Selasa, 29 Mei 2012

Filsafat dan Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN

Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf, bahkan telah berlangsung sejak zaman Yunani. Namun perhatian filsuf terhadap bahasa tidaklah sama, karena ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan problema filsafat pada zaman tertentu. Filsafat pendidikan nasional di negeri Pakistan misalnya bertujuan mengorientasikan dan menghidupkan semua energi, bakat, pandangan, cita-cita, dan kecerdasan manusia secara luas, dengan dasar ideologis yang dinamis.
Di dalam suatu masyarakat yang mengalami perkembangan setapak demi setapak di seluruh bidang kehidupannya, perkembangan bahasanya biasanya terdapat di dalam bidang ekonomi, politik, maupun kulturil. Terlebih lagi dapat dilihat pada perkembangan ilmu pengetahuannya juga mengalami pertumbuhan sejajar dengan alatnya yaitu bahasa.
Memang semua ahli filsafat sependapat bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan konsep-konsep tersebut.
Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat tersebut sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah aksentuasi perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
Karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian terhadap bahasa inilah yang dilanjutkan oleh para sarjana dari Alexandrian terutama karya-karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangannya merupakan dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisionalisme.
Tokoh filsuf abad pertengahan yang menaruh perhatian terhadap bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofisnya terutama dalam kaitannya dengan religi adalah Thomas Aquinas. Metode analitika bahasa yang digunakan oleh Thomas dalam karyanya Summa Theologiae adalah dengan analogi dan metaphor.
 Periode filsafat abad XX perhatian filsuf terhadap bahasa menjadi semakin besar. Mereka semakin sadar bahwa dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi semakin jelas manakala menggunakan analisis bahasa.
Pengaruh linguistik modern yang didasarkan pada pemikiran filosofis dan teori Ferdinand de Saussure pengaruhnya cukup luas di berbagai wilayah di Eropa, Amerika termasuk di Indonesia sendiri.

A.   Pengertian Filsafat Bahasa
Jika dilihat dari ilmu asal usul kata (etimologi), istilah filsafat diambil dari kata falsafah yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini diadopsi dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ‘philosophia’.  Kata philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love), dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom) secara mendalam. Dari sini terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa filosof (filsuf, failasuf) adalah seorang yang sangat cinta akan kebijaksanaan secara mendalam.
Dalam kamus linguistik filsafat bahasa adalah ilmu yang menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik.
Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat mulai dikenal dan berkembang pada abad XX ketika para filsuf mulai sadar bahwa terdapat banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis, 1976). Filsafat bahasa termasuk bidang yang kompleks dan sulit ditentukan lingkup pengertiannya (Devitt, 1987).


B.    Hubungan Filsafat dengan Bahasa
Seperti diketahui bahwa fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan kepada orang lain.
Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak manakala tidak dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun diakui bahwa bahasa mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, mereka tetap menciptakan anggapan umum bahwa fungsi bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia.
Bahasa pada hakekatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non empiris.
Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya. Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness (menyesatkan). (Aslton, 1964:6).
Maka dapat dikatakan bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam cabang-cabang filsafat metafisika logika dan epistemologi.
1.      Hubungan Bahasa dengan Metafisika
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu.
Metafisika berupaya untuk memformulasikan segala sesuatu yang bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan hal ini dilakukan oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala sesuatu tersebut dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan analisis bahasa terutama karena sifat metafisika yang tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris.
2.     Hubungan Bahasa dengan Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, yang secara etimologis istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengetahuan. Berdasarkan bidang pembahasannya epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahun manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengetahuan manusia.
Selain dalam pengetahuan apriori peranan penting bahasa dalam epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemologi yaitu :
a.      Teori kebenaran koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
b.      Teori kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.
c.        Teori kebenaran pragmatis yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan praktis manusia (Suriasumantri, 1984:55-59).

3.     Hubungan Bahasa dengan Logika
Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pada akal disebut berpikir. Maka peranan bahasa di dalam logika menjadi sangat penting. Kegiatan penalaran manusia sebagaimana dijelaskan adalah kegiatan berpikir, adapaun bentuk-bentuk pemikiran yaitu pengertian atau konsep, proposisi atau pernyataan, dan penalaran atau reasoning.
Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b) kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d) kesesatan karena amfiboli (amphibolia).

C.    Lingkup Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiliki objek materia bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak mempunyai prinsip-prinsip yang jelas dan terdifinisikan dengan baik (Alston, 1964:1). Hal ini disebabkan karena penganut-penganut filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun terdapat persamaan di antara mereka, yakni bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatian terhadap bahasa baik sebagai objek materia dalam berfilsafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat.


BAB II
BAHASA SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT

A.   Pengantar
Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filosof abad pertengahan dengan zaman Yunani namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosofisnya. Hal itu berlangsung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX yang semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan dan ketidakjelasan konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa.
B.    Zaman Yunani
1.      Masa Pra Sokrates
Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.
Pemikiran filsafat Yunani bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa. (Cassirer, 1987:170). Bahkan masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat bahasa (Borgmann, 1974:3).
Pertentangan antara ‘Fisei’ dan ‘Nomos’
Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.
Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak.
Kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’ karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah dalam perjalanan zaman.
Kaum Sofis
Pada pertengahan abad 5 SM. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Waktu itu di bidang politik Athena memainkan peranan yang sangat penting di bawah pimpinan Perikles. Demikian juga halnya dengan filsafat. Terdapatlah suatu golongan yang dinamakan Sofistik, sehingga penganutnya dinamakan kaum Sofis. Mereka terkenal karena ahli di bidang retorika dan  ahli berpidato.
2.     Sokrates
Akibat kekacauan dan kelicinan kaum Sofis maka Sokrates meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’. Proses dialektis-kritis ini mengandung suatu pengertian ‘dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) anta ride (Titus, 1984:17).

3.     Plato
Plato seorang filosof dari Athena yang menuangkan karya filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog. Persoalan dikotomi tentang hakikat bahasa ‘fisei’ dan ‘nomos’ tertuang dalam dialog Cratylus dan Hermogenes. Plato mengemukakan doktrinnya yang disebut ‘onomatopoeia’ (Cassirer, 1987:171) filsafat bahasa Plato inilah yang mampu menjembatani jurang antara nama-nama dengan benda-benda.
4.    Aristoteles
Aristoteles seorang filsuf dari Stagira yang memiliki karya yang cukup banyak. Misalnya tentang prinsip kausalitas, logika, kategori demikian pula tentang filsafat bahasa. Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Teori Aristoteles disebut dengan istilah ‘hilemorfisme’ yaitu teori bentuk-materi.
Dikotomi ‘analogi’ dan ‘anomali’
Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomali’ yang nampaknya berpegang pada khitohnya masing-masing. Golongan yang berpendapat analogi menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan itu terefleksi melalui bahasa.
Kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya tidak teratur (irreguler). Mereka menunjuk beberapa bukti dalam kenyataan sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan itu diperbaiki.
5.     Mazhab Stoa
 Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton sekitar menjelang abad keempat SM. Mazhab Stoa ini terdiri atas kelompok filsuf yang ahli logika sehingga pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan pada logika.
Pendapat kaum Stoa ini memang merupakan rintisan kearah pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih spekulatif (Parera, 1983:44,45).

C.    Zaman Romawi
Alexander Agung yang dalam sejarah telah mendirikan suatu kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun Yunani. Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik.
1.   Pemikiran Varro tentang Hakikat Bahasa
Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi dan anomali.
Etimologi
Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi dari zaman ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata, walaupun beberapa contohnya kurang tepat. Ia memberikan contoh perubahan bunyi ‘duellum’ menjadi ‘bellum’ = perang.


Pengertian Kata
Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa Latin. Yang disebut kata ialah bagian dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum, jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut aturan.
Konsep Morfologi
Dalam bidang morfologi Varro menunjukkan orisinalitasnya dalam pembagian kelas kata. Ia menyusun satu sistem  infleksi dari kata Latin dalam empat bagian sebagai berikut:
Yang berinfleksi kasus      --- kata benda (termasuk sifat)
Yang berinfleksi ‘tense’--- kata kerja
Yang berinfleksi kasus dan ‘tense’--- partisipel
Yang tidak berinfleksi      --- adverbium
Kasus dan Deklinasi
Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa Latin ada 6 kasus. Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya mengenal 5 kasus. Kasus yang keenam adalah ablativus. Jadi ada kasus nominativus (bentuk primer, pokok), genetivus (menyatakan kepunyaan), datives (yang menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan) dan ablativus (menyatakan asal, dari). Konsep kasus inilah yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan studi bahasa.
Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas lebih jauh. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula dua macam deklinasi yaitu deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perubahan sebuah bentuk yang terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola.
Deklinasi voluntaria yaitu satu perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang bersifat selektif dan manasuka.
2.     Konsep Priscia
Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa lama kelamaan menjadi semakin sempurna dan berkembang ke arah studi ketatabahasaan. Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya.
Fonologi dan Morfologi Priscia
Dalam bidang fonologi priscia membicarakan tulisan atau huruf yang disebutnya litterae. Litterae merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebur potestas. Priscia membedakan pula atas vox articulate, yaitu bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi-bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulate atau inartikulata. Akan tetapi yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat ditulis.
Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio. Kata adalah bagian yang minimum dari suatu ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan.
Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu:
1.        Nomen : dalamnya termasuk kata sifat, kata benda yang menunjukkan substansi dan kualitas.
2.       Verbum : adalah jenis kata yang mempunyai infleksi untuk menunjukkan ‘tense’, modus, tetapi tidak berinfleksi kasus.
3.       Participium : yaitu sebuah kelas kata yang selalu berderivasi dari verbum.
4.       Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat menggantikan nomen biasa dan biasanya menunjukkan orang pertama, kedua dan ketiga.
5.       Adverbium : keistimewaan adverbium ini ialah selalu dipergunakan dalam konstruksi bersama dengan verbum dan secara sintaksis dan semantic merupakan atribut verbum.
6.       Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus atau dalam kompositum.
7.       Interjectio : jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan menyatakan perasaan atau sikap pikiran.
8.       Conjunctio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan antara unsur satu dengan lainnya.

D.   Zaman Abad Pertengahan
Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung berkembangnya ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistaedan konsep bahasa spekulativa.
1.      Pemikiran Thomas Aquinas
Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theologiae (ichtisar teologi) (Bertens, 1989:35).  Pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi terutama oleh filsafat Aristoteles.
Analisis Bahasa
Analisis bahasa praktis menjadi metode yang akrab dalam penuangan pemikiran-pemikiran filosofis. Dalam pemikiran filosofis, Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk murni.
Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikirannya Thomas menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui analisis premis.
Analogi dan Metafor
Dalam filsafat Thomas doktrin tentang ‘analogi’ sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmiah filosofis sebagaimana dilakukan Aristoteles dan menghindarkan diri dari wacana puitik religius (Sugiharto, 1996:124).
Selain melalui analogi upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan melalui metafor. Adanya dilemma yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karyanya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor.
2.     Mazhab Modistae
Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap pemikiran hakikat bahasa secara tekum mereka mengembangkan dan nama Mostae muncul karena ucapan mereka yang dikenal dengan ‘De modis Significandi’. Dalam konsep pemikiran kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula dalam penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa.
3.     Konsep Bahasa Spekulativa
Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Tugas dari konsep bahasa spekulativa adalah untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata-kata sebagai sebuah tanda dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihka lain dihubungkan kepada benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Disimpulkan pula bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan.
Kaum spekulativa berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Seorang tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Peter Helias yang secara garis besar doktrin Priscia akan tetapi ia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles, dan logika ini dipakai sebagai dasar kaidah penuturan bahasa yang benar dalam zaman itu (Parera, 1983:59).

E.     Zaman Abad Modern
1.      Pengantar
Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Akhirnya muncullah masa abad modern yang diawali dengan ‘Renaissance’ berarti kelahiran kembali. Secara historis ‘Renaisance’ adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya lahir kembali.
Perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.
2.     Rene Descartes
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia digelar sebagai bapak filsafat modern. Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia kembangkan itu adalah metode analitis. Untuk mencapai kebenaran pengetahuan Descartes berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu. Namun keragu-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skiptisime mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan.
3.     Thomas Hobbes
Perkembangan pemikiran filsafat setelah masa rasionalisme Descartes adalah paham empirisme. Thomas Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran empirisme. Thomas Hobbes menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam suatu sistem filsafat materialisme.
Pemikiran filsafat materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang berkaitan dengan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan ilmu linguistik periode selanjutnya.
4.    John Locke
Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesa rasionalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia menentang ajaran-ajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut Locke segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dari luar akal melalui inderawi (Hadiwijono, 1983:36).
Dalam kaitannya dengan bahasa isi pengetahuan yang timbul dari gagasan-gagasan manusia diungkapkan melalui bahasa, adapun menurut filsafat analitik yang diungkapkan melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga menentukan bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.
George Berkeley
Ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material di luar kita, yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman dalam roh saja sehingga pemikiran Berkeley dikenal dengan aliran imaterialisme (Bertens, 1989:52).
Pemikiran Berkeley ini di samping secara substansial sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf analitika bahasa karena dasar metafisisnya yang bersifat imaterialis, karena prinsip utama para filsuf analitis adalah penolakannya terhadap metafisika, juga memiliki sisi positif yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu pengamatan yang kalau menurut istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip verifikasi.
5.     David Hume
Tradisi pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume. Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengaruh pemikiran empirisme sangat kuat terhadap filsuf bahasa yang membahas dan mengembangkan pengertian hakikat bahasa terutama dalam kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang mengakui hakikat realitas bahasa sebagai suatu realitas empiris.
6.    Immanuel Kant
Kant adalah filsuf Jerman yang berusaha untuk melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63). Pemikiran Kant tersebut dikenal dengan paham ‘kritisisme’. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio.
Kritik atas Rasio Murni
Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya keduanya bersifat berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
Kritik atas Rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi di samping itu juga ‘rasio praktis’ yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak (imperatif kategoris).
7.     Positivisme August Comte
Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.
Pemikiran August Comte
Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan. Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif atau zaman ilmiah.


BAB III
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
A.   Pengantar
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.
Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi pusat perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog filosofis. Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Memang banyak diakui oleh kalangan ahli filsafat dan kalangan historian bahwa filsafat bahasa itu sulit ditentukan batasan pengertiannya terutama filsafat analitika bahasa, karena dasar-dasar filosofisnya yang cukup rumit, padat dan sangat beragam.
Secara terminologi istilah filsafat analitika bahasa baru dikenal dan populer pada abad XX, namun demikian bilamana kita sependapat bahwa pengertian  filsafat analitik adalah pemecahan dan penjelasan problema-problema serta konsep-konsep filsafat melalui analisis bahasa, maka sebenarnya berdasarkan isi materi dan metodenya maka filsafat analitika bahasa itu telah berkembang sejak lama bahkan sejak zaman Yunani.

B.    Filsafat sebagai Analisis Bahasa
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya.
Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang sentral. Dalam pengertian inilah maka menurut Alston bahwa bahasa merupakan laboratorium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya. (Alston, 1964:5).
Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda. (1) kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa (ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk  maksud-maksud  filsafat  atau  dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. (2) kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat.

C.    Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa
Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak dapat dijelaskan begitu saja terpisah dari aliran-aliran yang berkembang sebelumnya seperti aliran rasionalisme, idealisme, empirisme, imaterialisme dan aliran positivisme. 
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme logis’ (logical atomism), ‘positivisme logis’ (logical positivism), atau kadang disebut juga ‘empirisme logis’ (logical empirism), dan ‘filsafat bahasa biasa’ (ordinary language philosophy).  

D.   Atomisme Logis
Nama aliran atomisme logis dikemukakan oleh Bertrand Russel dalam mengemukakan konsep filosofisnya yang diberi nama ‘atomisme logis’. Ia menganggap bahwa logika adalah apa yang fundamental di dalam filsafat, dan bahwa mazhab-mazhab (aliran-aliran) itu seharusnya diwarnai oleh logikanya daripada oleh metafisikanya.
Logikanya bersifat atomis dan aspek (segi) inilah yang ingin ditekankan. Oleh karena itu ia menyebutnya dengan nama atomisme logis dari pada realisme.

E.     Pengaruh Idealisme F.H. Bradley
Menurut aliran idealisme bahwa realitas terdiri atas ide-ide, fikiran-fikiran, akal, jiwa (mind) dan bukannya benda-benda material dan kekuatan. Francis Herbert Bradley (1846-1924) adalah penganut idealisme yang fanatic dan memiliki pengaruh yang sangat besar di Inggris. Menurut Bradley metode pengenalan empirisme itu sebenarnya bersifat psikologis dan bahwa mereka itu bekerja dengan ide-ide dan sama sekali tidak dengan putusan atau keterangan-keterangan.

F.     George Edward Moore
Moore adalah seorang tokoh filsafat analitik (penguraian) dan sebagai seorang analis berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi, yaitu menyatakan dengan jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat.

G.   Filsafat Atomisme Logis Bertrand Russel
Russel menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada metafisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, sehingga pemikirannya dinamakan ‘atomisme logis’.
1.      Formulasi Logika Bahasa
Prinsip analisis yang diterapkan oleh Russel dalam konsep atomisme logisnya memiliki konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa yang memiliki formulasi logis, atau dengan lain perkataan perlu ditentukan formulasi logis dalam ungkapan bahasa. Russel mengungkapkan bahwa problema filsafat muncul justru karena keterbatasan bahasa sehari-hari dan penyimpangan penggunaan bahasa dalam filsafat. Hal ini dikarenakan kurang dipahaminya formulasi logika dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum tentu menentukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa.
2.     Prinsip Kesesuaian (Isomorfi)
Russel dan Moore memiliki kesamaan pandangan bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep itu diungkapkan melalui bahasa maka analisis bahasa memegang peranan penting. Namun demikian Russel berbeda dengan Moore, ia berpendapat bahwa analisis dilakukan pada struktur hakiki bahasa dan bukannya terbatas pada konsep-konsep filsuf lain dalam menggunakan bahasa.
Deskripsi tentang doktrin isomorfi merupakan upaya Russel untuk mewujudkan obsesinya tentang hakikat struktur bahasa yang memiliki struktur logis realitas dunia.
3.     Struktur Proposisi
Atomisme logis menggambarkan bahasa ideal itu sebagai suatu kumpulan besar proposisi-proposisi yang tak terbatas yang tersusun atas struktur proposisi sederhana, elementer atau atomis (Poerwowidagdo, tanpa tahun:32).

H.   Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Menurut Wittgenstein cara atau sistem pemberian nomor sedemikian rupa sehingga proposisi-proposisi yang paling penting itu diberi nomor atau angka bulat. Terdapat tujuh angka desimal yang menunjukkan struktur logis dari proposisi-proposisi.
1.      Peranan Logika Bahasa
Wittgenstein berpendapat bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dalam Tractatus ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran.
2.     Pemikiran Filosofis Tractatus
Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku Tractatus terdiri atas pernyataan-pernyataan yang secara logis memiliki hubungan. Pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut :
Pertama : dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi suatu kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas).
Kedua : setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu secara unik (khas) dari sebuah proposisi elementer yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir.
3.     Struktur Logika Bahasa
Wittgenstein menyatakan bahwa proposisi-proposisi yaitu suatu proposisi dasar mengungkapkan keberadaan suatu peristiwa. Jadi sebuah proposisi dasar membenarkan suatu fakta-fakta karena sebuah fakta itu adalah keberadaan suatu peristiwa. Oleh karena proposisi dasar itu adalah bagian akhir dari proposisi-proposisi, dan keseluruhan proposisi adalah bahasa.
4.    Teori Gambar (Picture Theory)
Unsur-unsur gambar adalah sarana dalam bahasa, sebagaimana unsur-unsur bahasa misalnya kata, frase, klausa maupun kalimat. Adapun unsur-unsur realitas yaitu suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian terdapat dua unsur utama yang mendukung teori gambar yaitu (1) proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat, (2) fakta yang ada dalam realitas.
5.     Tipe-Tipe Kata (Words Types)
Dalam upaya penerapan metode analisis bahasa Wittgenstein menerapkan beberapa teknik untuk menganalisis makna bahasa, antara lain dengan menganalisis tipe-tipe kata.
Pengembangan lebih lanjut tentang word types tersebut dilakukan oleh Wittgenstein pada filsafatnya pada periode kedua yaitu pada teori language game, yang dalam kenyataannya visi dasar filosofisnya sangat berbeda bahkan dapat dikatakan berlawanan.
6.    Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika
Menurut Wittgenstein metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mengatakan apa yang tidak dikatakan, namun demikian Wittgenstein menyatakan bahwa memang terdapat hal-hal yang memang tidak dapat dikatakan yaitu hal-hal yang bersifat mistis.

I.      Positivisme Logis
Positivisme logis menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisisnya namun demikian positivisme logis menolak metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan : (1) bertujuan untuk menghilangkan metafisika, (2) menggunakan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah.
1.      Analisis Logis terhadap Bahasa
Menurut positivisme logis filsafat tidak memiliki suatu wilayah ilmiah tersendiri yang terletak di samping wilayah-wilayah lain yang menjadi objek ilmu pengetahuan. Tugas filsafat adalah analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah.
2.     Prinsip Verifikasi
Suatu ungkapan atau proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Memverifikasi berarti menguji, membuktikan secara empiris. Setiap ilmu pengetahuan dan filsafat senantiasa memiliki suatu pernyataan-pernyataan baik berupa aksioma, teori atau dalil hal itu dianggap memiliki makna bilamana secara prinsip dapat diverifikasi. Oleh karena itu arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris (Beerling, 1966:108).
3.     Konsep Proposisi
Doktrin yang telah dipegang teguh oleh kalangan positivisme logis adalah bahwa tugas filsafat adalah untuk menentukan dan membuat jelas pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ada dua macam proposisi menurut positivisme logis yaitu proposisi empiris dan proposisi formal (proposisi analitis).
4.    Peranan Logika dan Matematika
Tidak mungkin logika dan matematika mempunyai dasar empiris, melainkan harus bersifat lain. Logika dan matematika tidak dapat diubah oleh pengalaman-pengalaman baru. Prinsip-prinsipnya berupa apriori tidak tergantung pada pengetahuan empiris.
5.     Konsepsi Positivisme Logis tentang Filsafat
Bertolak dari prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan dalam filsafat yang tidak dapat dilepaskannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, matematika dan logika, maka kaum positivisme logis memiliki pandangan sendiri tentang filsafat. Semula kaum positivisme logis sepakat untuk mencita-citakan membangun filsafat yang bersifat ilmiah. Namun dalam kenyataannya mereka menentukan bahwa filsafat tidak memiliki wilayah penelitian sendiri.
6.    Bahasa Universal bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan
Upaya untuk memperlihatkan bahwa ungkapan-ungkapan semua ilmu pengetahuan dapat dipersatukan melalui bahasa universal yang sama. Pengaruh positivisme logis terhadap ilmu-ilmu pengetahuan lain terutama ilmu pengetahuan psikologi, busaya, sosial dan ilmu pengetahuan lainnya itu masih sangat terasa terutama di Indonesia sendiri.

J.      Positivisme Logis Alfred Jules Ayer
Menurut Ayer suatu ungkapan itu bermakna bilamana suatu ungkapan itu merupakan observation statement artinya merupakan suatu pernyataan yang menyangkut realitas inderawi. Dengan lain perkataan dikatakan bermakna bilamana dilakukan berdasarkan observasi atau verifikasi, atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan dengan observasi.
Agar supaya ungkapan itu bermakna  maka perlu kita menunjukkan kepada suatu hal empiris atau dengan lain perkataan memerlukan suatu fakta atau data empiris (Bertens, 1981:35).

K.    Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)

Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi ketidak puasan dunia pemikiran filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme terutama kalangan teolog yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika. Dan bahasa merupakan pusat perhatian para filsuf analitik.
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II
Philosophical Investigations
Konsep pemikiran filsafat Wittgenstein periode II tertuang dalam karyanya yang berjudul Philosophical Investigations. Karyanya ini memiliki corak yang berlainan dengan Tractatus yang mendasarkan pada semantik dan memiliki formulasi logika.
1.      Tata Permainan Bahasa (Language Games)
Philosophical Investigations adalah merupakan suatu bentuk filsafat bahasa biasa yang paling kuat, sekaligus sebagai penunjuk jalan atas terbukanya pemikiran filsafat yang menaruh perhatian terhadap bahasa biasa (ordinary language).
Istilah ‘language games’ (tata permainan bahasa) dipakai oleh Wittgenstein dalam arti bahwa menurut kenyataan penggunaannya, bahasa merupakan sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan.
  1. Kritik Wittgenstein atas Bahasa Filsafat
Wittgenstein menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena terdapat kekacauan dalam penerapan ‘tata permainan bahasa’. Bahasa sehari-hari pada hakekatnya telah cukup untuk maksud-maksud filsafat, namun dalam kenyataannya banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai dengan aturan (game) yang ada.
  1. Tugas Filsafat
Bahasa filsafat yang memiliki berbagai kelemahan pada hakekatnya dapat diatasi apabila kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam filsafat, yaitu kelemahan bahasa filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Untuk itu terdapat dua macam cara untuk meletakkan filsafat sebagai analisis yaitu (1) aspek penyembuhan (therapheutics), yaitu dengan cara menghilangkan kekacauan-kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat, (2) aspek metodis, yaitu cara berfilsafat yang ditempuh.

L.     Beberapa Filsuf dari Oxford
Corak baru pemikiran filsafat yang dirintis oleh Bertrand Russel, Moore dan Wittgenstein, dapat mengubah wajah filsafat Inggris terutama yang berpusat di Oxford dan Cambridge.
Filsuf yang terkenal di Oxford adalah Gilbert Ryle, John Langshaw Austin, dan Peter Strawson.



BAB IV
HAKIKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA
A.   Pengantar
Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa tidaklah mungkin dibatasi melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh atomisme logis dan positivisme logis.  Kajian filsafat melalui objek materia bahasa hanya menjelaskan kontekstualisasi linguistis masing-masing dan tidak mampu mengungkap hakikat kehidupan manusia yang sebenarnya.
Problema inilah yang mendorong para filsuf Jerman dan Perancis terutama untuk mengembangkan pemikiran filsafatnya dengan mendasarkan bahasa dalam proses ‘Hermeneutika’ . Objek materia filsuf hermeneutik sebenarnya sama dengan filsuf bahasa biasa. Mereka memiliki kesamaan yaitu mendasarkan filsafatnya pada bahasa biasa.

B.    Friederich Schleiermacher
Friederich Schleiermacher (1768 – 1834) adalah seorang ahli teologi dan ia sebagai penganut idealisme. Hermeneutika sebagai seni memahami diungkapkan olehnya sebagai berikut: “Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu dengan yang lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir, dan hermeneutik adalah merupakan bagian dari seni berpikir itu sehingga bersifat filosofis (Schleiermacher, 1977:77).
Prinsip Proses Hermeneutika
Menurut Schleiermacher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang bertolak dari ekspresi yang telah diungkapkan dan mengarah kembali ke suasana kejiwaan di mana ekspresi tersebut diungkapkan. Dalam masalah ini terdapat dua hal pokok yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan. Sedangkan prinsip yang menjadi tumpuan rekonstruksi bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan diistilahkan dengan lingkaran hermeneutika.

C.    Wilhelm Dilthey
Wilhelm Dilthey (1833 – 1911) adalah seorang filsuf yang mengagumi karya-karya Kant, walaupun ia bukan penganut neokantianisme. Konsep filosofisnya merupakan sintesa pemikiran tradisi empiris Inggris dan Perancis.
Pemikiran filisofis dikenal dengan ‘filsafat hidup’. Tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

D.   Martin Heidegger
Filsafat Heidegger termasuk pemikiran filsafat yang sangat cermat dan memiliki nuansa yang sangat dalam. ‘Das sein’ adalah merupakan pusat pembahasan ‘fenomenologi hermeneutikanya’.
Pemikiran filsafat Heidegger pada hakikatnya adalah merupakan suatu filsafat bahasa yang berbeda dengan filsafat analitik. Ia mencoba membahas Wesen der Sprache (hakikat bahasa) karena menurutnya pertanyaan tentang bahasa akan dapat memunculkan kembali masalah kedekatan berpikir dan sein (Poepoprodjo, 1987:88).
Menurutnya pemahaman tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan berpikir manusia. Dengan berpikir manusia mewujudkan hubungan ‘sein’ dengan hakikat manusia.

E.     Hans Georg Gadamer
Dalam pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’ bukanlah merupakan salah satu sikap yang dipraktekkan manusia di antara sekian banyak sikap lain yang mungkin. Dikatakan bahwa mengerti merupakan suatu proses yang melingkar.
Bagi Gadamer bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, pikiran, atau das sein. Bahasa menurutnya adalah prinsip, bahasa adalah merupakan perantaraan pengalaman hermeneutik. Bahasa merupakan perantaraan bukan berarti hanya sebagai alat, namun bahasa sebagai suatu cakrawala ontology hermeneutik (Poesporodjo, 1987:109).
Gadamer mengembangkan pengertian hermeneutika yang berpusat pada bahasa yang bersifat ontologism, dialektis dan spekulatif.

F.     Jurgen Habermas
Pemikiran-pemikiran Habermas tidak hanya di bidang filsafat terutama hermeneutika dan bahasa namun meliputi beberapa bidang ilmu terutama ilmu sosial, kebudayaan dan politik. Menurut Habermas kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia menyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu.
Dalam ilmu pengetahuan hermeneutik, bahasa sehari-hari dipergunakan untuk berkomunikasi dalam konteks kehidupan yang kongkret, sehingga bahasa itu mengungkapkan makna yang individual.

G.   Paul Ricoeur
Karya Ricoeur yang sangat populer sebelum mengembangkan filsafat bahasa adalah ‘Filsafat Kehendak’. Dalam mempraktekkan hermeneutika Ricoeur sendiri berupaya untuk mencari makna tersembunyi dibalik simbol-simbol bahkan memperluas perspektifnya, belajar dari simbol-simbol untuk memperkaya pengetahuannya. (Bertens, 1981:453).
Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang terdiri atas unsur-unsur kata. Maka sebuah kata juga merupakan sebuah simbol, sebab keduanya bersama-sama hadir dalam bentuk yang lain.
Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional, karena bahasa juga memiliki sifat konvensional yaitu sebagai suatu sistem simbol yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat penuturnya bagi sarana komunikasi.
Mengenai tugas hermeneutika Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutika adalah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, dilain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar dan memungkinkan ‘makna’ teks itu muncul ke permukaan. Pengertian hermeneutika menurut Ricoeur adalah ‘suatu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap suatu teks’ (Ricoeur, 1985:43).
Dalam proses hermeneutika harus dilakukan pembedaan antara pemahaman, penjelasan dan interpretasi. Maka bahasa memiliki peranan sentral dalam hermeneutika terutama dalam proses memahami.

H.   Jacques Derrida
Pemikiran Derrida sangat dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu fenomenologi dan strukturalisme. Hal ini nampak pada karyanya ‘Ucapan dan Fenomena’. Bagi Derrida filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Pemikiran ada sebagai ‘kehadiran’ oleh Derrida disebut juga ‘metafisika’.
Menurut Derrida pandangan tentang kehadiran ini akan nampak dengan jelas, bilamana kita mempelajari metafisika mengenai tanda. Dalam tradisi metafisika bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda menggantikan sesuatu yang tidak hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda akhirnya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir, tanda hanya sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.
Dalam pemikiran filosofisnya Derrida sangat banyak memberi perhatian terhadap bahasa, bahkan pemikiran filosofisnya tentang dekonstruksi dalam ‘postmodernisme’ juga dilakukan memalui filsafat bahasa. Derrida membedakan antara tanda dengan simbol, yang merupakan problema filosofis dalam filsafat bahasa.
Teori interpretasi pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya juga teori tentang teks. Pemahaman seseorang tergantung pada bagaimana ia membaca teks. Atas dasar ini maka teori membaca juga akan tergantung pada pemahaman. Derrida lebih cenderung kepada interpretasi teks tertulis yang digunakan untuk dibaca sebagai teks, sebab teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan sintaksis dan gaya bahasa.
Derrida mengatakan bahwa gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap unsurnya tidak ‘hadir’ atau tampil.
Didalam linguistik bahasa pada hakikatnya adalah suatu sistem tanda yang bermakna. Oleh karena itu menurut linguistik modern terutama strukturalisme bahwa bahasa itu hakikatnya adalah struktur dan makna.
Makan adalah arti, maksud atau pengertian yang diberikan kepada sesuatu bentuk kebahasaan untuk menghubungkan bentuk kebahasaan tersebut dengan alam di luar bahasa atau semua hal yang ditunjuknya.




BAB V
HAKIKAT BAHASA SEBAGAI DASAR FILSAFAT
TEORI BAHASA

A.   Pengantar
Perhatian filsafat terhadap bahasa yang merupakan paradigma teori-teori bahasa sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani. Sebagaimana diketahui Herakleitos telah mengembangkan pemikiran bahwa “kata” (logos) menurutnya bukan semata-mata gejala antropologis melainkan mengandung kebenaran kosmis yang universal. Demikian pula bilamana sebelum Herakleitos ‘kata’ seringkali dipandang sebagai memiliki makna magis, namun Herakleitos mengembangkannya sebagai fungsi semantic dan simbolis. Dalam pengertian inilah dalam zaman Yunani kuno filsafat bahasa telah mendapat perhatian para filsuf. Demikian juga filsuf besar dunia Plato telah mengembangkan pemikiran filsafat bahasa. Ia telah membahas tentang hakikat bahasa, di mana ia menyatakan bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan ‘onoma’ dan ‘rhemata’ yang merupakan cermin dari ide seseorang melalui arus ujaran. Demikian juga pada saat itu telah berkembang pemikiran spekulatif tentang hakikat bahasa sebagai ‘analogi’ dan ‘anomali’. Ungkapan-ungkapan metafisik juga telah dikembangkan oleh para filsuf sebagai upaya untuk menguak hakikat bahasa, antara lain Schleiermecher, Dilthey, Heidegger maupun Gadamer.
B.    Bahasa sebagai Substansi
Problema filosofis tentang hakikat bahasa telah muncul sejak zaman Yunani yaitu dengan munculnya pandangan dikotomis antara ‘fisei’ dan ‘nomos’. Kaum fisei berpandangan bahwa hakikat bahasa adalah bersifat alamiah. Bahasa memiliki hubungan dengan asal usul dan sumber-sumber yang bersifat abadi, sehingga dalam pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologism tidak dibentuk oleh manusia namun oleh alam, atau dengan pengertian lain terjadi secara alamiah. Kaum nomos yang dikenal dengan kaum ‘konvensionalis’ menyatakan bahwa hakikat bahasa adalah makna yang ditentukan oleh masyarakat, maka secara ontologis substansi bahasa itu ada karena diciptakan oleh masyarakat, atau ditentukan oleh tradisi dalam masyarakat.
Menurut teori bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang berupa bunyi ujaran, sehingga dapat diindera manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini juga harus dibedakan antara (1) substansi bahasa sebagai sistem tanda, yang kuantitasnya berupa sistem bunyi, tanda ataupun lambang-lambang. (2) substansi bahasa  yang merupakan  acuan  dari  bahasa,  atau  suatu  substansi  bahasa  yang merupakan petanda, yaitu substansi benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa.
1.      Substansi – Ekspresi
Teori bahasa modern lazimnya meletakkan dasar-dasar analisis bahasa pada substansi-ekspresi sebagai dasar ontologisnya. Unsur-unsur substansi-ekspresi ini sebagai aspek kuantitas bahasa yang merupakan sistem bunyi ujaran bahasa manusia, yang merupakan ekspresi dari pikiran, perasaan serta emosi manusia. Sebagian besar teori bahasa tersebut ialah mengenai teori fonetik, yang menganggap bahwa bahasa timbul baik yang ditinjau dari segi fisik (fonetik akustik) maupun yang ditinjau dari segi fisiologi tentang bagaimanakah terjadinya bunyi ujaran (fonetik artikulasi).
2.     Substansi – Isi
Teori-teori modern tentang bahasa lazimnya tidak menyamakan kata dengan benda. Tapi sampai sekarang ternyata orang masih beranggapan bahwa kata dan benda adalah sama. Kata yang merupakan bagian terkecil kalimat adalah merupakan suatu unsur sistem tanda. Kata adalah merupakan penanda dari suatu relitas dunia yang berada di luar sistem tanda itu sendiri. Sistem relasional antara aspek substansi bahasa yang merupakan suatu substansi-isi. Oleh karena itu teori bahasa modern membedakan kedua aspek tersebut dalam sistem lambang bahasa (Mackey, 1984:23).
C.    Bahasa sebagai Bentuk
Teori-teori kebahasaan yang terkenal pada abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu struktur substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris.
1.      Bentuk – Isi
Teori ini memang lebih menekankan pada bentuk mental dan bukannya mendasarkan pada bentuk atau struktur bahasa dalam arti empiris yang dapat disentuh dengan indra manusia. Bahkan pemikiran ini lebih menekankan pada keterpisahan bentuk mental bahasa dari aspek-aspek yang lainnya. Oleh karena secara ontologis hubungan bentuk-isi itu lebih ditentukan oleh hakikat bahasa sebagai bentuk mental, maka unsur bentuk empiris bahasa yang berupa bunyi ujaran bahasa ditentukan oleh bentuk mental bahasa.
2.     Bentuk – Ekspresi
Hakikat bahasa yang menekankan pada segi bentuk-ekspresi ini lazimnya dikembangkan oleh kalangan penganut strukturlisme yang radikal, dalam arti mereka ingin membangun bahasa di atas substansi yang bersifat empiris. Konsekuensinya bahwa dasar-dasar teori bahasa secara ontologis berdasarkan realitas empiris dari bahasa, terutama adalah berkaitan dengan struktur empiris bahasa, yang merupakan sistem yang menyeluruh dan dapat berdiri sendiri.
3.     Isi dan Ekspresi
Berdasarkan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan isi dan ekspresi, maka aliran yang mendasarkan pada pandangan ontologis tersebut berakar pada linguistik structural Saussure, walaupun kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran yang mendasarkan hakikat isi dan ekspresi pada bahasa.

D.   Bahasa sebagai Substansi dan Bentuk
Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk.
1.      Bahasa sebagai Substansi Isi
Terdapat teori-teori bahasa yang mendasarkan pemikirannya bahwa bahasa adalah menyangkut isi, yaitu realitas yang menyangkut segala sesuatu yang dapat dibicarakan, alam, benda-benda, dan segala sesuatu serta pengalaman kita tentang realitas tersebut. Bahasa sebagai isi juga menyangkut tentang bagaimanakah tentang pembentukan pola penyusunan arti tersebut, yaitu bagaimanakah hal-hal yang menyangkut realitas dan ide-ide yang dibicarakan manusia dirangkaikan dengan kesatuan arti sehingga pendengar dapat memahami arti yang dimaksud penuturnya.
2.     Bahasa sebagai Ekspresi
Dalam filsafat bahasa terdapat suatu paham yang menyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya merupakan suatu alat pengungkapan (ekspresi), yang tersusun dari substansi ekspresi dan penyusunannya. Bahasa juga merupakan suatu hubungan antara beratus-ratus bunyi yang kita hasilkan pada waktu kita berbicara dan bunyi-bunyi lain yang tepilih dan dikelompokkan oleh bahasa.
3.     Bahasa sebagai Isi dan Ekspresi
Terdapat juga suatu teori yang mendasarkan pada suatu pemikiran filsafat bahwa bahasa pada hakikatnya adalah sebagai isi dan ekspresi. Sebagai isi yang menyangkut segala sesuatu yang menjadi acuan dan pengalaman tentang acuan bahasa serta formulasinya dalam unit-unit bahasa. Sebagai ekspresi yang menyangkut media fisik bahasa yaitu berupa bunyi dan formulasi media bunyi ke dalam unit-unit ekspresi, misalnya fonem. Hal itu dapat meliputi tiga macam dasar yaitu: (1) bahasa hanya sebagai substansi, (2) bahasa hanya sebagai bentuk, (3) bahasa sebagai substansi maupun bentuk.


E.     Bahasa sebagai Sesuatu yang Alamiah
Walaupun secara ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan manusia, namun ditinjau berdasarkan bagaimana bahasa itu berbunyi dan nampak, maka terdapat pemikiran filosofis bahwa bahasa adalah bersifat alamiah. Sesuatu yang terdapat dalam substansi bahasa itu sendiri pada hakikatnya adalah bersifat alamiah.
1.      Bahasa Bersifat Kausalitas
Secara ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan aktivitas manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi adalah merupakan suatu penuangan pikiran manusia  selain itu bahasa sebagai suatu manifestasi tingkah laku manusia. Hal itu meliputi dua macam dasar yaitu: (1) bahasa sebagai pemikiran atau ide, (2) bahasa sebagai tingkah laku.
2.     Bahasa Bersifat Bebas
Terdapat teori yang menyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah sebagai suatu substansi yang bebas. Bahasa adalah sebagai sesuatu substansi yang tidak tergantung pada sesuatu yang lain. Hal ini meliputi dua pengertian bahasa yaitu: (1) bahasa sebagai struktur, (2) bahasa sebagai suatu sistem komunikasi.

F.     Bahasa sebagai Aktivitas Manusia
Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran-pemikiran terdahulu yang menekankan bahasa sebagai komunikasi, sebagai unsur-unsur pemikiran. Pemikiran yang menganggap bahwa bahasa sebagai suatu aktivitas, yaitu menyangkut fungsi bahasa digunakan manusia dalam hidupnya sebagai suatu aktivitas mental manusia yang meliputi aktivitas jiwa, dan aktivitas otak.

G.   Bahasa Bersifat Dinamis
Terdapat aliran filsafat bahasa yang hanya mendasarkan pada pemikiran ontologis bahwa bahasa hanya merupakan suatu aksidensia  yaitu perubahan.
Menurut pandangan ini bahwa bahasa pada hakikatnya adalah suatu perubahan yang terus menerus, bukan sesuatu yang bersifat sudah jadi.
Perubahan menurut Ruang
Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan manusia. Oleh karena itu perkembangan bahasa senantiasa selaras dengan perkembangan kebudayaan manusia.
Pandangan tentang hakikat bahasa sebagai suatu perubahan yang berdasarkan ruang membawa perubahan juga pada berbagai macam teori bahasa. Banyak ahli bahasa menyelidiki perubahan bahasa menurut ruang yaitu wilayah di mana bahasa tersebut hidup dan berkembang, yang memiliki induk bahasa yang sama.



BAB VI
PERANAN BAHASA DALAM FILSAFAT POSTMODERNISME

A.   Pengantar
Kembara filsafat sebagai buah pemikiran umat manusia berjalan secara perlahan tapi pasti, yaitu untuk menemukan suatu kebenaran hakiki. Nampaknya sifat ilmu filsafat yang dinamis dan hakiki inilah yang menyebabkan filsafat berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia.
Pemikiran filsafat setidaknya terdapat empat fase pemikiran filsafat, pertama, kosmosentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat  yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Kedua, teosentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filosofis, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat, hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang yang sering disebut pasca modern atau ‘postmodern’.
Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut sebenarnya sebagai suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan, sehingga para tokoh postmodernisme hadir untuk melakukan dekonstruksi paradigma modernisme.
B.    Bahasa sebagai Paradigma Dekonstruksi
Terminologi ‘dekonstruksi’ pada awalnya telah digunakan oleh Heidegger, yang menyatakan bahwa suatu konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus disertai dengan destruksi. (Sugiharto, 1996:43). Pemikiran inilah yang kemudian diangkat oleh Derrida dan Lyotard untuk mengembangkan pemikirannya melalui postmodernisme. Konsepsi dekonstruksi Derrida juga diilhami oleh pemikiran struktur bahasa menurut Ferdinand de Saussure yang kemudian berkembang menjadi ilmu bahasa modern. Dekonstruksi poststrukturalis Derrida mengemukakan suatu konsep pembongkaran kesatuan alamiah modernisme antara konsep (signified) sebagai penanda dan aspek lahiriah (signifier) sebagai petanda dari bahasa.

C.    Fungsi Transformatif Bahasa
Sejalan dengan realitas kehidupan manusia perkembangan pemikiran akan fungsi transformatif bahasa tidak hanya konteks keragamannya melainkan dipandang dari nilai intrinsiknya sehingga dalam hal ini fungsi dan hakikat bahasa itu dikaji ulang. Dalam hubungan inilah pemikir-pemikir hermeneutika, semiologi serta strukturalisme bahasa mengembangkan berbagai macam pemikirannya sehingga berkembang ke berbagai bidang ilmu antara lain ilmu bahasa, sastra dan filsafat itu sendiri. Berdasarkan perkembangan minat filsafat terhadap bahasa maka dasar yang melandasi dominasi fungsi deskriptif  bahasa  adalah  paradigma “representasionalisme” dalam epistemologi modern, beserta konsep dasarnya tentang akal budi yang dianggap sebagai ‘cermin’ itu. Sejak asumsi epistemologi modern tentang adanya kaitan alamiah satu banding satu antara kata dengan benda diruntuhkan, bahasa kini lebih dilihat dalam sifat transformatifnya (Sugiharto, 1996:94).

D.   Keterbatasan Bahasa
Bahasa sebenarnya bukanlah sekedar sebagai substansi fisis yang merupakan suatu objek ilmu pengetahuan saja, melainkan hakikatnya lebih luas karena bahasa tidak dapat dilepaskan dengan pengalaman manusia. Bahasa itu terbatas sebab dalam kenyataannya pengalaman manusia senantiasa lebih luas, lebih dalam dan lebih rumit daripada bahasa. Keterbatasan bahasa sebenarnya tidak mesti merupakan efek dari kenyataan ekstralinguistik. Sebaliknya justru sebenarnya konsep tentang pengalaman dan tentang kenyataan ekstralinguistik adalah yang merupakan efek dari konsep kita tentang batas bahasa, adapun batas bahasa itu sendiri sebenarnya merupakan suatu persoalan intralinguistik, yaitu persoalan intern bahasa itu sendiri.
Berdasarkan pada sifat keterbatasan bahasa, maka terbukalah suatu kemungkinan paradigma lain dalam aspek pragmatis bahasa yang kiranya akan lebih memadai yaitu paradigma transformatif, yang menekankan pada fungsi transformatif bahasa.

1 komentar:

komantarnya bossss