1. Guru Sebagai Profesi
Djojonegoro (1998:350) menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu
pekerjaan atau jabatan ditentukan oleh tiga faktor penting, yaitu: (1) memiliki
keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau
spesilaisasi, (2) kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan
keahlian khusus) yang dimiliki, (3) penghasilan yang memadai sebagai imbalan
terhadap keahlian yang dimiliki itu. Menurut Vollmer & Mills (1991:4) profesi
adalah sebuah pekerjaan/jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus,
yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan untuk menguasai
keterampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain
dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah tertentu.
Usman (1990:4) mengatakan bahwa guru merupakan
suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan
keahlian khusus sebagai guru. Suatu profesi memiliki persyaratan tertentu,
yaitu: (1) menuntut adanya keterampilan yang mendasarkan pada konsep dan teori
ilmu pengetahuan yang mendasar, (2) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang
tertentu sesuai dengan profesinya, (3) menuntut tingkat pendidikan yang
memadai, (4) menuntut adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari
pekerjaan yang dilaksanakan, (5) memungkinkan perkembangan sejalan dengan
dinamika kehidupan, (6) memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, (7) memiliki obyek tetap seperti dokter dengan pasiennya,
guru dengan siswanya, dan (8) diakui di masyarakat karena memang diperlukan
jasanya di masyarakat.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur terpenting dalam sebuah
profesi adalah penguasaan sejumlah kompetensi sebagai keahlian khusus, yang
diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan khusus, untuk melaksanakan
pembelajaran secara efektif dan efisien. Kompetensi guru berkaitan dengan
profesionalisme adalah guru yang kompeten (memiliki kemampuan) di bidangnya.
Karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan
memiliki keahlian dan kewenangan dalam menjalankan profesi keguruan.
2. Memimpikan Guru
yang Profesional
Untuk memperbaiki kualitas pendidikan, pemerintah telah memberikan
perhatian khusus dengan merumuskan sebuah UndangUndang yang mengatur profesi
guru dan dosen. Dalam pembahasan rancangan Undang-Undang ini (hingga disahkan
pada 6 Desember 2005) tersirat keinginan Pemerintah untuk memperbaiki wajah
suram nasib guru dari sisi kesejahteraan dan profesionalisme. Jumlah guru di Indonesia
saat ini 2,2 juta orang, dan hanya sebagian kecil guru dari sekolah negeri dan
sekolah elit yang hidup berkecukupan. Mengandalkan penghasilan dan profesi
guru, jauh dari cukup sehingga tidak sedikit guru yang mencari tambahan untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Sertifikasi kompetensi guru sebagai tindak lanjut dari UndangUndang ini
menyisakan persoalan sebagaimana disampaikan Mendiknas pada media masa pada
saat pengesahan Undang-Undang ini, antara lain kesepahaman akan ukuran uji
kompetensi guru. Sejak awal gagasan pembuatan RUU Guru dan Dosen
dilatarbelakangi oleh komitmen bersama untuk mengangkat martabat guru dalam
memajukan pendidikan nasional, dan menjadikan profesi ini menjadi pilihan utama
bagi generasi guru berikutnya (Situmorang dan Budyanto 2005:1).
Guru, peserta didik, dan kurikulum merupakan tiga
komponen utama pendidikan. Ketiga komponen ini saling terkait dan saling
mempengaruhi, serta tidak dapat dipisahkan antara satu komponen dengan komponen
yang lainnya. Dari ketiga komponen tersebut, faktor gurulah yang dinilai
sebagai satu faktor yang paling penting dan strategis, karena di tangan para
gurulah proses belajar dan mengajar dilaksanakan, baik di dalam dan di luar
sekolah dengan menggunakan bahan ajar, baik yang terdapat di dalam kurikulum nasional
maupun kurikulum lokal. Untuk melaksanakan proses belajar dan mengajar secara
efektif, guru harus memiliki kemampuan profesionalisme yang dapat dihandalkan.
Kemampuan profesionalisme yang handal tersebut tidak dibawa sejak lahir oleh
calon guru, tetapi harus dibangun, dibentuk, dipupuk dan dikembangkan melalui
satu proses, strategi, kebijakan dan program yang tepat. Proses, strategi,
kebijakan, dan program pembinaan guru di masa lalu perlu dirumuskan kembali
(Suparlan 2006:1). James M. Cooper,
dalam tulisannya bertajuk “The teachers as a Decision Maker”, mengawali
dengan satu pertanyaan menggelitik “what is teacher?”. Cooper menjawab
pertanyaan itu dengan menjelaskan tetang guru dari aspek pelaksanaan tugasnya
sebagai tenaga profesional. Demikian pula, Dedi Supriadi dalam bukunya yang
bertajuk “Mengangkat Citra dan Martabat Guru” telah menjelaskan (secara
amat jelas) tentang makna profesi, profesional, profesionalisme, dan profesionalitas sebagai
berikut ini Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap pekerjaan itu.
Misalnya, guru sebagai profesi yang amat mulia. Profesional menunjuk dua
hal, yakni orangnya dan kinerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
Sebagai contoh, seorang profesional muda, atau dia bekerja secara profesional. Profesionalisme
menunjuk kepada derajat atau tingkat kinerja seseorang sebagai seorang
profesional dalam melaksanakan profesi yang mulia itu. Dalam UU Nomor 20 Tahun
2003 dinyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan tulisan dan pen gabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Sebagai
tenaga profesional, guru memang dikenal sebagai salah satu jenis dari sekian
banyak pekerjaan (occupation) yang memerlukan bidang keahlian khusus,
seperti dokter, insinyur, dan bidang pekerjaan lain yang memerlukan bidang
keahlian yang lebih spesifik. Dalam dunia yang sedemikian maju, semua bidang
pekerjaan memerlukan adanya spesialisasi, yang ditandai dengan adanya standar
kompetensi tertentu, termasuk guru.
Guru merupakan tenaga
profesional dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Westby-Gybson (1965),
Soerjadi (2001:1-2) menyebutkan beberapa persyaratan suatu pekerjaan disebut
sebagai profesi. Pertama, adanya pengakuan oleh masyarakat dan
pemerintah mengenai bidang layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan karena
keahlian tertentu dengan kualifikasi tertentu yang berbeda dengan profesi lain.
Kedua, bidang ilmu yang menjadi landasan teknik dan prosedur
kerja yang unik. Ketiga, memerlukan persiapan yang sengaja dan
sistematis sebelum orang mengerjakan pekerjaan profesional tersebut. Keempat,
memiliki mekanisme yang diperlukan untuk melakukan seleksi secara efektif,
sehingga yang dianggap kompetitiflah yang diperbolehkan dalam melaksanakan
bidang pekerjaan tersebut. Kelima, memiliki organisasi profesi yang, di
samping melindungi kepentingan anggotanya, juga berfungsi untuk meyakinkan agar
para anggotannya menyelenggarakan layanan keahlian yang terbaik yang dapat
diberikan (Suparlan, 2004:2).
Profesionalisme guru didukung oleh tiga hal, yakni (1) keahlian, (2)
komitmen, dan (3) keterampilan (Supriadi 1998:96). Untuk dapat melaksanakan
tugas profesionalnya dengan baik, pemerintah sejak lama telah berupaya untuk
merumuskan perangkat standar komptensi guru. Dapat dianalogikan dengan
pentingnya hakim dan UndangUndang, yang menyatakan bahwa, ‘berilah aku hakim
dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun akan
dapat dihasilkan keputusan yang baik’, maka kaidah itu dapat dianalogikan dengan pentingnya guru, yakni dengan
ungkapan bijak ‘berilah aku guru yang baik, dan dengan kurikulum yang kurang
baik sekali pun aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik’. Artinya,
bahwa aspek kualitas hakim dan jaksa masih jauh lebih penting dibandingkan
dengan aspek undang-undangnya. Hal yang sama, aspek guru masih lebih penting dibandingkan
aspek kurikulum. Sama dengan manusia dengan senjatanya, yang terpenting adalah
man usianya, ‘man behind the gun’.
Untuk menggambarkan guru profesional, Supriadi mengutip laporan dari Jurnal
Educational Leadership edisi Maret 1993, bahwa guru profesional dituntut
memiliki lima hal. Pertama, guru mempunyai komitmen pada siswa dan
proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada
kepentingan siswa. Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/materi
pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi
guru hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar. Keempat,
guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar
dari pengalamannya. Kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya di PGRI dan organisasi
profesi lainnya. Apabila kelima hal tersebut dapat dimiliki oleh guru, maka
guru tersebut dapat disebut sebagai tenaga dan pendidik yang benar-benar
profesional dalam menjalankan tugasnya (Supriadi 2003:14).
3. Standar
Pengembangan Karir Guru
Mutu pendidikan amat ditentukan oleh kualitas
gurunya. Mendiknas memberikan penegasan bahwa “guru yang utama” (Republika 10
Februari 2003). Belajar dapat dilakukan di mana saja, tetapi guru tidak dapat
digantikan sepenuhnya oleh siapa atau alat apapun juga. Untuk membangun pendidikan
yang bermutu, yang paling penting bukan membangun gedung sekolah atau sarana
dan prasarananya, melainkan harus dengan upaya peningkatan proses pengajaran
dan pembalajaran yang berkualitas, yakni proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru yang bermutu. Sebagai
salah satu komponen utama pendidikan, guru harus memiliki tiga kualifikasi
dasar: (1) menguasai materi atau bahan ajar, (2) antusiasme, dan (3) penuh
kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Mas’ud 2003:194).
Peningkatan mutu guru merupakan upaya yang amat
kompleks, karena melibatkan banyak komponen. Pekerjaan besar ini mulai dari
proses yang menjadi tugas lembaga pendidikan prajabatan yang dikenal dengan
LPTK. Ternyata, LPTK mengalami kesulitan besar ketika dihadapkan kepada masalah
kualitas calon mahasiswa kelas dua yang akan dididik menjadi guru.
Ketidakmampuan LPTK ternyata memang di luar tanggung jawabnya, karena masalah
rendahnya mutu calon guru itu lebih disebabkan oleh rendahnya penghargaan
terhadap profesi guru. Pada akhirnya orang mudah menebak, karena pada akhirnya menyangkut duit atau gaji dan penghargaan. Gaji dan penghargaan guru belum dapat
disejajarkan dengan profesi lain, karena indikasi adanya mutu profesionalisme
guru masih rendah. Terjadilah lingkaran setan yang sudah diketahui sebab
akibatnya. Banyak orang menganggap bahwa gaji dan penghargaan terhadap guru
menjadi penyebab atau causa prima-nya. Namun, ada orang yang berpendapat
bahwa antara gaji dan dedikasi tidak dapat dipisahkan. Gaji akan mengikuti
dedikasi. Di samping itu, gaji dan dedikasi terkait erat dengan faktor lain
yang bernama kompetensi profesional. Jadi, selain memang harus dipikirkan
dengan sungguhsungguh upaya untuk meningkatkan gaji dan penghargaan kepada
guru, namun masih ada pekerjaan besar yang harus segera dilakukan, yakni
meningkatkan dedikasi dan kompetensi guru.
4.
Pengembangan Karir Guru
Pada era sentralisasi pendidikan, pembinaan guru diatur secara terpusat
oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui PGPS
(Peraturan Gaji Pegawai Sipil) dan ketentuan lain tentang kenaikan pangkat
dengan sistem kredit. Dalam pelaksanaan di lapangan ketentuan tersebut berjalan
dengan berbagai penyimpangan. PGPS sering diplesetkan menjadi ‘pinter goblok
penghasilan sama’ atau ‘pandai pandir penghasilan sama’. Pelaksanaan kenaikan
pangkat guru dengan sistem kredit pun sama. Kepala sekolah sering terpaksa
menandatangani usul kenaikan pangkat guru hanya karena faktor ‘kasihan’. Dengan
kondisi seperti itu, ada sebagaian kecil guru yang karena kapasitas pribadinya
atau karena faktor lainnya dapat berubah atau meningkat karirnya menjadi kepala
desa, anggota legeslatif, dan bahkan menjadi tenaga struktural di dinas
pendidikan. Sedang sebagian besar lainnya mengalami nasib yang tidak menentu,
antara lain karena belum ada kejelasan tentang standar pengembangan karir
mereka.
Mengingat kondisi itulah maka pada tahun 1970-an dan 1980-an telah
didirikan beberapa lembaga pendidikan dan pelatihan yang bernama Balai
Penataran Guru (BPG), yang sekarang menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan
(LPMP) di setiap provinsi, dan Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) yang
sekarang menjadi Pusat Pengembangan Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(P4TK) untuk pelbagai mata pelajaran dan bidang keahlian di beberapa daerah di
Indonesia. Pada tahun 1970-an
kegiatan ‘up-grading’ guru mulai gencar dilaksanakan di BPG dan PPPG.
Kegiatan itu pada umumnya dirancang oleh direktorat-direktorat di bawah pembinaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sekarang LPMP dan P4TK berada
di bawah Ditjen PMPTK. Region-region penataran telah dibentuk di berbagai
kawasan di Indonesia, dengan melibatkan antara direktorat terkait dengan lembaga diklat (preservice training) dan lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai lembaga preservice training, serta
melibatkan juga peranan lembaga pendidikan sekolah sebagai on the job
training yang dibina langsung Dinas Pendidikan yang ada di regionnya
masing-masing. Salah satu pola pembinaan guru melalui diklat ini
adalah mengikuti pola Pembinaan kegiatan Guru (PKG), yang sistem
penyelenggaraan diklatnya dinilai melibatkan elemen pendidikan yang lebih luas.
Melalui pola PKG ini, para guru dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1)
guru biasa, yakni guru baru atau guru yang belum pernah mengikuti penataran,
atau baru sebatas ditatar di tingkat kecamatan atau sekolah, (2) guru Inti,
guru yang telah ditatar di tingkat provinsi atau nasional dan memperoleh
predikat yang sebagai penatar di tingkat kabupaten, kecamatan, dan sekolah, (3)
instruktur, guru yang telah mengikuti klegiatan diklat TOT (training of
trainer) di tingkat pusat atau nasional dan memperoleh predikat sebagai
penatar di tingkat provinsi. Sebagian besar instruktur ini juga telah
memperoleh pengalaman dalam mengikuti penataran di luar negeri, (4) pengelola
sanggar, guru instruktur yang diberi tugas untuk mengelola Sanggar PKG, yakni
tempat bertemunya para guru berdiskusi atau mengikuti penataran tingkat kabupaten
atau sekolah, (5) kepala sekolah, yakni instruktur yang telah diangkat untuk
menduduki jabatan sebagai kepala sekolah, (6) Pengawas sekolah, satu jenjang
fungsional bagi guru yang telah menjabat sebagai kepala sekolah. Selain itu,
para guru memiliki wadah pembinaan profesional melalui organisasi yang dikenal
dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), sementara para kepala sekolah
aktif dalam kegiatan Latihan Kerja Kepala Sekolah (LKKS), dan Latihan Kerja
Pengawas Sekolah (LKPS) untuk pengawas sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut
sebagaian besar dilaksanakan di satu sanggar yang disebut sanggar PKG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komantarnya bossss