BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama
menjadi perhatian para filsuf, bahkan telah berlangsung sejak zaman Yunani.
Namun perhatian filsuf terhadap bahasa tidaklah sama, karena ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan problema filsafat pada zaman tertentu. Filsafat
pendidikan nasional di negeri Pakistan
misalnya bertujuan mengorientasikan dan menghidupkan semua energi, bakat,
pandangan, cita-cita, dan kecerdasan manusia secara luas, dengan dasar
ideologis yang dinamis.
Di dalam suatu masyarakat yang mengalami perkembangan setapak
demi setapak di seluruh bidang kehidupannya, perkembangan bahasanya biasanya
terdapat di dalam bidang ekonomi, politik, maupun kulturil. Terlebih lagi dapat
dilihat pada perkembangan ilmu pengetahuannya juga mengalami pertumbuhan
sejajar dengan alatnya yaitu bahasa.
Memang semua ahli filsafat sependapat bahwa hubungan bahasa
dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam
pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan
oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa maka analisis
tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam
mengungkapkan konsep-konsep tersebut.
Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat tersebut
sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman pra Sokrates, namun dalam
perjalanan sejarah aksentuasi perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat
tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
Karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian
terhadap bahasa inilah yang dilanjutkan oleh para sarjana dari Alexandrian
terutama karya-karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangannya merupakan
dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisionalisme.
Tokoh filsuf abad pertengahan yang menaruh perhatian terhadap
bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofisnya terutama dalam kaitannya
dengan religi adalah Thomas Aquinas. Metode analitika bahasa yang digunakan
oleh Thomas dalam karyanya Summa Theologiae adalah dengan analogi dan metaphor.
Periode filsafat abad XX
perhatian filsuf terhadap bahasa menjadi semakin besar. Mereka semakin sadar
bahwa dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan-persoalan filsafat,
konsep-konsep filosofis akan menjadi semakin jelas manakala menggunakan
analisis bahasa.
Pengaruh linguistik modern yang didasarkan pada pemikiran
filosofis dan teori Ferdinand de Saussure pengaruhnya cukup luas di berbagai
wilayah di Eropa, Amerika termasuk di Indonesia sendiri.
A.
Pengertian
Filsafat Bahasa
Jika dilihat dari
ilmu asal usul kata (etimologi),
istilah filsafat diambil dari kata falsafah yang berasal dari bahasa Arab.
Istilah ini diadopsi dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ‘philosophia’. Kata
philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love), dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Secara etimologis filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan (love of wisdom) secara
mendalam. Dari sini terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa filosof (filsuf,
failasuf) adalah seorang yang sangat cinta akan kebijaksanaan secara mendalam.
Dalam kamus linguistik filsafat bahasa adalah ilmu yang
menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta
dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik.
Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat mulai dikenal
dan berkembang pada abad XX ketika para filsuf mulai sadar bahwa terdapat
banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui
analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis , 1976). Filsafat
bahasa termasuk bidang yang kompleks dan sulit ditentukan lingkup pengertiannya
(Devitt, 1987).
B.
Hubungan
Filsafat dengan Bahasa
Seperti diketahui bahwa fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk
mengkomunikasikan suatu gagasan kepada orang lain.
Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui
oleh khalayak manakala tidak dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun diakui
bahwa bahasa mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, mereka
tetap menciptakan anggapan umum bahwa fungsi bahasa yang paling penting adalah
penyampaian informasi. Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk
mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa mampu mengubah
seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa bahasa merupakan salah satu aspek
terpenting dari kehidupan manusia.
Bahasa pada hakekatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak
hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna
yang sifatnya non empiris.
Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada
akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya. Bahasa
sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness
(tidak eksplisit), (3) ambiguity
(ketaksaan), (4) contex-dependence
(tergantung pada konteks), (5) misleadingness
(menyesatkan). (Aslton, 1964:6).
Maka dapat dikatakan bahwa hubungan bahasa dengan filsafat
sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam cabang-cabang filsafat
metafisika logika dan epistemologi.
1. Hubungan Bahasa dengan Metafisika
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping
cabang-cabang lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang
pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang
ada yang secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip
konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu.
Metafisika berupaya untuk memformulasikan segala sesuatu yang
bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan hal ini dilakukan
oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala sesuatu tersebut dan
hal ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan analisis bahasa terutama
karena sifat metafisika yang tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris.
2. Hubungan Bahasa dengan Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, yang
secara etimologis istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengetahuan.
Berdasarkan bidang pembahasannya epistemologi adalah cabang filsafat yang
membahas tentang pengetahun manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan
kebenaran pengetahuan manusia.
Selain dalam pengetahuan apriori peranan penting bahasa dalam
epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori
kebenaran dalam epistemologi yaitu :
a. Teori
kebenaran koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar
bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
b. Teori
kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap
benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu
berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh
pernyataan tersebut.
c.
Teori kebenaran pragmatis yang menyatakan
bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan bahwa suatu
pernyataan itu dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan
praktis manusia (Suriasumantri, 1984:55-59).
3. Hubungan Bahasa dengan Logika
Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga
dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pada akal disebut
berpikir. Maka peranan bahasa di dalam logika menjadi sangat penting. Kegiatan
penalaran manusia sebagaimana dijelaskan adalah kegiatan berpikir, adapaun
bentuk-bentuk pemikiran yaitu pengertian
atau konsep, proposisi atau pernyataan,
dan penalaran atau reasoning.
Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat,
dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa kesesatan karena bahasa
adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b) kesesatan karena term
ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d) kesesatan karena
amfiboli (amphibolia).
C.
Lingkup
Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiliki
objek materia bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat
lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak mempunyai prinsip-prinsip
yang jelas dan terdifinisikan dengan baik (Alston, 1964:1). Hal ini disebabkan
karena penganut-penganut filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan
caranya sendiri-sendiri, meskipun terdapat persamaan di antara mereka, yakni
bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatian terhadap bahasa baik sebagai objek
materia dalam berfilsafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan
filsafat.
BAB
II
BAHASA
SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT
A.
Pengantar
Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filosof abad
pertengahan dengan zaman Yunani namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam
kegiatan refleksi filosofisnya. Hal itu berlangsung sampai zaman modern dan
kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX yang semakin menyadari bahwa kekaburan,
kelemahan dan ketidakjelasan konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui
analisis bahasa.
B.
Zaman
Yunani
1.
Masa
Pra Sokrates
Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan
olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan
refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya
dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.
Pemikiran filsafat Yunani bergeser dari filsafat alam kepada
filsafat bahasa. (Cassirer,
1987:170). Bahkan masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat bahasa
(Borgmann, 1974:3).
Pertentangan antara
‘Fisei’ dan ‘Nomos’
Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin
kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai
oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.
Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah
(fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul, sumber dalam
prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan
karena itu tak dapat ditolak.
Kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh
dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya ‘persetujuan
diam’ karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah
dalam perjalanan zaman.
Kaum Sofis
Pada pertengahan
abad 5 SM. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Waktu
itu di bidang politik Athena memainkan peranan yang sangat penting di bawah
pimpinan Perikles. Demikian juga halnya dengan filsafat. Terdapatlah suatu
golongan yang dinamakan Sofistik, sehingga penganutnya dinamakan kaum Sofis.
Mereka terkenal karena ahli di bidang retorika dan ahli berpidato.
2.
Sokrates
Akibat kekacauan dan kelicinan kaum Sofis maka Sokrates
meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’.
Proses dialektis-kritis ini mengandung suatu pengertian ‘dialog antara dua
pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan
memakai pertemuan (interplay) anta ride (Titus, 1984:17).
3.
Plato
Plato seorang filosof dari Athena yang menuangkan karya
filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog. Persoalan dikotomi tentang
hakikat bahasa ‘fisei’ dan ‘nomos’ tertuang dalam dialog Cratylus
dan Hermogenes. Plato mengemukakan doktrinnya yang disebut ‘onomatopoeia’ (Cassirer, 1987:171)
filsafat bahasa Plato inilah yang mampu menjembatani jurang antara nama-nama
dengan benda-benda.
4.
Aristoteles
Aristoteles seorang filsuf dari Stagira yang memiliki karya yang cukup
banyak. Misalnya tentang prinsip kausalitas, logika, kategori demikian pula
tentang filsafat bahasa. Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa
terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal,
melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Teori Aristoteles disebut dengan
istilah ‘hilemorfisme’ yaitu teori
bentuk-materi.
Dikotomi ‘analogi’ dan ‘anomali’
Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan
munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomali’ yang nampaknya berpegang pada khitohnya
masing-masing. Golongan yang berpendapat analogi menyatakan bahwa alam ini
memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan itu
terefleksi melalui bahasa.
Kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya
tidak teratur (irreguler). Mereka menunjuk beberapa bukti dalam kenyataan
sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang
disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan
itu diperbaiki.
5.
Mazhab
Stoa
Mazhab Stoa didirikan
oleh Zeno dari Kriton sekitar menjelang abad keempat SM. Mazhab Stoa ini
terdiri atas kelompok filsuf yang ahli logika sehingga pandangan-pandangannya
tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan
pada logika.
Pendapat kaum Stoa ini memang merupakan rintisan kearah
pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih spekulatif (Parera,
1983:44,45).
C.
Zaman
Romawi
Alexander Agung yang dalam sejarah telah mendirikan suatu
kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun Yunani. Pemikiran-pemikiran
dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun
telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik.
1.
Pemikiran
Varro tentang Hakikat Bahasa
Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam
perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi
dan anomali.
Etimologi
Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi dari zaman
ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata, walaupun beberapa contohnya
kurang tepat. Ia memberikan contoh perubahan bunyi ‘duellum’ menjadi ‘bellum’ =
perang.
Pengertian Kata
Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk yang terjadi secara analogi dan
anomali terutama dalam bahasa Latin. Yang disebut kata ialah bagian
dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum,
jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut aturan.
Konsep Morfologi
Dalam bidang morfologi Varro menunjukkan orisinalitasnya
dalam pembagian kelas kata. Ia menyusun satu
sistem infleksi dari kata Latin dalam
empat bagian sebagai berikut:
Yang berinfleksi
kasus --- kata benda (termasuk sifat)
Yang berinfleksi
‘tense’--- kata kerja
Yang berinfleksi
kasus dan ‘tense’--- partisipel
Yang tidak berinfleksi ---
adverbium
Kasus dan Deklinasi
Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa
Latin ada 6 kasus. Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya mengenal 5 kasus.
Kasus yang keenam adalah ablativus. Jadi ada kasus nominativus (bentuk primer,
pokok), genetivus (menyatakan kepunyaan), datives (yang menerima), akusativus
(objek), vokativus (panggilan) dan ablativus (menyatakan asal, dari). Konsep
kasus inilah yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan studi bahasa.
Dalam hal deklinasi,
Varro telah membahas lebih jauh. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan
infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula dua macam deklinasi yaitu
deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perubahan sebuah bentuk yang
terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola.
Deklinasi
voluntaria yaitu satu perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang
bersifat selektif dan manasuka.
2.
Konsep
Priscia
Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa lama kelamaan
menjadi semakin sempurna dan berkembang
ke arah studi ketatabahasaan. Konsep Priscia ini merupakan model yang paling
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya.
Fonologi dan Morfologi Priscia
Dalam bidang fonologi priscia membicarakan tulisan atau huruf
yang disebutnya litterae. Litterae
merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebur potestas. Priscia membedakan pula atas vox articulate, yaitu bunyi yang
diucapkan untuk membedakan makna, vox
litterata adalah bunyi-bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi
articulate atau inartikulata. Akan tetapi yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat ditulis.
Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut
dictio. Kata adalah bagian yang minimum dari suatu ujaran dan harus diartikan
terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan.
Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata
dalam delapan macam yaitu:
1.
Nomen : dalamnya termasuk kata sifat, kata
benda yang menunjukkan substansi dan kualitas.
2. Verbum
: adalah jenis kata yang mempunyai infleksi untuk menunjukkan ‘tense’, modus,
tetapi tidak berinfleksi kasus.
3.
Participium : yaitu
sebuah kelas kata yang selalu berderivasi dari verbum.
4.
Pronomen : yaitu
jenis kata yang dapat menggantikan nomen biasa dan biasanya menunjukkan orang
pertama, kedua dan ketiga.
5.
Adverbium :
keistimewaan adverbium ini ialah selalu dipergunakan dalam konstruksi bersama
dengan verbum dan secara sintaksis dan semantic merupakan atribut verbum.
6.
Praepositio : yaitu
jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang
terletak di depan bentuk yang berkasus atau dalam kompositum.
7.
Interjectio : jenis
kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan menyatakan perasaan atau
sikap pikiran.
8.
Conjunctio : yaitu
jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menghubungkan
anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan antara unsur
satu dengan lainnya.
D.
Zaman
Abad Pertengahan
Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama
dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan latin serta bahasa
latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif
filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua oleh karena
sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan
teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa
sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung
berkembangnya ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistaedan konsep
bahasa spekulativa.
1.
Pemikiran
Thomas Aquinas
Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam
sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan
terutama karyanya yang berjudul Summa
Theologiae (ichtisar teologi) (Bertens, 1989:35). Pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi
terutama oleh filsafat Aristoteles.
Analisis Bahasa
Analisis bahasa praktis menjadi metode yang akrab dalam penuangan
pemikiran-pemikiran filosofis. Dalam pemikiran filosofis, Thomas menggunakan
ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk
murni.
Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikirannya Thomas
menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip
deduksi yang dilakukan dengan melalui analisis premis.
Analogi dan Metafor
Dalam filsafat Thomas doktrin tentang ‘analogi’ sebenarnya
dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmiah filosofis
sebagaimana dilakukan Aristoteles dan menghindarkan diri dari wacana puitik
religius (Sugiharto, 1996:124).
Selain melalui analogi upaya Thomas untuk mengangkat wacana
teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan melalui metafor. Adanya
dilemma yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karyanya dengan
menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor.
2.
Mazhab
Modistae
Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap pemikiran hakikat
bahasa secara tekum mereka mengembangkan dan nama Mostae muncul karena ucapan
mereka yang dikenal dengan ‘De modis Significandi’. Dalam konsep pemikiran kaum
Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula
dalam penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa.
3.
Konsep
Bahasa Spekulativa
Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi
deskripsi gramatikal bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan
Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Tugas dari konsep bahasa spekulativa
adalah untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata-kata sebagai sebuah tanda
dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihka lain
dihubungkan kepada benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Disimpulkan pula
bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan.
Kaum spekulativa berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin
mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan
kategori-kategori gramatikal lainnya. Seorang tokoh yang terkenal pada masa itu
yaitu Peter Helias yang secara garis besar doktrin Priscia akan tetapi ia
selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles, dan logika ini
dipakai sebagai dasar kaidah penuturan bahasa yang benar dalam zaman itu
(Parera, 1983:59).
E.
Zaman
Abad Modern
1.
Pengantar
Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang
waktu. Akhirnya muncullah masa abad modern yang diawali dengan ‘Renaissance’
berarti kelahiran kembali. Secara historis
‘Renaisance’ adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang
merasa dirinya lahir kembali.
Perkembangan
filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern
ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang
kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.
2.
Rene
Descartes
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes
sehingga ia digelar sebagai bapak filsafat modern. Pemikiran Descartes sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat analitika bahasa dan bahkan
hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia kembangkan itu
adalah metode analitis. Untuk mencapai
kebenaran pengetahuan Descartes berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala
sesuatu. Namun keragu-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skiptisime
mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan.
3.
Thomas
Hobbes
Perkembangan
pemikiran filsafat setelah masa rasionalisme Descartes adalah paham empirisme.
Thomas Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran
empirisme. Thomas Hobbes menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme
dalam suatu sistem filsafat materialisme.
Pemikiran filsafat
materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa,
baik yang berkaitan dengan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap
perkembangan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan
ilmu linguistik periode selanjutnya.
4.
John
Locke
Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesa rasionalisme
Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan
beberapa pemikiran Descartes,
namun ia menentang ajaran-ajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan
asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut Locke segala
pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio
bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dari luar akal melalui
inderawi (Hadiwijono, 1983:36).
Dalam kaitannya
dengan bahasa isi pengetahuan yang timbul dari gagasan-gagasan manusia
diungkapkan melalui bahasa, adapun menurut filsafat analitik yang diungkapkan
melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga
menentukan bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.
George Berkeley
Ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material di luar kita, yang
ada hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman dalam
roh saja sehingga pemikiran Berkeley
dikenal dengan aliran imaterialisme (Bertens, 1989:52).
Pemikiran Berkeley ini di samping secara substansial
sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf analitika bahasa karena dasar
metafisisnya yang bersifat imaterialis, karena prinsip utama para filsuf
analitis adalah penolakannya terhadap metafisika, juga memiliki sisi positif
yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu pengamatan yang kalau menurut
istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip verifikasi.
5.
David
Hume
Tradisi pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal
adalah pemikiran David Hume. Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengaruh pemikiran empirisme sangat kuat terhadap filsuf bahasa
yang membahas dan mengembangkan pengertian hakikat bahasa terutama dalam
kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang mengakui hakikat realitas
bahasa sebagai suatu realitas empiris.
6.
Immanuel
Kant
Kant adalah filsuf Jerman yang berusaha untuk melakukan suatu
sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu
paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63). Pemikiran Kant tersebut
dikenal dengan paham ‘kritisisme’. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang
memulai perjalanannya terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas
rasio.
Kritik atas Rasio Murni
Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjembatani
rasionalisme dengan empirisme. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme
sebenarnya keduanya bersifat berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan
paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
Kritik atas Rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut
rasio teoritis atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi di
samping itu juga ‘rasio praktis’ yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus
kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada
kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang
mutlak (imperatif kategoris).
7.
Positivisme
August Comte
Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa
yang ada sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.
Pemikiran August Comte
Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan
pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai
keseluruhan. Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut
merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif
atau zaman ilmiah.
BAB
III
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
A.
Pengantar
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung
lama, bahkan sejak zaman pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas
tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.
Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi pusat perhatian
filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog filosofis. Filsafat abad
modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika
bahasa. Memang banyak diakui oleh kalangan ahli filsafat dan kalangan historian
bahwa filsafat bahasa itu sulit ditentukan batasan pengertiannya terutama
filsafat analitika bahasa, karena dasar-dasar filosofisnya yang cukup rumit,
padat dan sangat beragam.
Secara terminologi istilah filsafat analitika bahasa baru
dikenal dan populer pada abad XX, namun demikian bilamana kita sependapat bahwa
pengertian filsafat analitik adalah
pemecahan dan penjelasan problema-problema serta konsep-konsep filsafat melalui
analisis bahasa, maka sebenarnya berdasarkan isi materi dan metodenya maka
filsafat analitika bahasa itu telah berkembang sejak lama bahkan sejak zaman
Yunani.
B.
Filsafat
sebagai Analisis Bahasa
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta
merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu bahasa sangat
sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak
filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya.
Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal
sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang sentral. Dalam
pengertian inilah maka menurut Alston bahwa bahasa merupakan laboratorium
filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema
filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya. (Alston, 1964:5).
Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat
peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal
pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah yaitu
keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu
mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam
kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan
yang berbeda. (1) kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa
biasa (ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam
komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat atau dengan
lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan
konsep-konsep filsafat. (2) kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa
sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep
filsafat.
C.
Perkembangan
Filsafat Analitika Bahasa
Analitika bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat
untuk menjelaskan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan
filosofis. Perkembangan filsafat analitika bahasa itu memang tidak dapat
dijelaskan begitu saja terpisah dari aliran-aliran yang berkembang sebelumnya
seperti aliran rasionalisme, idealisme, empirisme, imaterialisme dan aliran
positivisme.
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu
meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme
logis’ (logical atomism), ‘positivisme logis’ (logical positivism),
atau kadang disebut juga ‘empirisme
logis’ (logical empirism), dan ‘filsafat
bahasa biasa’ (ordinary language philosophy).
D.
Atomisme
Logis
Nama aliran atomisme logis dikemukakan oleh Bertrand Russel
dalam mengemukakan konsep filosofisnya yang diberi nama ‘atomisme logis’. Ia menganggap bahwa logika adalah apa yang
fundamental di dalam filsafat, dan bahwa mazhab-mazhab (aliran-aliran) itu
seharusnya diwarnai oleh logikanya daripada oleh metafisikanya.
Logikanya bersifat atomis dan aspek (segi) inilah yang ingin
ditekankan. Oleh karena itu ia
menyebutnya dengan nama atomisme logis dari pada realisme.
E.
Pengaruh
Idealisme F.H. Bradley
Menurut aliran idealisme bahwa realitas terdiri atas ide-ide,
fikiran-fikiran, akal, jiwa (mind) dan bukannya benda-benda material dan
kekuatan. Francis Herbert Bradley (1846-1924) adalah penganut idealisme yang
fanatic dan memiliki pengaruh yang sangat besar di Inggris. Menurut Bradley
metode pengenalan empirisme itu sebenarnya bersifat psikologis dan bahwa mereka
itu bekerja dengan ide-ide dan sama sekali tidak dengan putusan atau
keterangan-keterangan.
F.
George
Edward Moore
G.
Filsafat
Atomisme Logis Bertrand Russel
Russel menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada
metafisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya
logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, sehingga pemikirannya dinamakan
‘atomisme logis’.
1.
Formulasi
Logika Bahasa
Prinsip analisis yang diterapkan oleh Russel dalam konsep
atomisme logisnya memiliki konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa yang
memiliki formulasi logis, atau dengan lain perkataan perlu ditentukan formulasi
logis dalam ungkapan bahasa. Russel mengungkapkan bahwa problema filsafat
muncul justru karena keterbatasan bahasa sehari-hari dan penyimpangan
penggunaan bahasa dalam filsafat. Hal ini dikarenakan kurang dipahaminya
formulasi logika dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum
tentu menentukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa.
2.
Prinsip
Kesesuaian (Isomorfi)
Russel dan Moore
memiliki kesamaan pandangan bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis
konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep itu diungkapkan melalui bahasa maka
analisis bahasa memegang peranan penting. Namun demikian Russel berbeda dengan Moore , ia berpendapat
bahwa analisis dilakukan pada struktur hakiki bahasa dan bukannya terbatas pada
konsep-konsep filsuf lain dalam menggunakan bahasa.
Deskripsi tentang doktrin isomorfi merupakan upaya Russel untuk
mewujudkan obsesinya tentang hakikat struktur bahasa yang memiliki struktur
logis realitas dunia.
3.
Struktur
Proposisi
Atomisme logis menggambarkan bahasa ideal itu sebagai suatu
kumpulan besar proposisi-proposisi yang tak terbatas yang tersusun atas
struktur proposisi sederhana, elementer atau atomis (Poerwowidagdo, tanpa
tahun:32).
H.
Filsafat
Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Menurut Wittgenstein cara atau sistem pemberian nomor sedemikian
rupa sehingga proposisi-proposisi yang paling penting itu diberi nomor atau
angka bulat. Terdapat tujuh angka desimal yang menunjukkan struktur logis dari
proposisi-proposisi.
1.
Peranan
Logika Bahasa
Wittgenstein berpendapat bahwa tugas utama filsafat adalah
memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dalam Tractatus ia
menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran.
2.
Pemikiran
Filosofis Tractatus
Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku Tractatus terdiri atas
pernyataan-pernyataan yang secara logis memiliki hubungan. Pernyataan tersebut
diungkapkan sebagai berikut :
Pertama : dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan
terdiri atas fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi suatu kumpulan
fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas).
Kedua : setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui
analisis, menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu secara unik (khas) dari
sebuah proposisi elementer yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis
akhir.
3.
Struktur
Logika Bahasa
Wittgenstein menyatakan bahwa proposisi-proposisi yaitu suatu
proposisi dasar mengungkapkan keberadaan suatu peristiwa. Jadi sebuah proposisi
dasar membenarkan suatu fakta-fakta karena sebuah fakta itu adalah keberadaan
suatu peristiwa. Oleh karena proposisi dasar itu adalah bagian akhir dari
proposisi-proposisi, dan keseluruhan proposisi adalah bahasa.
4.
Teori
Gambar (Picture Theory)
Unsur-unsur gambar
adalah sarana dalam bahasa, sebagaimana unsur-unsur bahasa misalnya kata, frase, klausa maupun
kalimat. Adapun unsur-unsur realitas yaitu suatu keadaan faktual yang merupakan
objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian terdapat dua unsur utama yang
mendukung teori gambar yaitu (1) proposisi yang merupakan alat dalam bahasa
filsafat, (2) fakta yang ada dalam realitas.
5.
Tipe-Tipe
Kata (Words Types)
Dalam upaya penerapan metode analisis bahasa Wittgenstein
menerapkan beberapa teknik untuk menganalisis makna bahasa, antara lain dengan
menganalisis tipe-tipe kata.
Pengembangan lebih lanjut tentang word types tersebut dilakukan
oleh Wittgenstein pada filsafatnya pada periode kedua yaitu pada teori language
game, yang dalam kenyataannya visi dasar filosofisnya sangat berbeda bahkan
dapat dikatakan berlawanan.
6.
Pandangan
Wittgenstein tentang Metafisika
Menurut
Wittgenstein metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mengatakan apa
yang tidak dikatakan, namun demikian Wittgenstein menyatakan bahwa memang
terdapat hal-hal yang memang tidak dapat dikatakan yaitu hal-hal yang bersifat
mistis.
I.
Positivisme
Logis
Positivisme logis
menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan
cara atau teknik analisisnya namun demikian positivisme logis menolak
metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk
dua macam tujuan : (1) bertujuan untuk menghilangkan metafisika, (2) menggunakan
teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis
pernyataan-pernyataan fakta ilmiah.
1.
Analisis
Logis terhadap Bahasa
Menurut positivisme logis filsafat tidak memiliki suatu wilayah
ilmiah tersendiri yang terletak di samping wilayah-wilayah lain yang menjadi
objek ilmu pengetahuan. Tugas filsafat adalah analisis logis terhadap
pengetahuan ilmiah.
2.
Prinsip
Verifikasi
Suatu ungkapan atau
proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi.
Memverifikasi berarti menguji, membuktikan secara empiris. Setiap ilmu pengetahuan dan filsafat
senantiasa memiliki suatu pernyataan-pernyataan baik berupa aksioma, teori atau
dalil hal itu dianggap memiliki makna bilamana secara prinsip dapat
diverifikasi. Oleh karena itu arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode
verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris (Beerling, 1966:108).
3.
Konsep
Proposisi
Doktrin yang telah dipegang teguh oleh kalangan positivisme
logis adalah bahwa tugas filsafat adalah untuk menentukan dan membuat jelas
pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi dalam ilmu pengetahuan dan
filsafat. Ada dua macam
proposisi menurut positivisme logis yaitu proposisi empiris dan proposisi
formal (proposisi analitis).
4.
Peranan
Logika dan Matematika
Tidak mungkin logika dan matematika mempunyai dasar empiris,
melainkan harus bersifat lain. Logika dan matematika tidak dapat diubah oleh
pengalaman-pengalaman baru. Prinsip-prinsipnya berupa apriori tidak tergantung
pada pengetahuan empiris.
5. Konsepsi
Positivisme Logis tentang Filsafat
Bertolak dari prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan dalam
filsafat yang tidak dapat dilepaskannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam,
matematika dan logika, maka kaum positivisme logis memiliki pandangan sendiri
tentang filsafat. Semula kaum positivisme logis sepakat untuk mencita-citakan
membangun filsafat yang bersifat ilmiah. Namun dalam kenyataannya mereka
menentukan bahwa filsafat tidak memiliki wilayah penelitian sendiri.
6. Bahasa Universal
bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan
Upaya untuk memperlihatkan bahwa ungkapan-ungkapan semua ilmu
pengetahuan dapat dipersatukan melalui bahasa universal yang sama. Pengaruh
positivisme logis terhadap ilmu-ilmu pengetahuan lain terutama ilmu pengetahuan
psikologi, busaya, sosial dan ilmu pengetahuan lainnya itu masih sangat terasa
terutama di Indonesia
sendiri.
J.
Positivisme
Logis Alfred Jules Ayer
Menurut Ayer suatu ungkapan itu bermakna bilamana suatu ungkapan
itu merupakan observation statement artinya merupakan suatu pernyataan yang
menyangkut realitas inderawi. Dengan lain perkataan dikatakan bermakna bilamana
dilakukan berdasarkan observasi atau verifikasi, atau sekurang-kurangnya memiliki
hubungan dengan observasi.
Agar supaya ungkapan itu bermakna maka perlu kita menunjukkan kepada suatu hal
empiris atau dengan lain perkataan memerlukan suatu fakta atau data empiris
(Bertens, 1981:35).
K.
Filsafat
Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)
Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi
ketidak puasan dunia pemikiran filsafat pada saat itu yang didominasi oleh
tradisi idealisme terutama kalangan teolog yang sangat mengagungkan pentingnya
metafisika. Dan bahasa merupakan pusat perhatian para filsuf analitik.
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II
Philosophical Investigations
Konsep pemikiran filsafat Wittgenstein periode II tertuang dalam
karyanya yang berjudul Philosophical Investigations. Karyanya ini memiliki
corak yang berlainan dengan Tractatus yang mendasarkan pada semantik dan
memiliki formulasi logika.
1.
Tata
Permainan Bahasa (Language Games)
Philosophical Investigations adalah merupakan suatu bentuk
filsafat bahasa biasa yang paling kuat, sekaligus sebagai penunjuk jalan atas
terbukanya pemikiran filsafat yang menaruh perhatian terhadap bahasa biasa
(ordinary language).
Istilah ‘language games’ (tata permainan bahasa) dipakai oleh
Wittgenstein dalam arti bahwa menurut kenyataan penggunaannya, bahasa merupakan
sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan.
- Kritik Wittgenstein atas Bahasa Filsafat
Wittgenstein menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat
timbul karena terdapat kekacauan dalam penerapan ‘tata permainan bahasa’. Bahasa
sehari-hari pada hakekatnya telah cukup untuk maksud-maksud filsafat, namun
dalam kenyataannya banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai dengan
aturan (game) yang ada.
- Tugas Filsafat
Bahasa filsafat yang memiliki berbagai kelemahan pada hakekatnya
dapat diatasi apabila kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam
filsafat, yaitu kelemahan bahasa filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan
tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Untuk itu terdapat dua macam cara untuk
meletakkan filsafat sebagai analisis yaitu (1) aspek penyembuhan
(therapheutics), yaitu dengan cara menghilangkan kekacauan-kekacauan yang
terjadi dalam bahasa filsafat, (2) aspek metodis, yaitu cara berfilsafat yang
ditempuh.
L.
Beberapa
Filsuf dari Oxford
Corak baru pemikiran filsafat yang dirintis oleh Bertrand
Russel, Moore dan Wittgenstein, dapat mengubah
wajah filsafat Inggris terutama yang berpusat di Oxford
dan Cambridge .
Filsuf yang terkenal di Oxford
adalah Gilbert Ryle, John Langshaw Austin, dan Peter Strawson.
BAB IV
HAKIKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA
A.
Pengantar
Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa tidaklah mungkin dibatasi
melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh atomisme logis
dan positivisme logis. Kajian filsafat
melalui objek materia bahasa hanya menjelaskan kontekstualisasi linguistis
masing-masing dan tidak mampu mengungkap hakikat kehidupan manusia yang
sebenarnya.
Problema inilah yang mendorong para filsuf Jerman dan Perancis
terutama untuk mengembangkan pemikiran filsafatnya dengan mendasarkan bahasa
dalam proses ‘Hermeneutika’ . Objek
materia filsuf hermeneutik sebenarnya sama dengan filsuf bahasa biasa. Mereka
memiliki kesamaan yaitu mendasarkan filsafatnya pada bahasa biasa.
B.
Friederich
Schleiermacher
Friederich Schleiermacher (1768 – 1834) adalah seorang ahli
teologi dan ia sebagai penganut idealisme. Hermeneutika sebagai seni memahami
diungkapkan olehnya sebagai berikut: “Semenjak seni berbicara dan seni memahami
berhubungan satu dengan yang lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar
dari berpikir, dan hermeneutik adalah merupakan bagian dari seni berpikir itu
sehingga bersifat filosofis (Schleiermacher, 1977:77).
Prinsip Proses Hermeneutika
Menurut Schleiermacher, pemahaman adalah suatu rekonstruksi yang
bertolak dari ekspresi yang telah diungkapkan dan mengarah kembali ke suasana
kejiwaan di mana ekspresi tersebut diungkapkan. Dalam masalah ini terdapat dua
hal pokok yaitu momen tata bahasa dan momen kejiwaan. Sedangkan prinsip yang
menjadi tumpuan rekonstruksi bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan
diistilahkan dengan lingkaran hermeneutika.
C.
Wilhelm
Dilthey
Wilhelm Dilthey (1833 – 1911) adalah seorang filsuf yang
mengagumi karya-karya Kant, walaupun ia bukan penganut neokantianisme. Konsep
filosofisnya merupakan sintesa pemikiran tradisi empiris Inggris dan Perancis.
Pemikiran filisofis dikenal dengan ‘filsafat hidup’. Tugas
hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal
interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
D.
Martin
Heidegger
Filsafat Heidegger termasuk pemikiran filsafat yang sangat
cermat dan memiliki nuansa yang sangat dalam. ‘Das sein’ adalah merupakan pusat
pembahasan ‘fenomenologi hermeneutikanya’.
Pemikiran filsafat Heidegger pada hakikatnya adalah merupakan
suatu filsafat bahasa yang berbeda dengan filsafat analitik. Ia mencoba
membahas Wesen der Sprache (hakikat bahasa) karena menurutnya pertanyaan
tentang bahasa akan dapat memunculkan kembali masalah kedekatan berpikir dan sein (Poepoprodjo, 1987:88).
Menurutnya pemahaman tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan
berpikir manusia. Dengan berpikir manusia mewujudkan hubungan ‘sein’ dengan
hakikat manusia.
E.
Hans
Georg Gadamer
Dalam pemikiran filosofisnya dinyatakan bahwa ‘mengerti’
bukanlah merupakan salah satu sikap yang dipraktekkan manusia di antara sekian
banyak sikap lain yang mungkin. Dikatakan bahwa mengerti merupakan suatu proses
yang melingkar.
Bagi Gadamer bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman
hidup, pemahaman, pikiran, atau das sein. Bahasa menurutnya adalah prinsip,
bahasa adalah merupakan perantaraan pengalaman hermeneutik. Bahasa merupakan
perantaraan bukan berarti hanya sebagai alat, namun bahasa sebagai suatu
cakrawala ontology hermeneutik (Poesporodjo, 1987:109).
Gadamer mengembangkan pengertian hermeneutika yang berpusat pada
bahasa yang bersifat ontologism, dialektis dan spekulatif.
F.
Jurgen
Habermas
Pemikiran-pemikiran Habermas tidak hanya di bidang filsafat
terutama hermeneutika dan bahasa namun meliputi beberapa bidang ilmu terutama
ilmu sosial, kebudayaan dan politik. Menurut Habermas kita tidak dapat
menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga tidak
dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Ia menyatakan bahwa sebuah
penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang
terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis, sedangkan pemahaman
adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi
satu.
Dalam ilmu pengetahuan hermeneutik, bahasa sehari-hari
dipergunakan untuk berkomunikasi dalam konteks kehidupan yang kongkret,
sehingga bahasa itu mengungkapkan makna yang individual.
G.
Paul
Ricoeur
Karya Ricoeur yang sangat populer sebelum mengembangkan filsafat
bahasa adalah ‘Filsafat Kehendak’. Dalam mempraktekkan hermeneutika Ricoeur
sendiri berupaya untuk mencari makna tersembunyi dibalik simbol-simbol bahkan
memperluas perspektifnya, belajar dari simbol-simbol untuk memperkaya
pengetahuannya. (Bertens,
1981:453).
Bahasa pada
hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang terdiri atas unsur-unsur kata. Maka sebuah kata
juga merupakan sebuah simbol, sebab keduanya bersama-sama hadir dalam bentuk
yang lain.
Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional,
karena bahasa juga memiliki sifat konvensional yaitu sebagai suatu sistem
simbol yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat penuturnya bagi sarana
komunikasi.
Mengenai tugas hermeneutika Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama
hermeneutika adalah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur
struktural kerja di dalam sebuah teks, dilain pihak mencari daya yang dimiliki
kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar dan memungkinkan ‘makna’ teks
itu muncul ke permukaan. Pengertian hermeneutika menurut Ricoeur adalah ‘suatu
teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap
suatu teks’ (Ricoeur, 1985:43).
Dalam proses hermeneutika harus dilakukan pembedaan antara
pemahaman, penjelasan dan interpretasi. Maka bahasa memiliki peranan sentral
dalam hermeneutika terutama dalam proses memahami.
H.
Jacques
Derrida
Pemikiran Derrida
sangat dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu fenomenologi dan
strukturalisme. Hal ini nampak pada karyanya ‘Ucapan dan Fenomena’. Bagi Derrida
filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Pemikiran ada
sebagai ‘kehadiran’ oleh Derrida disebut juga ‘metafisika’.
Menurut Derrida
pandangan tentang kehadiran ini akan nampak dengan jelas, bilamana kita
mempelajari metafisika mengenai tanda. Dalam tradisi metafisika bahwa tanda
menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, tanda menggantikan sesuatu yang tidak
hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda akhirnya selalu
menunjuk kepada objek itu sendiri sebagai hadir, tanda hanya sekedar pengganti
yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.
Dalam pemikiran
filosofisnya Derrida sangat banyak memberi perhatian terhadap bahasa, bahkan
pemikiran filosofisnya tentang dekonstruksi dalam ‘postmodernisme’ juga
dilakukan memalui filsafat bahasa. Derrida membedakan antara tanda dengan
simbol, yang merupakan problema filosofis dalam filsafat bahasa.
Teori interpretasi
pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya juga teori tentang teks.
Pemahaman seseorang tergantung pada bagaimana ia membaca teks. Atas dasar ini
maka teori membaca juga akan tergantung pada pemahaman. Derrida lebih cenderung
kepada interpretasi teks tertulis yang digunakan untuk dibaca sebagai teks,
sebab teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan sintaksis dan gaya bahasa.
Derrida mengatakan
bahwa gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap unsurnya tidak ‘hadir’ atau
tampil.
Didalam linguistik
bahasa pada hakikatnya adalah suatu sistem tanda yang bermakna. Oleh karena itu
menurut linguistik modern terutama strukturalisme bahwa bahasa itu hakikatnya
adalah struktur dan makna.
Makan adalah arti,
maksud atau pengertian yang diberikan kepada sesuatu bentuk kebahasaan untuk
menghubungkan bentuk kebahasaan tersebut dengan alam di luar bahasa atau semua
hal yang ditunjuknya.
BAB V
HAKIKAT BAHASA
SEBAGAI DASAR FILSAFAT
TEORI BAHASA
A.
Pengantar
Perhatian filsafat terhadap bahasa yang merupakan paradigma
teori-teori bahasa sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani. Sebagaimana diketahui
Herakleitos telah mengembangkan pemikiran bahwa “kata” (logos) menurutnya bukan
semata-mata gejala antropologis melainkan mengandung kebenaran kosmis yang
universal. Demikian pula bilamana sebelum Herakleitos ‘kata’ seringkali
dipandang sebagai memiliki makna magis, namun Herakleitos mengembangkannya
sebagai fungsi semantic dan simbolis. Dalam pengertian inilah dalam zaman
Yunani kuno filsafat bahasa telah mendapat perhatian para filsuf. Demikian juga
filsuf besar dunia Plato telah mengembangkan pemikiran filsafat bahasa. Ia
telah membahas tentang hakikat bahasa, di mana ia menyatakan bahwa bahasa
adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan ‘onoma’ dan ‘rhemata’
yang merupakan cermin dari ide seseorang melalui arus ujaran. Demikian juga pada
saat itu telah berkembang pemikiran spekulatif tentang hakikat bahasa sebagai
‘analogi’ dan ‘anomali’. Ungkapan-ungkapan metafisik juga telah dikembangkan
oleh para filsuf sebagai upaya untuk menguak hakikat bahasa, antara lain
Schleiermecher, Dilthey, Heidegger maupun Gadamer.
B.
Bahasa
sebagai Substansi
Problema filosofis
tentang hakikat bahasa telah muncul sejak zaman Yunani yaitu dengan munculnya
pandangan dikotomis antara ‘fisei’ dan ‘nomos’. Kaum fisei berpandangan bahwa
hakikat bahasa adalah bersifat alamiah. Bahasa memiliki hubungan dengan asal
usul dan sumber-sumber yang bersifat abadi, sehingga dalam pengertian substansi
bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan
makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologism tidak dibentuk oleh manusia
namun oleh alam, atau dengan pengertian lain terjadi secara alamiah. Kaum nomos
yang dikenal dengan kaum ‘konvensionalis’ menyatakan bahwa hakikat bahasa
adalah makna yang ditentukan oleh masyarakat, maka secara ontologis substansi bahasa
itu ada karena diciptakan oleh masyarakat, atau ditentukan oleh tradisi dalam
masyarakat.
Menurut teori
bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang
bersifat empiris yaitu yang berupa bunyi ujaran, sehingga dapat diindera
manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara
ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda,
konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini juga harus dibedakan
antara (1) substansi bahasa sebagai
sistem tanda, yang kuantitasnya berupa sistem bunyi, tanda ataupun
lambang-lambang. (2) substansi bahasa
yang merupakan acuan dari
bahasa, atau suatu
substansi bahasa yang merupakan petanda, yaitu substansi
benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa.
1.
Substansi
– Ekspresi
Teori bahasa modern
lazimnya meletakkan dasar-dasar analisis bahasa pada substansi-ekspresi sebagai
dasar ontologisnya. Unsur-unsur substansi-ekspresi ini sebagai aspek kuantitas
bahasa yang merupakan sistem bunyi ujaran bahasa manusia, yang merupakan
ekspresi dari pikiran, perasaan serta emosi manusia. Sebagian besar teori
bahasa tersebut ialah mengenai teori fonetik, yang menganggap bahwa bahasa
timbul baik yang ditinjau dari segi fisik (fonetik akustik) maupun yang
ditinjau dari segi fisiologi tentang bagaimanakah terjadinya bunyi ujaran
(fonetik artikulasi).
2.
Substansi
– Isi
Teori-teori modern
tentang bahasa lazimnya tidak menyamakan kata dengan benda. Tapi sampai
sekarang ternyata orang masih beranggapan bahwa kata dan benda adalah sama. Kata
yang merupakan bagian terkecil kalimat adalah merupakan suatu unsur sistem
tanda. Kata adalah
merupakan penanda dari suatu relitas dunia yang berada di luar sistem tanda itu
sendiri. Sistem relasional antara aspek substansi bahasa yang merupakan suatu
substansi-isi. Oleh karena itu teori bahasa modern membedakan kedua aspek
tersebut dalam sistem lambang bahasa (Mackey, 1984:23).
C.
Bahasa
sebagai Bentuk
Teori-teori kebahasaan yang terkenal pada abad XX banyak yang
mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan
suatu struktur substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang
dapat diamati secara empiris.
1.
Bentuk
– Isi
Teori ini memang lebih menekankan pada bentuk mental dan
bukannya mendasarkan pada bentuk atau struktur bahasa dalam arti empiris yang dapat disentuh
dengan indra manusia. Bahkan pemikiran ini lebih menekankan pada keterpisahan
bentuk mental bahasa dari aspek-aspek yang lainnya. Oleh karena secara
ontologis hubungan bentuk-isi itu lebih ditentukan oleh hakikat bahasa sebagai
bentuk mental, maka unsur bentuk empiris bahasa yang berupa bunyi ujaran bahasa
ditentukan oleh bentuk mental bahasa.
2.
Bentuk
– Ekspresi
Hakikat bahasa yang menekankan pada segi bentuk-ekspresi ini
lazimnya dikembangkan oleh kalangan penganut strukturlisme yang radikal, dalam
arti mereka ingin membangun bahasa di atas substansi yang bersifat empiris.
Konsekuensinya bahwa dasar-dasar teori bahasa secara ontologis berdasarkan
realitas empiris dari bahasa, terutama adalah berkaitan dengan struktur empiris
bahasa, yang merupakan sistem yang menyeluruh dan dapat berdiri sendiri.
3.
Isi
dan Ekspresi
Berdasarkan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan isi dan
ekspresi, maka aliran yang mendasarkan pada pandangan ontologis tersebut
berakar pada linguistik structural Saussure, walaupun kemudian berkembang
menjadi berbagai macam aliran yang mendasarkan hakikat isi dan ekspresi pada
bahasa.
D. Bahasa sebagai
Substansi dan Bentuk
Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja
atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada
hakikatnya adalah substansi dan bentuk.
1.
Bahasa
sebagai Substansi Isi
Terdapat teori-teori bahasa yang mendasarkan pemikirannya bahwa
bahasa adalah menyangkut isi, yaitu realitas yang menyangkut segala sesuatu
yang dapat dibicarakan, alam, benda-benda, dan segala sesuatu serta pengalaman
kita tentang realitas tersebut. Bahasa sebagai isi juga menyangkut tentang bagaimanakah
tentang pembentukan pola penyusunan arti tersebut, yaitu bagaimanakah hal-hal
yang menyangkut realitas dan ide-ide yang dibicarakan manusia dirangkaikan
dengan kesatuan arti sehingga pendengar dapat memahami arti yang dimaksud
penuturnya.
2.
Bahasa
sebagai Ekspresi
Dalam filsafat bahasa terdapat suatu paham yang menyatakan bahwa
bahasa pada hakikatnya merupakan suatu alat pengungkapan (ekspresi), yang
tersusun dari substansi ekspresi dan penyusunannya. Bahasa juga merupakan suatu
hubungan antara beratus-ratus bunyi yang kita hasilkan pada waktu kita
berbicara dan bunyi-bunyi lain yang tepilih dan dikelompokkan oleh bahasa.
3.
Bahasa
sebagai Isi dan Ekspresi
Terdapat juga suatu teori yang mendasarkan pada suatu pemikiran
filsafat bahwa bahasa pada hakikatnya adalah sebagai isi dan ekspresi. Sebagai
isi yang menyangkut segala sesuatu yang menjadi acuan dan pengalaman tentang
acuan bahasa serta formulasinya dalam unit-unit bahasa. Sebagai ekspresi yang
menyangkut media fisik bahasa yaitu berupa bunyi dan formulasi media bunyi ke
dalam unit-unit ekspresi, misalnya fonem. Hal itu dapat meliputi tiga macam
dasar yaitu: (1) bahasa hanya sebagai substansi, (2) bahasa hanya sebagai
bentuk, (3) bahasa sebagai substansi maupun bentuk.
E. Bahasa sebagai
Sesuatu yang Alamiah
Walaupun secara ontologis bahasa memiliki hubungan sebab akibat
dengan manusia, namun ditinjau berdasarkan bagaimana bahasa itu berbunyi dan
nampak, maka terdapat pemikiran filosofis bahwa bahasa adalah bersifat alamiah.
Sesuatu yang
terdapat dalam substansi bahasa itu sendiri pada hakikatnya adalah bersifat
alamiah.
1.
Bahasa
Bersifat Kausalitas
Secara ontologis
bahasa memiliki hubungan sebab akibat dengan aktivitas manusia. Bahasa sebagai
sarana komunikasi adalah merupakan suatu penuangan pikiran manusia selain itu bahasa sebagai suatu manifestasi
tingkah laku manusia. Hal itu meliputi dua macam dasar yaitu: (1) bahasa
sebagai pemikiran atau ide, (2) bahasa sebagai tingkah laku.
2.
Bahasa
Bersifat Bebas
Terdapat teori yang menyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya
adalah sebagai suatu substansi yang bebas. Bahasa adalah sebagai sesuatu
substansi yang tidak tergantung pada sesuatu yang lain. Hal ini meliputi dua
pengertian bahasa yaitu: (1) bahasa sebagai struktur, (2) bahasa sebagai suatu
sistem komunikasi.
F.
Bahasa
sebagai Aktivitas Manusia
Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran-pemikiran
terdahulu yang menekankan bahasa sebagai komunikasi, sebagai unsur-unsur
pemikiran. Pemikiran yang menganggap bahwa bahasa sebagai suatu aktivitas,
yaitu menyangkut fungsi bahasa digunakan manusia dalam hidupnya sebagai suatu
aktivitas mental manusia yang meliputi aktivitas jiwa, dan aktivitas otak.
G.
Bahasa
Bersifat Dinamis
Terdapat aliran filsafat bahasa yang hanya mendasarkan pada
pemikiran ontologis bahwa bahasa hanya merupakan suatu aksidensia yaitu perubahan.
Menurut pandangan ini bahwa bahasa pada hakikatnya adalah suatu
perubahan yang terus menerus, bukan sesuatu yang bersifat sudah jadi.
Perubahan menurut Ruang
Bahasa adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan manusia. Oleh karena itu perkembangan bahasa
senantiasa selaras dengan perkembangan kebudayaan manusia.
Pandangan tentang
hakikat bahasa sebagai suatu perubahan yang berdasarkan ruang membawa perubahan
juga pada berbagai macam teori bahasa. Banyak ahli bahasa menyelidiki perubahan
bahasa menurut ruang yaitu wilayah di mana bahasa tersebut hidup dan
berkembang, yang memiliki induk bahasa yang sama.
BAB VI
PERANAN BAHASA DALAM FILSAFAT
POSTMODERNISME
A.
Pengantar
Kembara filsafat sebagai buah pemikiran umat manusia berjalan
secara perlahan tapi pasti, yaitu untuk menemukan suatu kebenaran hakiki.
Nampaknya sifat ilmu filsafat yang dinamis dan hakiki inilah yang menyebabkan
filsafat berkembang terus sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia.
Pemikiran filsafat setidaknya terdapat empat fase pemikiran
filsafat, pertama, kosmosentris: yaitu fase pemikiran
filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Kedua, teosentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan
sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
Ketiga, antroposentris: yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan
manusia sebagai objek wacana filosofis, hal ini terjadi dan berkembang pada
zaman modern. Keempat, logosentris, yaitu fase pemikiran
filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat, hal ini
berkembang setelah abad modern sampai sekarang yang sering disebut pasca modern
atau ‘postmodern’.
Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan
tersebut sebenarnya sebagai suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang
dinilainya mengalami kegagalan, sehingga para tokoh postmodernisme hadir untuk
melakukan dekonstruksi paradigma modernisme.
B.
Bahasa
sebagai Paradigma Dekonstruksi
Terminologi ‘dekonstruksi’ pada awalnya telah digunakan oleh
Heidegger, yang menyatakan bahwa suatu konstruksi dalam filsafat itu dengan
sendirinya harus disertai dengan destruksi. (Sugiharto, 1996:43). Pemikiran
inilah yang kemudian diangkat oleh Derrida dan Lyotard untuk mengembangkan
pemikirannya melalui postmodernisme. Konsepsi dekonstruksi Derrida juga
diilhami oleh pemikiran struktur bahasa menurut Ferdinand de Saussure yang
kemudian berkembang menjadi ilmu bahasa modern. Dekonstruksi poststrukturalis
Derrida mengemukakan suatu konsep pembongkaran kesatuan alamiah modernisme
antara konsep (signified) sebagai
penanda dan aspek lahiriah (signifier)
sebagai petanda dari bahasa.
C.
Fungsi
Transformatif Bahasa
Sejalan dengan realitas kehidupan manusia perkembangan pemikiran
akan fungsi transformatif bahasa tidak hanya konteks keragamannya melainkan
dipandang dari nilai intrinsiknya sehingga dalam hal ini fungsi dan hakikat
bahasa itu dikaji ulang. Dalam hubungan inilah pemikir-pemikir hermeneutika,
semiologi serta strukturalisme bahasa mengembangkan berbagai macam pemikirannya
sehingga berkembang ke berbagai bidang ilmu antara lain ilmu bahasa, sastra dan
filsafat itu sendiri. Berdasarkan perkembangan minat filsafat terhadap bahasa
maka dasar yang melandasi dominasi fungsi deskriptif bahasa
adalah paradigma “representasionalisme” dalam epistemologi
modern, beserta konsep dasarnya tentang akal budi yang dianggap sebagai
‘cermin’ itu. Sejak asumsi epistemologi modern tentang adanya kaitan alamiah
satu banding satu antara kata dengan benda diruntuhkan, bahasa kini lebih
dilihat dalam sifat transformatifnya (Sugiharto, 1996:94).
D.
Keterbatasan
Bahasa
Bahasa sebenarnya bukanlah sekedar sebagai substansi fisis yang
merupakan suatu objek ilmu pengetahuan saja, melainkan hakikatnya lebih luas
karena bahasa tidak dapat dilepaskan dengan pengalaman manusia. Bahasa itu
terbatas sebab dalam kenyataannya pengalaman manusia senantiasa lebih luas,
lebih dalam dan lebih rumit daripada bahasa. Keterbatasan bahasa sebenarnya
tidak mesti merupakan efek dari kenyataan ekstralinguistik. Sebaliknya justru
sebenarnya konsep tentang pengalaman dan tentang kenyataan ekstralinguistik
adalah yang merupakan efek dari konsep kita tentang batas bahasa, adapun batas
bahasa itu sendiri sebenarnya merupakan suatu persoalan intralinguistik, yaitu
persoalan intern bahasa itu sendiri.
Berdasarkan
pada sifat keterbatasan bahasa, maka terbukalah suatu kemungkinan paradigma
lain dalam aspek pragmatis bahasa yang kiranya akan lebih memadai yaitu
paradigma transformatif, yang menekankan pada fungsi transformatif bahasa.
bisa share daftr pustaka darimateri, ga?
BalasHapus