BAB I
PENDAHULUAN
Memori
merupakan bagian integral dari eksistensi manusia. Kita tidak dapat
membayangkan seperti apa manusia itu bila kita tidak dapat mengingat masa lalu,
tidak dapat menyimpan masukan yang baru saja kita dengar, dan tidak dapat
mengingat apa yang akan kita lakukan besok. Sebagian besar dari apa yang kita
ketahui tentang dunia ini bukan berasal dari saat kita lahir tetapi kita
peroleh melalui pengalaman yang kita simpan dalam memori kita.
Ada
beberapa alasan mengapa guru-guru dari semua mata pelajaran tertarik dengan
masalah memori (menghafal) dan lupa. Murid-murid nampaknya membutuhkan sejumlah
atau berbagai latihan-latihan untuk beberapa hal sebelum ia mengingatnya.
Memori berarti hal-hal yang berhubungan dengan manusia. Psikologis menyatakan
bahwa hal itu merupakan wilayah atau bagian dari penelitian yang berhubungan
dengan mekanisme pengolahan informasi selama beberapa detik. Melalui suatu
organisasi penyimpanan pengetahuan tentang dunia mereka sendiri, bahasanya dan
orang lain. Untuk membahas penyimpanan ini beserta dengan prosesnya terdapat
adanya cacat mental atau yang biasa disebut amnesia (hilang ingatan) dan apasia
(tidak bisa bicara).
Secara
khusus pembahasan tentang memori dalam hubungannya dengan eksposure dan
pengulangan istilah-istilah akan mengundang kembali klaim behavioris tentang
tanggapan dan pembahasan internal organisasi, kategorisasi subyektif. Dan
tanggapan miring akan menghilangkan atau mengkaburkan pendekatan proses
informasi. Suatu kajian tentang memori dan lupa telah dipromosikan melalui
teori proses informasi dan model-model memori komputer.
BAB II
PEMBAHASAN
MEMORI DAN BAHASA
1. Sekilas Tentang Kajian Memori
Menjelang pertengahan abad ke 19
psikolog eksperimental yang dipelopori oleh ahli psikologi Jerman Herman
Ebbinghaus (1850-1909). Dialah yang pertama-tama berhasil membawa studi tentang
memori ke laboratorium (Squire dan Kandel 1999: 3-4) untuk dipelajari secara
objektif dan kuantitatif. Dari penelitiannya muncul adanya dua macam memori:
memori yang hidup singkat dan memori yang hidup lama. Dia dapati pula bahwa
pengulangan membuat memori lebih panjang.
Psikolog Amerika William James tahun
1890-an kemudian mengembangkannya lebih lanjut dengan lebih menajamkan perbedaan
antara memori jangka pendek (disingkat: memori pendek, short-term memory) dengan
memori jangka panjang ( memori panjang, long-term memory)
Pada awal abad ke 20 psikolog Rusia
Ivan Pavlov mengajukan teorinya yang kemudian dikenal sebagai classical
conditioning sementara Edward Thorndike dari Amerika mengajukan operant,
atau experimental, conditioning yang kemudian lebih dikenal sebagai trial-and-error
learning.
2. Di Mana Memori Disimpan?
Bahwa memori tidak terletak pada satu
tempat di otak juga dikemukakan oleh ahli-ahli lain. Dengan memakai alat PET
Tulving dan Lepage (2000) menunjukkan bahwa memori memang tidak
berada di suatu tempat khusus di otak. Penemuan baru yang menarik dari
penelitian yang dilakukan oleh Kapur dkk (1996) dan Cabeza dkk (1997) adalah
bahwa penyimpanan memori dan retrival memori tidak berada pada tempat yang
sarna. Mereka dapati bahwa penyimpanan memori dilakukan oleh hemisfir kiri,
khususnya di korteks prafrontal, korteks cingulate anterior, dan girus
parahippocampal. Sementara itu, retrival memori dilakukan oleh hemisfir kanan
pada tiga daerah yang sarna ini. Pola ini kemudian dikenal dengan nama HERA Hesmispheric
EncodingIRetrival Asymmetry.
3. Macam-Macam
Memori
Psikolog seperti William James (1841-1910) membagi memori menjadi dua
kelompok besar: memori pendek dan memori panjang. Memoripendek dibagi lagi
menjadi dua sub-bagian: memori sejenak (immediate memory) dan memori
kerja (working memory).
Sementara itu, Tuvling dan Lepage (2000) membagi memori menjadi dua
kelompok besar: memori proskopik ( disebut juga sebagai memori non-episodik)
dan memori palinskopik (atau memori episodik). Pada memori proskopik pengalaman
pada suatu waktu dimanfaatkan untuk menangani kasus di masa depan.
3.1
Perbedaan Waktu
Apabila kita mampu memanggil kembali informasi untuk penggunaan
yang secara tiba-tiba, tetapi apabila informasi tersebut telah lama, maka akan
mengalami kesulitan dalam memanggil kembali. Misalnya apabila anda melihat
nomor telepon, anda tidak langsung mengetahuinya dan sulit untuk
menggunakannya, tetapi anda harus melihatnya berulang-ulang.
3.2
Perbedaan Proses
Chungking (potongan) telah diketahui sejak beberapa abad
terakhir, bahwa kapasitas memori itu terbatas tetapi tetap dinyatakan bahwa
signifikasi batasan ini telah dikenal. G.A. Miller (1956) menunjukkan bahwa
batasan itu hampir terdiri atas 7 bagian.
Memori kerja: Sebelum melihat beberapa proses yang
mempengaruhi memori jangka panjang, maka harus dibuat konsep kerja memori atau
memori proses wicara, seperti telah dibahasa pada bab berikutnya.
Frekuensi: Memori jangka panjang pertama kali dikaji
pada suatu skala eksperimental oleh Ebbinghaus, dalam Uber Das Gedachtuis
(1885) menyatakan suatu seni panjang eksperimen tentang pembelajaran bermakna
Kelompok Asosiatif: Pengaruh pengetahuan dasar dalam
memori jangka panjang sangat mudah dikembalikan dan diingat kembali seperti
yang digunakan oleh Bousfield (1953). Dia menunjukkan bahwa subyek dapat
memanggil kembali lebih banyak dari pada memori klasik.
Code: Memanggil kembali dipengaruhi oleh kejadian atau
proses pada berbagai tingkatan memori. Ketiga tingkatan itu dapat dibedakan,
intake, storage dan retrieval (masukan, penyimpanan dan pencarian).
Skemata: Sebagaimana telah disebutkan tipe dan pengaruh
subyektif organisasi. Bagaimanapun, kemungkinan banyak demonstrasi yang
berhubungan memori tentang pesan-pesan jangka panjang yang berhubungan dengan
kenyataan atau atau fiksi, seperti cerita, laporan dan cerita. Kajian ini
mengenai tipe memori yang dipimpin oleh Barlett untuk menolak penjelasan memori
frekuensi.
3.3
Perbedaan Tipe Materi
Suatu perbedaan yang penting seperti yang telah
digambarkan oleh Tuvlin (1972) antara episodik dan memori semantik. Secara
esensial, memori episodik berhubungan dengan informasi yang tersimpan yang
dikode dengan kronologi, detail biografis, urutan kejadian, apa yang X katakan
ketika dia meminum kopinya, daftar janji selam sehari dan sebagainya. Tuvlin
juga menunjukkan bahwa sejumlah pengalaman atas memori verbal yang juga masuk
dalam katergori ini, khususnya ketika menangani kemunculan kata secara khusus
pada susunan tertentu dalam daftar.
4.
Pembentukan dan Pemakaian Memori
Memori dibentuk dan dipakai melalui tiga tahap: input,
penyimpanan, dan output (Clark dan Clark 1977: 134-136; Engel 1999:
5). Pada tahap input, orang umumnya menerima masukan, baik lisan maupun
tulisan, kemudian memberikan interpretasi tentang masukan itu untuk
memahaminya. Biasanya orang memperhatikan maknanya, bukan kata-katanya. Karena
itu, yang disimpan dalam memori bukan kata-kata yang didengar atau dibaca
tetapi isi dari keselumhan kata-kata itu.
Pada tahap output, ada dua cara yang dipakai:
rekognisi (recognition) dan rekol (recall). Rekognisi adalah
proses pemanggilan memori dengan meminta seseorang untuk dapat merekognisi
sesuatu yang telah diberikan kepadanya sebelumnya.
5.
Memori dan Hafalan
Hafalan adalah juga memori tetapi prosesnya berbeda.
Memori bisa terbentuk tanpa kita mengadakan suatu usaha khusus untuk
memperolehnya Sebaliknya, hafalan hanya akan dapat menjadi memori dengan suatu
usaha atau tindakan yang khusus.
Kesimpulan bahwa kita seharusnya melihat bagaimana
gambaran memori ini untuk bahasa menyampaikan beberapa masalah spesifik
pengajaran bahasa.
Teknik hafalan telah menjadi teknik favorit selama
beberapa tahun, tidak ada kemajuan pada tahap awal pembelajaran bahasa asing.
Kemampuan menampilkan metode “Chunk”
dalam bahasa asing yang mempelajari keuntungan motivasional.
6.
Proposisi dalam Memori
Yang disimpan dalam memori bukanlah kata tetapi makna. Begitu makna suatu
ujaran kita tangkap, kata-katanya sudah tidak kita perlukan lagi. Hanya makna,
atau proposisilah, yang kita simpan. George Miller (1962) mengajukan teori yang
kemudian dikenal dengan nama Theory of Derivational Complexity, TDC. Menurut
teori ini mudah tidaknya makna suatu kalimat difahami ditentukan oleh jumlah
derivasi yang dilalui oleh kalimat itu.
7. Pikiran dan Bahasa
Hubungan antara pikiran dan bahasa adalah satu permasalahan yang mendasar
atau hakiki dalam psikolinguistik. Kita perlu mempertanyakan: (1) lainkah bahasa
dari pemikiran? apakah keduanya merupakan hal yang sama ?, (2) kalau dua hal
itu berbeda, adakah hubungan diantaranya?, (3) kalau ada hubungannya, manakah
yang utama?.
Untuk mendapatkan gambaran tentang pernyataan tersebut diatas, berikut ini
kita mencermati pendapat para ahli psikolinguis bahwa bahasa dan pikiran (1)
adalah dua hal yang berbeda, (2) amat erat hubungannya, (3) dapat dianggap
sebagai dua macam penampilan dari hal atau kegiatan yang sama atau dengan
kiasan dua sisi dari dua mata uang yang sama, (4) tidak sama nilainya, sebab
bahasalah yang utama, dalam arti kita tidak punya bahasa, dan bahwa kita dapat
melihat atau mendengar orang berbahasa tanpa kita tahu bahwa dia befikir. Oleh
karena keempat pendapat itulah maka kita mengikuti kelompok yang menyebut
manusia sebagai homo loguens.
Psikolog kemudian melakukan eksperimen untuk mengetahui lebih lanjut
masalah ini. Piaget (1924/55), misalnya, meneliti anak-anak untuk melihat
bagaimana bahasa terkait dengan pikiran. Menurut dia ada dua macam modus
pikiran: pikiran terarah (directed) atau pikiran inteligen (intelligent)
dan pikiran tak-terarah atau pikiran autistik (autistic)
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pada saat anak tumbuh,
berpikir yang terujarkan menjadi makin kecil dan setelah dewasa berpikir tidak
lagi dilakukan dengan memakai kata yang terujarkan. Jarak yang makin jauh
antara inner speech dengan bunyi fonetik yang dipakai untuk mewakilinya
mempercepat proses berpikir.
Bahasa adalah suatu sistem penanda lembaga masyarakat
yang berkembang secara terus menerus dan memiliki karakteristik tersendiri yang
tidak dibatasi tempat dan waktu. Karakteristik itu memberikan peluang bagi
pemakai bahasa untuk membicarakan berbagai hal dan peristiwa yang tidak ada
atau tidak terjadi pada saat sekarang ini.
Dengan demikian bahasa itu tidak statis. Ujaran-ujaran
baru dalam suatu bahasa selalu diciptakan. Misalnya, seorang anak yang belajar
berbahasa memiliki sifat aktif dalam membentuk dan menghasilkan ujaran-ujaran
yang belum pernah di dengar sebelumnya. Hal ini merupakan suatu aspek bahasa
yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa jumlah potensi ujaran dalam bahasa
manusia tidak terbatas. Tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa bahasa
sebagai perekat masyarakat dan bahasa sebagai faktor penentu dalam kehidupan
masyarakat.
Bahasa, fikiran, dan komunikasi merupakan tiga
permasalahan yang selalu terkait. Pikiran berpengaruh terhadap bahasa, bahasa
berpengaruh terhadap pikiran, serta pikiran dan bahasa memegang peranan dalam
komunikasi. Telah diketahui bawa danya pikiran dan bahasa menjadikan manusia
sebagai makhluk yang bermasyarakat, berbudaya dalam lingkungan sosial. Dengan
kata lain, suatu kemasyarakatan dapat tercipta karena adanya peran yang
dimainkan oleh bahasa dan pikiran secara timbal balik.
Berkomunikasi pada hakekatnya adalah berbahasa, tetapi
pemahaman kita tentang bahasa dan peranannya dianggap hal yang biasa.
Komunikasi yang menjadi dasar kesuksesan dan kemajuan manusia kesemuanya itu
ditunjang oleh bahasa. Di bawah ini akan dibahas tentang keuniversalan dan
korelatifan bahasa serta kategori perseptual.
7. 1
Universal versus Relativitas
Pandangan atau hipotese yang mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi
cara berfikir penutumya dirujuk dengan nama hipotese relativitas
linguistik. Boas memberikan tiga argumen untuk mendukung hipotese ini.
Pertama, bahasa mengklasifikasi pengalaman. Kedua, bahasa yang berbeda-beda
mengklasifikan pengalaman dengan cara yang berbeda-beda pula. Ketiga, fenomina
linguistik itu umumnya bersifat taksadar (unconscious).
Dalam bagian ini dibahas satu pemikiran tentang pengaruh
bahasa pada pikiran sseorang yang merupakan suatu hipotesis pemikiran itu
disebut hipotesis relativitas kebahasaan ( linguistic relativity hyphothesis ).
Hipotesis Relativity Kebahasaan
Suatu topik yang sudah lama menyebutkan ahli yang
mengkaji bahasa dan pikiran dan khususnya pengaruh bahasa atas pikiran.
Dibagian terdahulu telah dibicarakan pengaruh pikiran pada bahasa artinya
perbedan dalam bentuk bahasa itu akan diterangkan persepsi dengan pikiran
penutur. Hipotesis yang mengkaji tentang hubungan pikiran dengan bahasa adalah
hipotesis relativitas kebahasaan dari Sapir dan Whorf.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa “ bahasa mempengaruhi
pikiran “. menurut Whorf, setiap bahasa memaksa atau memberikan suatu pandangan
dunia pada penuturnya. Ia mengatakan bahwa “ manusia membagi-bagi alam dan
menyusunnya menjadi konsep-konsep, dan menilai kepentingan dengan cara yang
sebahagian besar disebabkan karena manusia telah sepakat untuk menyusun alam itu
demikian adanya. Kesepakatan yang berlaku bagi masyarakat bahasan yang telah
dibukukan dalam pola-pola bahasa ”. Whorf mendasarkan pandangannya pada
perbandingan bahasa-bahasa utama di eropa dengan bahasa-bahasa indian amerika.
Menurut dia pandangan dunia dipaksakan bahasa-bahasa Indian Amerika pada
penuturnya berbeda dari pandangan dunia yang dipaksakan bahasa-bahasa eropa
pada penuturnya.
Pembedaan Kosakata
Salah satu bukti bahwa bahasa mempengaruhi pikiran yang
dikemukakan sapir dan whorf ialah bahwa : Dalam satu bahasa terapat lebih
banyak kata dalam sesuatu ranah daripada bahasa lain. Umpamanya dalam bahasa
Indonesia ada tiga kata untuk rice yakni : padi, beras, dan nasi, boas (1911),
memberikan contoh dari bahasa Eskimo yang memiliki empat kata atau kata snow
(salju), sedangkan bahasa Indonesia mempunyai satu. Perbedaan ini, menurut
versi lemah ialah karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang penutur bahasa
itu memerlukan sebanyak istilah untuk membicarakan dengan tepat dan jelas
konsep-konsep yang diperlukan.
Orang yang mempunyai spesialisasi tertentu membutuhkan
lebih dari satu kata untuk merajuk pada detail-detail konsep dalam
spesialisasinya dan ini menyebabkan perkembangan atau pembuatan kata-kata yang
khusus untuk dapat dipergunakan dalam komunikasi antara anggota kelompok
seprofesi tu.
Clark dan clark menyebut penjelasan bross tentang “ bagai
mana seorang ahli bedah memperoleh pengetahuannya tentang struktur badan
manusia?” jawabannya ialah bahwa bagian ini diperolehnya dari pengalaman masa
pendidikan.
Relativitas Bahasa
Karena bahasa berperan dalam bentuk pikiran dan
kebudayaan manusia yang beraneka ragam, maka orang yang mampu menggunakan
bahasa yang beraneka ragam tersebut akan mempunyai cara berfikir yang berbeda
pula. Misalnya, cara berfikir orang Padang yang berbicara dalam bahasa Padang,
akan berbeda cara berfikir orang Belanda yang berbicara bahasa Belanda.
Perbedaab inilah yang disebut relativitas bahasa.
Relativitas bahasa merupakan prasyarat keuniversalan
bahasa. Secara apriori, setiap bahasa pasti mudah untuk (1) dipelajari oleh
anak-anak sebagai bahasa pertama, (2) diucapkan dan dimengerti oleh orang
dewasa secaraefisien, (3) mengungkapkan pikiran manusia, dan (4) berfungsi
sebagai alat komunikasi di dalam masyarakat dan kebudayaan dalam masyarakat
pemakai bahasa itu.
Danks dkk (1975) berpendapat bahwa perbedaan bahasa
terjadi dalam dua cara yaitu leksikal dan gramatikal. Lebih lajnjut dikemukakan
bahwa perbedaan leksikal mencakup cara atau barang diberi label yang mjumlah
atau kata untuk barang-arang dan kategori konsep yang supordinat.
Gleason 91961) menunjukkan bahwa tidak hanya junlah
kategori warna tersebut, melainkan juga lokasi-lokasi batasantara daerah-daerah
warna yang diberi label dapat bervariasi sangat besar pada bahasa-bahasa.
Bahkan sesuatu yang sama universal seperti bianglala dapat dibagi dalam cara
yang lebih tau kurang atau arbitrer. Perbedaan warna adalah suatu peredaan di
atara penutur bahasa-bahasa yang didasarkan pada (1) kemudahan membicarakan
tentang warna (2) ingatan pengenalan untuk warna, (3) persepsi warna, dan (4)
organisasi subjektif jarak/ruang warna.
Cara-cara orang berbicara dengan bahasa-bahasa yang
berlainan tentang warnatelah dibicarakan secara ekstensif. Kemudahan
berkomunikasi tentang sesuatu seharusnya dipengaruhi oleh ketersediaan suatu
kosakata yang memadai. Dalam setiap bahasa, warna-warna berbeda dalam hal
codability, sejauh mana suatu warna tertentu disetujui, nama singkat (Brown,
1954).
Menurut Brown dan Lenneberg (1954) menegaskan bahwa ingatan
akan warna tidak dihubungkan secara langsung pada proses linguistik. Sama
seperti kemudahan berkomunikasi, ingatan pengenalan pada warna dan
stimuli-stimuli yang lain dapat dipengaruhi oleh cocability.
Persepsi objek dan peristiwa serta organisasi subjektif
pengalaman agak lebih mendekati apa yang biasanya diartikan dengan pikiran dan
konsep-konsep realita. Akibat-akibat codability tampaknya bersifat minimal.
Capability warna tidak mempunyai efek pada kemampuan untuk menilai apakah edua
warna itu sama atau berlainan selama dapat memandangnya secara bersamaan waktu.
Pada tingkat ini, orang yang menggunakan bahasa-bahasa yag betlainan merasakan
warna-warna dalam cara yang sama. Sama halnya, hukum-hukum pencampuran warna
bekerjasama baiknya sampai pada batas-batas linguistik, merah dicampur, merah
dicampur kuning menghasilkan orange, kuning dicampur biru menghasilkan
hijauapabila pigmen-pigmen dan pencampurannya cocok (sesuai).
8. Otak Manusia Vs Otak Binatang
8.1 Otak Manusia
Dari
segi ukurannya berat otak manusia adalah antara 1 sampai 1.5 kilogram
(Steinberg dkk 2001: 311; Dingwall 1998: 60) dengan rata-rata 1330 gram
(Halloway 1996: 77). Untuk ukuran orang Barat, ini hanyalah 2% dari berat
badannya; untuk manusia Indonesia bahkan mungkin kurang dari itu. Akan tetapi,
ukuran yang sekecil ini menyedot 15% dari seluruh peredaran darah dari jantung
dan memerlukan 20% dari sumberdaya metabolik manusia. Dari data ini saja
tampak bahwa otak "memerlukan" perhatian khusus dari badan kita dan
tentunya ada alasan mengapa demikian.
8.1.1 Otak Pria
dan Otak Wanita
Ada yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara otak
pria dengan otak wanita dalam hal bentuknya, yakni, hemisfir kiri pada wanita
lebih tebal daripada hemisfir kanan (Steinberg dkk 2001: 319). Keadaan seperti
inilah yang menyebabkan kelas bahasa umumnya didominasi oleh wanita. Akan
tetapi, temuan dari Philip dkk (1987 dalam Steinberg 2001: 319) menunjukkan
bahwa meskipun ada perbedaan dalam pemrosesan bahasa antara pria dan wanita,
perbedaan ini hanya mengarah pada pengaruh budaya daripada pengaruh genetik
8.2 Otak Binatang
Sementara
orang memakai sebagian besar otaknya untuk proses mental, termasuk proses
kebahasaan, binatang seperti simpanse lebih banyak memakai otaknya untuk
kebutuhankebutuhan fisiko
9. Kaitan Otak dengan Bahasa
Dari
struktur serta organisasi otak manusia seperti digambarkan di Bagian tampak bahwa otak memegang peran yang sangat
penting dalam bahasa.
9.1 Peran
Hemisfir Kirl dan Hemisfir Kanan
Dari
gambaran di atas jelas tarnpak bahwa hemisfir kiri merupakan hemisfir yang
"bertanggung" jawab tentang ihwal kebahasaan. Akan tetapi, apakah
hemisfir kanan sarna sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kebahasaan?
Penelitian
Wada (1949) yang memasukkan cairan ke kedua hemisfir menunjukkan bahwa bila
hemisfir kiri yang "ditidurkan" maka terjadilah gangguan wicara. Tes
yang dinamakan dichotic listening test yang dilakukan oleh Kimura (1961) juga
menunjukkan hasil yang sama. Kimura memberikan input, katakanlah kata da pada
telinga kiri, dan ba pada telinga kanan secara simultan. Hasil eksperimen ini
menunjukkan bahwa input yang masuk lewat telinga kanan jauh lebih akurat daripada
yang lewat telinga kiri.
Di
samping itu, ada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa yang temyata ditangani
oleh hemisfir kanan. Dari orang-orang yang hemisfir kanannya terganggu didapati
bahwa kemampuan mereka dalam mengurutkan peristiwa sebuah cerita atau narasi
menjadi kacau. Mereka tidak mampu lagi untuk menyatakan apa yang terjadi
pertama, kedua, ketiga, dst.
Orang
yang terganggu hemisfir kanannya juga tidak dapat mendeteksi kalimat ambigu;
dia juga kesukaran memahami metafora maupun sarkasme.
Dari
gambaran ini tampak bahwa hemisfir kanan juga mempunyai peran bahasa, tetapi
memang tidak seintensif seperti hemisfir kiri. Namun demikian, tetap saja
hemisfir kanan memegang peran yang cukup penting.
9.1.1 Gangguan Wicara
Pada
umumnya, kerusakan pada hemisfir kiri mengakibatkan munculnya gangguan wicara.
Gangguan macam apa yang timbul ditentukan oleh persisnya di mana kerusakan itu
terjadi. Gangguan wicara yang disebabkan oleh stroke dinamakan afasia
(aphasia).
9.1.2 Macam-macam Afasia
Ada
berbagai macam afasia, tergantung pada daerah mana di hemisfir kita yang kena
stroke. Berikut adalah beberapa macam yang umum ditemukan (Kaplan 1994: 1035).
Afasia
Broca: Kerusakan (yang umumnya disebut lesion) terjadi pada daerah Broca.
Afasia Broca menyebabkan gangguan pada perencanaan dan pengungkapan ujaran.
Kalimat-kalimat yang diproduksi terpatah-patah.
Afasia
Wernicke: Letak kerusakan adalah pada daerah Wernicke, yakni, bagian agak ke
belakang dari lobe temporal. Korteks-korteks lain yang berdekatan juga bisa
ikut kena. Penderita afasia ini lancar dalam berbicara, dan bentuk sintaksisnya
juga cukup baik. Hanya saja, kalimat-kalimatnya sukar dimengerti karena banyak
kata yang tidak cocok maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya.
Hal ini disebabkan karena penderita afasia ini sering keliru dalam memilih
kata
Afasia
Anomik: Kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe parietal atau pada
batas antara lobe parietal dengan lobe temporal. Gangguan wicaranya tampak pada
ketidak-mampuan penderita untuk mengaitkan konsep dan bunyi atau kata yang
mewakilinya.
Afasia
Global: Pada afasia ini kerusakan terjadi tidak pada satu atau dua daerah saja
tetapi di beberapa daerah yang lain; Luka yang sangat luas ini tentunya
mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar.
Afasia
konduksi (conduction aphasia): Bagian otak yang rusak pada afasia macam ini
adalah fiber-fiber yang ada pada fasikulus arkuat yang menghubungkan lobe
frontal dengan lobe temporal.
9.1.3 Akibat Lain dari Stroke
Pengaruh
stoke tidak terbatas hanya pada gangguan wicara saja. Ada
gangguan-gangguan lain yang tidak langsung berkaitan dengan bahasa. Penderita
apraksia (apraxia), misalnya, tidak dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu
(seperti memindahkan mainan balok dari tempat A ke B), meskipun dia tidak
menderita cacat lumpuh tangan. Penderita ataksia (ataxia) kehilangan kemampuan
untuk melakukan gerakan-gerakan muskuler yang volunter.
Orang yang kena stroke juga dapat kehilangan ingatannya.
Penderita anterograde amnesia mengalami kerusakan pada
bagian otak yang dinamakan hippocampus. Stroke juga dapat menyebabkan penyakit
prosopagnosia, yakni, ketidak-mampun untuk mengenal wajah
Ada satu gejala lain dalam wicara yang berkaitan dengan
ingatan kita yaitu gejala 'lupa-lupa ingat'. Gejala lupa-lupa ingat tampaknya
ada pola tertentu yang diikuti orang, yakni:
a. jumlah suku kata selalu benar
b. bunyi awal kata itu juga benar
c. hasil akhir kekeliruan itu mirip dengan kata yang
sebenamya.
Gejala lain yang unik adalah gejala latah. Latah adalah
suatu tindak kebahasaan di mana seseorang, waktu terkejut atau dikejutkan, mengeluarkan
kata-kata secara spontan dan tidak sadar dengan apa yang dia katakan. Latah
mempunyai ciri-ciri berikut:
Latah hanya terdapat di Asia Tenggara.
Pelakunya hampir selalu wanita.
Kata-kata yang terkeluarkan umumnya berkaitan dengan
seks atau alat kelamin pria atau jantan.
Kalau kejutannya berupa kata, maka si latah juga bisa
hanya mengulang kata itu saja.
9.1.4 Hipotese
Umur Kritis
Sebelum mencapai umur belasan bawah, sekitar umur 12
tahunan, anak mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang disajikan padanya
secara natif. Hal ini tampak terutama pada aksennya. Gejala ini dinyatakan
dalam hipotese yang bemama Hipotese Umur Kritis (Critical Age Hypothesis) yang
diajukan oleh Lenneberg (1967). Pada esensinya hipotese ini mengatakan bahwa
antara umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa mana
pun dengan kemampuan seorang penutur asH..
Hipotese
Umur Kriiis banyak diperbincangkan orang dan dianut banyak orang. Namun
demikian, ada pula yang menyanggahnya. Krashen (1972), misalnya, beranggapan
bahwa lateralisasi itu sudah terjadi jauh lebih awal, yakni, sekitar umur 4-5
tahun.
9.1.5 Kekidalan dan Kekinanan
Manusia
ada yang kidal (left-handed) dan ada yang (istilah barunya) kinan
(right-handed). Sementara itu, ada pula orang yang mampu menggunakan tangan
kiri atau kanannya secara imbang. Orang semacam ini dinamakan ambidekstrus
(ambidextrous). Menurut penelitian yang telah dilakukan orang ( Klar 1999),
jumlah penduduk dunia yang kidal hanyalah 9%. Dari jumlah ini, hanya 30% yang
didominasi oleh hemisfir kanan. Hal ini berarti bahwa meskipun seseorang itu
kidal, tetap saja hemisfir yang lebih dominan untuk kebahasaan adalah hemisfir
kiri.
Apakah
ada korelasi antara kekidalan dan kekinanan dalam pemakaian bahasa atau pun
kemampuan intelektual lainnya? Jawaban untuk pertanyaan ini masih
kontroversial: ada yang mengatakan bahwa kadar dominasi hemisfir kiri pada
orang kidal yang tidak sekuat seperti pada orang kinan membuat orang kidal
mempunyai masalah dalam hal baca dan tulis (Lamn dan Epstein 1999).
9.1.6 Bahasa Sinyal
Orang
yang tidak dapat berkomunkiasi secara lisan dapat menggunakan piranti lain,
yakni, bahasa sinyal (sign language). Bahasa ini mempergunakan tangan dan
jari-jari untuk membentuk kata dan kalimat. Orang yang tuna rungu dapat
mempergunakan bahasa sinyal untuk berkomunikasi. Bahasa sinyal itu sendiri ada
beberapa macam, yang terkenal di antaranya adalah Bahasa Sinyal Amerika dan Bahasa Sinyal Inggris.
BAB III
SIMPULAN
Memori
merupakan bagian integral dari eksistensi manusia. Kita tidak dapat
membayangkan seperti apa manusia itu bila kita tidak dapat mengingat masa lalu,
tidak dapat menyimpan masukan yang baru saja kita dengar, dan tidak dapat
mengingat apa yang akan kita lakukan besok. Sebagian besar dari apa yang kita
ketahui tentang dunia ini bukan berasal dari saat kita lahir tetapi kita
peroleh melalui pengalaman yang kita simpan dalam memori kita.
Memori
sangat menentukan seseorang dalam melakukan komunikasi lebih lanjut.
Berkomunikasi memerlukan bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa keadaan memori
seseorang tergantung pada otak manusia yang terdiri atas hemisfir kanan dan
kiri. Hal ini juga menentukan kemampuan seseorang dalam melakukan ujaran
sehari-hari. Terkait hal tersebut, gangguan otak dapat menghambat gangguan
wicara seseorang dan gejala lainnya dalam berbahasa.
Bahasa
yang digunakan oleh tiap penuturnya memiliki keuniversalan dan dan kategori
perceptual. Keuniversalan suatu bahasa dapat diartikan bahwa semua suku bangsa
dari lingkungan geografis dan kebudayaan yang berbeda dapat berbahasa dalam
arti bahwa bahasa dapat dipelajari oleh siapapun.
Dalam
hipotesis relativitas, kebahasaan sangat mempengaruhi pikiran dan pikiran
mempengaruhi bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam ranah kosa kata dalam
menyebutkan sesuatu atau pemberian nama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komantarnya bossss