan Ada = Sesuatu
+ Nilai. Oleh karena itu sifat Nilai selalu
tergantung pada pengembannya yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilai
bersifat parasitis.
HAKIKAT NILAI BAHASA
Hakikat
adalah unsur yang harus/wajib ada untuk
adanya Sesuatu. Sulit dipahami jika tidak diberi contoh.
Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang
paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas yang terjilid dengan
rapi. Nah kertas itu yang merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Jika
diaplikasikan terhadap nilai. Apa itu hakikat nilai? Berarti unsur yang harus
ada sebagai syarat adanya nilai. Dari sini dapat diketahui bahwa ada unsur yang
membuat nilai itu ada. Contoh, gitar itu jelek! Apakah kita tau nilai dari
gitar itu? Sudah pasti, karena sudah disebutkan, yaitu jelek.
Di situlah letak nilai. Nilai di sini memiliki arti netral,
nilai tidak memihak, tapi mengidentifikasikan ini loh nilainya. Gitar itu
bagus, jelek, atau sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu diadakan
pembedaan, antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar
jelek. Di mana nilainya? Jelas “jelek” nilainya. Di mana pengembannya? Jelas
“gitar” pengembannya. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat
abstrak: jelek, indah, samar, penyayang, tidak dapat disentuh, hanya dapat
diketahui di sinilah letak kedudukan nilai. Sedangkan pengemban
nilai tidak selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu
sifatnya objektif. Contohnya yang material: gitar, batu,
cicak, motor, sampah; dan yang immaterial: Tuhan, panorama, malaikat,
langit, angin.
2.
EPISTIMOLOGI
BAHASA
Epistemologi, (dari bahasa Yunani
episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah
cabang filsafat
yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas
dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi
atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme,
metode kontemplatis dan metode dialektis.
ASAL MULA BAHASA
Apabila
kita menelusuri jejak kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima
ratus ribu tahun yang silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung
mengenai bahasa nenek moyang kita tersebut.
Cerita
dari Mesir, bahwa sekitar abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan
eksperimen terhadap bayi yang dibesarkan di hutan belantara dengan pola
pengasuhan yang tanpa bersentuhan dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah
berusia dua tahun, bayi tersebut dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat
mengucapkan kata pertamanya “becos” yang berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia
(bahasa Mesir kuno). Dan cerita ini, banyak orang Mesir yang mempercayai bahwa
bahasa Mesirlah yang merupakan bahasa yang pertama dikuasai manusia, sekaligus
diklaim sebagai bahasa yang pertama kali ada di muka bumi.
Dalam
versi yang lain lagi, Goropus Becanus, seorang bangsa Belanda, mengemukakan
pendapat bahwa bahasa yang dipergunakan oleh Adam adalah bahasa Belanda.
Seorang filsuf Jerman, Leibniz mengemukakan pandangan bahwa semua bahas di
dunia berasal dari bahasa Proto. Namun, baik pendapat Kemke, Goropus, maupun
pendapat Leibniz tidak didukung oleh bukti bukti yang sahih, sehingga pendapat
mereka dianggap sebagai hasil rekayasa imajinasi belaka.
Dengan
kata lain, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya manusia yang
pertama kali dalam menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena
tidak berdasar pada fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Terdapat
beberapa teori yang ada, bahwa bahasa bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat
lisan, dan teori yang mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis.
Menurut
pandangan yang menyebutkan bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Dalam kitab suci
agama Islam misalnyaf disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang
diciptakan oleh Allah dengan berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya,
termasuk kemampuan berbahasa (Q.S. Al Baqarah: 31 dan Q.S. Ar-Rum: 22).
Akan
tetapi, lain lagi jika menurut kisah ‘Kejadian’ (Injil, Kejadian 2:19) bahwa
manusia diciptakan dalam imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah
satu dari sifat manusia.
Dalam
kebanyakan agama diyakini bahwa Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan
bahasa. Namun, berbagai kisah dalam agama-agama itu belum membantu untuk
mengetahui dan mengungkap apa sesungguhnya bahasa, serta bagaimana manusia
memulai penggunaan bahasa. Dalam pandangan beberapa aliran agama, sebut saja
aliran kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy di daerah Banten Selatan
(Provinsi Banten), diyakini bahwa nenek moyang mereka adalah cikal bakal
manusia di dunia dan bahasa yang digunakan oleh nenek moyang mereka itu adalah
bahasa Sunda seperti yang mereka gunakan saat sekarang.
Pandangan
lain tentang asal mula bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam.
Salah seorang filsuf Yunani yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea
atau peniruam bunyi-bunyi alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan
alasan mengapa nama “yang benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat
menghasilkan bunyi. Menurut pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana
dapat merupakan tiruan bunyi alam yang didengar manusia dan lingkungannya.
Sejalah
dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman
mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa
timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk
mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk
dalam meniru bunyi-bunyi alam.
Teori lain
yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia
merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi
hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber
bahasa.
Teori-teori
yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat
banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’
dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.
Suara yang
sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang
berlainan, misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa
menyebutnya “kukuruyuk”, orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan
Spanyol menyebut “cocorico”, orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang
Inggris menyebut “cock a doodle do”.
Teori yang
lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh
yang berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan
emosi, misalnya rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori
ini, bunyi “ha... ha...” timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“
timbul karena rasa sakit, bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.
Pada abad
ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan
isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula
bahwa isyarat fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.
Selain
teoni-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal
mula bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain.
3.
ONTOLOGI
BAHASA
Menurut
bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos
= Ilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut
istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakekat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani (kongkret) maupun
rohani (abstrak).
Menurut
Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
- Moral
conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus,
yaitu etika.
- Estetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
- Sosio-political
life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial
politik
Aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai – nilai khususnya
etika.Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan
dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
CONTOH AKSIOLOGI (ETIKA) BAHASA
DALAM HAL BERBOHONG
Secara
umum diyakini bahwa bohong artinya mengatakan sesuatu yang tidak ada dasar
realitasnya. Misalnya saja mengatakan ada badai di laut padahal tidak ada,
mengatakan turut berduka padahal tidak berduka, mengatakan memiliki pacar
padahal tidak punya, atau menyatakan orang miskin di Indonesia hanya 15%
padahal 50%. Kebohongan juga bisa diartikan sebaliknya, yakni mengatakan
sesuatu yang tidak ada padahal ada dalam realitasnya. Misalnya saja mengatakan
tidak memiliki uang padahal punya, mengatakan tidak cemburu padahal cemburu,
mengatakan tidak apa-apa padahal apa-apa. Cukup biasa terjadi mengatakan
baik-baik saja padahal merintih perih karena tangan tergores pisau. Biasa juga
seorang cowok yang membonceng pacarnya naik sepeda onthel mengatakan
tidak capek meskipun nafas sudah hampir putus dibuatnya.
Kebohongan
yang mungkin terjadi bisa sebanyak fenomena yang mungkin terjadi di dunia.
Setiap fenomena bisa dibuat versi bohongnya. Oleh sebab itu, berbohong luar
biasa gampang karena tinggal men’tidak’kan apa yang ada saja. Misalnya, ada
petir dibilang tidak ada, merasa rindu tapi bilang tidak rindu, bilang tidak
punya uang ternyata punya. Pendeknya, merupakan bohong bila bilang tidak
pada yang ada, dan bilang ada pada yang tidak ada.
Contoh diatas
merupakan etika yang tidak baik sehingga tujuan penyampaian tidak akan
tercapai.
Sumbernya lebih baik disertakan. :)
BalasHapus