BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hakikat sastra, sastra pada
dasarnya bukanlah ilmu, sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh
faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat,
kepercayaan. Oleh karena itu sastra mempunyai cakupan yang sangat luas tergangtung
dari sisi mana manusia memandangnya.
Dalam dunia pendidikan kajian
sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam pola kebudayaan,
sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab Sastra mampu menjawab terhadap apa yang
pernah ada di muka bumi, karena sastra
berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang terjadi disekelilingnya sebagai
opini yang mesti di ungkapkan serta hasil dari akibat pengalaman bathin. Sastra
adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa manusia sehingga sastra mengandung
nilai estetika yang tinggi.
Melalui pengamatan, Pengajaran
sastra melalui proses pembelajaran di bangku sekolah belum mendapatkan hasil
yang maksimal jika ditinjau dari aspek kreatifitas dan humanitas padahal aspek
yang sangat di perlukan dalam membuat sastra adalah kreatifitas baik sebagai
pencipta begitupula dalam mengapresiasikan sastra selaku penikmat karya sastra.
Peranan guru sangat di perlukan dalam menciptakan model pembelajaran sastra.
Oleh karena itu seorang guru mestilah mengetahui hakikat dari sastra tersebut
serta hakikat dari pengajaran sastra.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah
1.
Apakah
pengertian sastra?
2.
Bagaimanakan
jenis-jenis sastra?
3.
Bagaimanakah
pengertian pengajaran sastra?
4.
Apakah
tujuan pengajaran sastra?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui hakikat dari pengajaran sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
sastra
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa
Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau
“pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan
‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang
memiliki arti atau keindahan tertentu. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai
defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra
yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu
contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi
sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak
berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk
mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Sastra dibagi menjadi 2
yaitu Prosa dan Puisi, Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan
Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu.
Contoh karya Sastra Puisi yaitu Puisi, Pantun, dan Syair sedangkan contoh karya
sastra Prosa yaitu Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama.
Pengertian Sastra Menurut Para Ahli:
1.
Mursal Esten (1978 : 9) Sastra atau Kesusastraan adalah
pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan
manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang
positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
2.
Semi (1988 : 8 ) Sastra. adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya
menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
3.
Panuti Sudjiman (1986 : 68) Sastra sebagai karya lisan atau
tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan,
keindahan dalam isi, dan ungkapanya.
4.
Ahmad Badrun (1983 : 16) Kesusastraan adalah kegiatan seni
yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan
bersifat imajinatif.
5.
Engleton (1988 : 4) Sastra adalah karya tulisan yang halus
(belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam
berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan,
dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil.
6.
Plato
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
7.
Aristoteles
Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
8.
Robert Scholes (1992: 1) Tentu saja, sastra itu sebuah kata,
bukan sebuah benda
9.
Sapardi (1979: 1) Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga
sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan
ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan social.
10.
Taum (1997: 13) Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang
bersifat imajinatif” atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan
berguna yang menandakan hal-hal lain”
11.
Menurut kelompok kami sastra adalah segala bentuk keindahan
yang diciptakan oleh manusia sehingga dengan keindahan itu manusia dapat
melihat dan menikmatinya
B.
Jenis-jenis
sastra
Pembicaraan yang selama ini
dilakukan ternyata hanya memberi perhatian pada tiga jenis karya sastra yaitu
puisi, prosa cerita, dan drama. Hal itu memang logis karena tiga jenis
tersebutlah yang mengandung unsur-unsur kesusastraan secara dominan (fiksi,
imaji, dan rekaan). Namun, seiring dengan perkembangan dunia sastra akhir-akhir
ini mulai terjadi pembatasan yang tipis antara khayalan dan kenyataan. Oleh
sebab itu mulai dibicarakan pembagian sastra yanag lain.
Dalam perkembangan sastra
akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu
(a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif.
Sastra imajinatif mempunyai ciri ciri
sebagai berikut:
1.
Isinya
bersifat khayali
2.
Menggunakan
bahasa yang konotatif
3.
Memenuhi
syarat-syarat estetika seni.
Sedangkan sastra non-imajinatif
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Isinya
menekankan unsur faktual/faktanya.
2.
Menggunakan
bahasa yang cenderung denotatif.
3.
Memenuhi
unsur-unsur estetika seni.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kesamaan antara sastra imajinatif dan non-imajinatif adalah masalah estetika
seni. Unsur estetika seni meliputi keutuhan (unity), keselarasan (harmony),
keseimbangan (balance), fokus/pusat penekanan suatu unsur (right emphasis).
Sedangkan perbedaannya terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif
sepenuhnya bersifat khayal/fiktif, sedangkan isi sastra non-imajinantif
didominasi oleh fakta-fakta. Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif,
sedangkan bahasa sastra non-imajinatif cenderung denotatif.
Bentuk karya sastra yang termasuk karya
sastra imajinatif adalah
1.
Puisi,
antara lain : Epik, Lirik, Dramatik dan lain-lain
2.
Prosa antara
lain : Fiksi (novel, cerpen, roman) dan
3.
Drama
antara lain drama prosa dan drama puisi
Bentuk karya sastra yang termasuk sastra
non-imajinatif adalah
1.
Esai, yaitu
karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi
penulisnya.
2.
Kritik,
adalah analisis untuk menilai suatu karya seni atau karya sastra.
3.
Biografi,
adalah cerita tentang kehidupan seseorang yang ditulis oleh orang lain.
4.
Otobiografi,
adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri.
5.
Sejarah,
adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat berdasarkan sumber tertulis
maupun tidak tertulis.
6.
Memoar,
adalah otobiografi tentang sebagian pengalaman hidup saja.
7.
Catatan
harian, adalah catataan seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang
ditulis secara teratur.
C.
Pengertian
pengajaran sastra
Sistem pengajaran sastra
memerlukan pembenahan besar dengan kepentingan untuk pencapaian proses dan
hasil maksimal. Sistem itu mengaju pada kurikulum dan strategi guru dalam
pengajaran sastar. Suwardi Endraswara (2002) dalam sekian tulisan mengenai
pengajaran sastra di Indonesia kerap mempersoalkan kebobrokan dan kelemahan
atau dalam istilah yang keren disebut “terkena infeksi”, “terjangkit virus
kronis”, dan “suram”. Kondisi-kondisi itu menjadi sebab pengajaran sastra bisa
membuat “perut mual” dan “influenza berat”. Istilah-istilah yang digunakan
Suwardi Endraswara itu mempresentasikan kondisi pengajaran sastra di Indonesia
yang masih bermasalah dan belum menemukan jalan pencerahan.
Strategi guru dalam
pengajaran sastra memainkan peran penting untuk merealisasikan idealitas
pengajaran sastra. Raymon Rodrigues mengajukan suatu strategi terapan yang
mungkin bisa diadopsi dalam pengajaran sastra dengan cara diskusi, bermain
peran, dramatisasi adegan, presentase kemedia, menelaah nilai sastra,
menulis kreatif, dan tinjauan kesusastraan. Stratewgi pengajaran sastra itu
memang berat untuk bisa direalisasikan oleh guru tapi mungkin dilakukan dengan
niat bahwa ada proses pembaruan dalam pengajaran dengan perhitungan gagal dan
berhasil.
Beradasarkan uraian di atas
dapat dikatakan bahwa pengajaran sastra adalah metode-metode/cara yang dapat
mempermudah pengajaran sastra dalam pendidikan dan dapat menggugah minat siswa
untuk menyenangi sastra.
D.
Tujuan
pengajaran sastra
a.
Pengetahuan Tentang
Sastra
Secara garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian
selanjutnya adalah memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra
mencakup pengetahuan tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Sedangkan pengalaman bersastra mencakup kegiatan berapresiasi atau reseptip dan
berekspresi atau produktif.
Cakupan pengetahuan tentang sastra adalah tentang teori sastra, kritik sastra,
dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam
pengkajian sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang
memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra
dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik
sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra
menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan
penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat
kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia
mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari
teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman
ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang
melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling
terkait.
Wellek dan Warren (1989 : 38) menjelaskan bahwa teori sastra adalah studi
prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan studi karya-karya kongkret disebut
kritik sastra (pendekatan statis) dan sejarah sastra. Dari penjelasan tersebut
dapat kita artikan bahwa teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang
mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra
yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud teori
adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola
pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
Kritik sastra juga
merupakan bagian dari ilmu sastra, meskipun ada istilah lain yang sering
digunakan yaitu telaah sastra, analisis sastra, penelitian sastra, dan kajian
sastra. Untuk menjadi seorang kritikus sastra diperlukan kemampuan
mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis,
mengulas karya sastra, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Dari penjelasan kritik
sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Aktivitas
kritik sastra mencakup tiga hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai
karya sastra.
Analisis adalah menguraikan
unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antara unsur-unsur
tersebut. Sementara menafsirkan dapat diartikan kegiatan memperjelas maksud
karya sastra.
Adapun aktivitas yang
ketiga adalah penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukan nilai karya
sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan.
Wellek dan Warren (1989 : 316) menjelaskan bahwa apabila kita berusaha
menguraikan dengan rinci perhatian manusia pada sastra, kita akan mengalami
kesulitan untuk menjabarkannya. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus
sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik
sastra yang dipahami seorang kritikus.
Sejarah sastra adalah
bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke
waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para
sastrawan yang berkecimpung pada masanya, karya-karya sastra yang bagus yang
menghiasi dunia sastra, serta kejadian-kejadian yang terjadi seputar masalah
sastra. Seorang sejarawan sastra selain harus mampu mendokumentasikan karya
sastra, dia juga harus mampu membuat pemilahan hasil dokumentasinya berdasarkan
ciri, gaya, klasifikasi, gejala-gejala yang ada, pengaruh, karakter dan
lain-lain.
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara
rinci aspek-aspek yang terdapat dalam karya sastra baik konvensi bahasa yang
meliputi makna, gaya, pilihan kata, struktur maupun konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar dan lainnya yang membangun sebuah
karya sastra atau lazim juga disebut unsur intrinsik. Di sisi lain kritik
sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, meneliti, mengulas
memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian terhadap karya sastra
tersebut. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra, kritikus sastra
bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi karya
sastra.
Begitu juga hubungan antara
teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu
sastra yang mempelajari karya sastra dari waktu ke waktu, sebagai bagian dari
pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa atau
suatu daerah diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para
peneliti sastra yang menunjukan terjadinya perbedaan-perbedaan atau
persamaan-persamaan karya sastra pada periode tertentu.
Secara keseluruhan dalam
pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra
terjalin keterkaitan. Sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati,
ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya intervensi dari ketiga
bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna
jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra, begitu juga dengan sejarah
sastra yang tidak dapat dipaparkan apabila teori dan kritik sastra tidak jelas,
dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran apabila teori dan sejarah sastra
tidak dijadikan tumpuan.
b. Pengalaman Bersastra
Di bagian awal telah
dijelaskan bahwa tujuan pengajaran sastra salah satunya adalah memperoleh
pengalaman bersastra. Cakupan pengalaman bersastra adalah kegiatan berapresiasi
dan kegiatan berekspresi.
Istilah apresiasi berasal
dari bahasa latin aprecatio yang berarti mengindahkan atau menghargai.
Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan,
penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra. Dalam konteks yang lebih luas
istilah apresiasi mengandung makna pengenalan, pemahaman, dan pengakuan
terhadap nilai-nilai kehidupan yang diungkapkan pengarang. Apresiasi sastra
adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek
emotif, dan aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan
dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur
kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat
objektif itu selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal
terkandung dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan
dengan unsur-unsur di luar teks yang secara langsung menunjang kehadiran teks
sastra itu sendiri.
Aspek emotif berkaitan
dengan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam
teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperan dalam
upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat
berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau bersifat
konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan
tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.
Aspek evaluatif berhubungan
dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik atau buruk, indah atau tidak
indah, sesuai atau tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak
harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki
oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini
masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespon teks
sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga
mampu melakukan penilaian.
Belajar apresiasi sastra
pada dasarnya adala belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya
sastra, manusia akan memperoleh asupan batin, sehingga sisi-sisi gelap
dalam kehidupan bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam
karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan
pengalaman psikis manusia.
Seiring dengan dinamika
peradaban yang terus bergerak maju. Kehadiran sastra dirasa semakin penting
untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki
peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang.
Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai diharapkan para alumnus
pendidikan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan
dewasa.
Kegiatan berekspresi sastra
diartikan sebagai kegiatan mengungkapkan perasaan lewat karya sastra. Banyak
cara yang dilakukan seseorang ketika mengungkapkan perasaannya. Sekadar untuk
menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidikan dan yang
ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra.
Dari sekian banyak
kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra
merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaanya. Karena bukan
tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya
lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan
buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya
kuantitas dan kualitas koreksi terhadap karya sastra. Hal ini berimbas kepada
kemampuan untuk berekspresi dalam sastra, sangat sulit kita temukan saat ini
para anak muda bangsa yang gemar membaca puisi, atau gemar bermain drama.
Keadaan sulit ini mesti
menjadi pemikiran kita bersama. Karya sastra mampu memberikan pelajaran
kehidupan bagi penikmatnya. Tetapi keadaan kurikulum sekarang ini di
sekolah-sekolah lebih menekankan kepada kemampuan berbahasa dengan lebih banyak
mengorbankan aspek apresiasi sastra. Tentu sebuah hal yang sangat ironis bagi
keberlangsungan sastra itu sendiri.
Secara garis besar tujuan
pengajaran sastra adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang sastra dan
memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra meliputi teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Meskipun sebenarnya masih banyak
cabang-cabang ilmu sastra yang lainnya, seperti, sifat sastra, fungsi sastra,
gaya, stilistika dan lain-lain. Tetapi dengan memahami teori, kritik, dan
sejarah sastra seorang penikmat sastra akan mampu menjadi seorang apresiator
yang baik.
Memperoleh pengalaman
bersastra bisa diartikan memperoleh pengalaman apresiasi dan ekspresi. Belajar
apresiasi sastra pada dasarnya adala belajar tentang hidup dan kehidupan.
Apresiasi sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek
kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif.
Sedangkan berekspresi dalam
sastra adalah kegiatan dimana kita mampu mencurahkan perasaan lewat sastra,
bisa dengan bahasa lisan maupun dengan bahasa tulis. Seiring dengan dinamika
peradaban yang terus bergerak maju. Kehadiran sastra dirasa semakin penting
untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki
peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang.
Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai diharapkan para alumni pendidikan
mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan makalah ini adalah:
1.
Sastra pada
dasarnya bukanlah ilmu, sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh
faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat,
kepercayaan.
2.
Dalam bahasa Indonesia kata sastra biasa digunakan untuk
merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu.
3.
Dalam
perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif.
4.
Secara
garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian selanjutnya
adalah memperoleh pengalaman bersastra
5.
Apresiasi
sastra adalah sebuah proses yang melibatkan tiga aspek yaitu, aspek kognitif,
aspek emotif, dan aspek evaluatif.
B. SARAN
Adapun saran dalam makalah ini adalah marilah
kita tingkatkan kemampuan kita dalam bersastra, utamanya para pendidik agar
peserta didik yang kita ajar dapat betul-bertul memahami dari inti sastra itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komantarnya bossss