Selasa, 29 Mei 2012

Laporan Buku Filsafat Pendidikan



 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah habis dibicarakan dari sisi keberadaannya, interaksinya dengan sesamanya, kebudayaannya, mau pun keinginannya untuk mengembangkan diri dan kemampuanya. Dalam proses pengembangan diri salah satu jalan yang ditempuh manusia adalah pendidikan. Pendidikan merupakan wacana keseharian manusia yang tidak akan pernah habis dibahas karena keberadaannya yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia. Hal itu terjadi disebabkan oleh visi filosofnya yang melihat manusia itu sebagai pelaku dan sasaran pendidikan, atau sering diistilahkan subjek dan objek pendidikan serta the central agent of education dan sebagai the agent of change.
Gerak penyelenggaraan pendidikan yang senantiasa berubah didasarkan pada kapasitas manusia memobilitas kegiatan hidupnya sehari-hari. Hal tersebut merupakan refleksi sejarah yang mengandung suatu pemahaman bahwa tidak satupun lembaga manusia yang tidak dapat berubah, termasuk pendidikan yang melibatkan manusia selaku agent sentral  dalam lembaga tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari gerak dalam ruang dan waktu itu menyiratkan makna bahwa pendidikan senantiasa terbuka terhadap masuka-masukan dari luar dirinya.
1
 
Filsafat merupakan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumanya. Filsafat merupakan teori yang mendasari alam pikiran atau sesuatu kegiatan. Filsafat merupakan ilmu yang berintikan logika, etika, metafisika, dan epistemologi (Alwi, dkk., 2003 : 317). Dapat pula dikatakan bahwa filsafat pengetahuan tentang hakikat yang ada di dunia. Filsafat memberi wawasan konseptual tentang teori, metode, dan asumsi-asumsi yang dimiliki suatu ilmu. Dengan demikian, setiap disiplin ilmu memerlukan filsafat untuk menguji kebenarannya.
Salah satu disiplin ilmu yang dimaksud dalam reviuw buku ini adalah filsafat pendidikan. Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing. Ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
           Pertanyaan yang timbul yaitu, apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?
Filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai bidang lapangan kehidupan manusia, jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Jawaban seperti itu juga digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Oleh karena itu, melalui tulisan dalam bentuk reviuw ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai hakikat filsafat pendidikan.

B.  Identitas Buku
1. Judul Buku                                : Filsafat Pendidikan;
                                                        Manusia, Filsafat, dan Pendidikan
2. Pengarang                                : Prof. Dr. H. Jalaluddin
                                                        Drs. Abdullah Idi, M. Ed.
3. Penerbit                                                : Gaya Media Pratama Jakarta
4. Tempat/Tahun Terbit               : Jakarta, 1997
5. Isi                                               : 7 Bab
6. Ukuran Buku
-   Ketebalan Buku                 : 1,3 cm  
-   Jumlah Halaman                 : 172 halaman
-   Panjang                               : 1,7 Cm
-   Lebar                                   : 15 Cm
7. Ciri Sampul                                :  Berwarna Coklat, terdapat goresan warna biru berbentuk paraf yang dibayangi dengan bebera tulisan angka yang berbentuk bundar, pada bagian bawah terdapat bayangan seorang laki yang menunjuk seorang anak perempuan yang sedang duduk.
8. Tinta Cetak                               :  Judul buku menggunakan tinta berwarna merah dan hitam, dan nama pengarangnya yang berada diatas judul menggunakan tinta berwarna hitam. Pada isi buku semuanya menggunakan tinta berwarna hitam


C. Gambaran Umum
            Buku ini menganalisis filsafat dalam pengertian umum dan filsafat pendidikan dalam pengertian khusus. Secara khusus pula, buk ini mengkaji tentang sejarah perkembangan filsafat pada zaman klasik hingga zaman modern beserta munculnya aliran-aliran filsafat pendidikan modern. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, filsafat pendidikan nasional, dikaji secara rinci pula, dengan melihat hubungan Pancasila denga sistem pendidikan yang ditinjau dari filsafat pendidikan.
            Kajian lainnya adalah betapa pentingnya hubungan filsafat pendidikan dengan kepribadian individu, bangsa, dan hubungan filsafat dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Karena kemajuan peradaban manusia ditentukan-sebagaian besar oleh budaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), maka sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan SDM adalah pendidikan.

D. Sistematika Penulisan Buku
Sistematika penulisan buku ini bertujuan untuk mengarahkan dalam mengikuti alur pembahasan yang tercantum dalam buku ini. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut.
Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini, diuraikan tentang Pengertian Filsafat atau Filsafat Secara Umum.
Bab II : Pengertian dan Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan. Bab ini menguraikan pengertian filsafat pendidikan, Ruang Lingkup Bahasan Filsafat dan Filsafat Pendidikan.
Bab III : Latar Belakang Munculnya Filsafat Pendidikan. Bab ini menguraikan tentang Perkembangan Pemikiran Filsafat Spritualisme Kuno, Memahami Reaksi Terhadap Spiritualisme di Yunani, dan Pemikiran Filsafat Pendidikan Yunani Kuno Hingga Abad Pertengahan.
Bab IV : Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan Modern Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi, dan Aksiolagi. Pada bab ini diuraikan Pengertian ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dan Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan Modren Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Bab V : Hubungan antara Filsafat, Manusia, dan Pendidikan. Bab ini membahas tentang Teori Kebenaran Menurut Filsafat dalam Bidang Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, Pandangan Filsafat tentang Hakikat Manusia, Sistem nilai dalam Kehidupan Manusia, dan Pandangan Filsafat tentang pendidikan.
Bab VI : Filsafat Pendidikan Pancasila. Pada bab ini dibahas tentang Pancasila sebagai Filsafat Hidup Bangsa, Pancasila sebagai Filsafat Pendidikan Nasional, Hubungan Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan, dan Filsafat Pendidikan Pancasila dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Bab VII. Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia. Pada bab terakhir ini diuraikan mengenai Filsafat Pendidikan Kepribadian, dan Filsafat Pendidikan dan Sumber Daya Manusia.


BAB II

 
PEMBAHASAN DAN ULASAN

            Berdasarkan latar belakang pada bab terdahulu, berikut ini disajikan secara rinci tentang Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada uraian berikut ini.

A.   Pengertian Filsafat Secara Umum
Kata filsafat atau falsafat, berasal dar bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata Philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang, suka, dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan (Ali, 1986 : 7). Hasan Shadily (1984 : 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Orang yang ahli dalam berfilsafat disebut philosopher (Inggris), dan orang arab menyebutnya Failasuf, kemudian dalam bahasa Indonesia manjadi filosof. Pemikiran secara filsafat sering diistilakan dengan pemikiran filosofis.
Dalam pengertian yang lebih luas Harol Titus, mengemukakan pengertian filsafat sebagai berikut:
1.        Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis.
2.       Filsafat ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
3.       Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4.      
5
 
filsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti konsep.
5.       Filsafat oalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat (Jalaluddin dan Said, 1994: 9).  
Dalam kaitan itu Muhammad Noor Syam, menjelaskan bahwa filsafat adalah suatu lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat luas. Filsafat menjangkau semua persoalan dalam daya kemampuan pikiran manusia, filsafat mencoba mengerti, menganalisa, menilai dan menyimpulkkan semua persoalan-persoalan secara mendalam. Meskipun kesimpulan-kesimpulan filsafat bersifat hakiki namun masih relatif dan subyektif. Kedua sifat ini tak mungkin dapat dihindarkan karena adanya sifat-sifat alamiah (kodrat) pada subyek yang melakukan aktivitas filsafat itu sendiri, yaitu manusia sebagai subyek selalu dalam proses perkembangan baik jasmani dan rohani terutama pada subyek yang selalu cenderung memiliki watak subyektivitas, akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang subyektivitas pula. Faktor-faktor inilah yang melahirkan aliran-aliran filsafat dan perbedaan-perbedaan dalam filsafat.
Dengan demikian kebenaran filsafat adalah kebenaran yang relatif. Artinya kebenaran itu sendiri selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban manusia. Bagaimanapun penilaian tentang sesuatu kebenaran yang dianggap benar itu masih sangat tergantung oleh ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa lain, belumlah tentu akan dinilai sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain, meskipun dalam kurun waktu yang sama. Sebaliknya sesuatu yang dianggap benar oleh sesuatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam suatu zaman, akan berbeda pada zaman bertikutnya. Maka  wajar jika pengertian filsafat itu selalu mangalami perubahan.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas yang berusaha memahami persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian, diharapkan agar dapat mengerti dan memiliki pandangan yang menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia didalamnya.
Plato (427 – 347), Filsuf Yunani yang merupakan murid langsung dari Socrates mengemukakan bahwa Filsafat adalah “Pengetahuan tentang segala yang ada” menurut Plato filsafat berkenaan dengan upaya penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak melalui dialektika.
Aristoteles (384 – 322) berpendapat bahwa “filsafat itu menyelidiki sebab dan prinsip segala sesuatu. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika. Logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles memandang filsafat sebagai totalitas pengetahuan manusia.
Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi pengertian kita tentang "filsafat":
·         Filsafat adalah berpikir secara kritis.
·         Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
·         Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
·         Filsafat adalah berpikir secara rasional.
·         Filsafat harus bersifat komprehensif.
Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, "Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain.

B.    Pengertian dan Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan
Berbagai pengertian tentang filsafat Pendidikan yang telah dikemukakan  oleh para ahli, Al-Syaibany (1979 : 36) mengartikan bahwa filsafat pendidikan yaitu aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan.
Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: (1) filsafat praktek pendidikan dan (2) filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: (a) filsafat proses pendidikan (biasanya hanya disebut filsafat pendidikan) dan (b) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: (1) apakah sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya, dan (3) dengan cara apakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959 dalam Mudyahardjo, 2001). Filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan manusia idaman. Filsafat sosial pendidikan, terkait dengan tiga masalah pokok, antara lain: (1) hakekat kesamaan pendidikan dan pendidikan, (2) hakekat kemerdekaan dan pendidikan, dan (3) hakikat demokrasi dan pendidikan.
Secara konsepsional filsafat ilmu pendidikan didefinisikan sebagai analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun kuantitatif. Objek filsafat ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
(1) Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola  organisasi ilmu pendidikan.
(2) Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan.
(3) Metodologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan
(4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Status filsafat ilmu pendidikan dengan filsafat secara umum ditampilkan pada Gambar 1 (Mudyahardjo, 2001). Selanjutnya disebutkan bahwa, aliran-aliran filsafat pendidikan, antara lain: aliran idealisme, realisme, scholatisisme, empirisme, pragmatisme dan aliran neoposivitisme.
Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu  pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan ( emosional), menuju arah tabi’at manusia. Jadi filasafat dapat pula diartikan sebagai teori umum pendidikan.
Barnadib (1993 : 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pendidikan. Secara filosofis pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis terhadap bidang pendidikan. Menurut seorang ahli filsafat Amerika Brubachen sebagaimana diungkapkan oleh Arifin (1993 : 3) bahwa filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum.
Secara makro, (umun) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1.        Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan.
2.       Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan.
3.       Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
4.       Merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan.
5.       Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
6.       Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian, yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana dengan tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, sehingga ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan-nya khususnya ditanah air kita.
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.

C.    Latar Belakang Munculnya Filsafat Pendidikan
Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.
Di samping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan yang pada mulanya mampu menjawab segala pertanyaan tentang segala sesuatu dan segala macam masalah. Masalah-masalah yang berhubungan dengan alam semesta, manusia dengan segala problematikanya dan kehidupan, yang dibicarakan oleh filsafat. Kemudian karena perkembangan dan keadaan masayarakat, banyak problem yang tidak bisa dijawab lagi oleh filsafat, maka lahirlah ilmu pengetahuan yang sanggup memberi jawaban terhadap problem-problem perkembangan metodologi ilmiah yang semakin pesat. Kemudian berkembanglah ilmu pengetahuan dalam bentuk disiplin ilmu dengan keterkhususannya masing-masing. Setiap disiplin ilmu memilki obyek dan sasaran yang berbeda-beda, yang terpisah satu sama lain.
Di atara banyak filsafat seperti filsafat Cina, India, juga ada filsafat Barat adalah sesuatu yang tidak begitu jelas, karena tradisi filsafat Barat telah mulai di Asia kecil dan memikat pikiran-pikiran dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Termasuk filsafat Barat, Yunani, Helleinisme, kristiani, dan seterusnya. Sehingga dengan analisa, timbullah bermacam-macam disiplin ilmu yang menggunakan analisa filsafat.
Dengan demikian, dengan menggunakan analisa fisafat, berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukankembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat.
John Dewey, seorang filosof Amerika yang menyatakan bahwa filsafat itu adlah teori umum dai pendidikan, landasan mengenai beberapa pemikiran mengenai pendidikan . Tugas filsafat adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dlam lapangan pendidikan.
Filsafat mulai berkembang dan berubah fungsinya dari sebagai induk ilmu pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat kembali berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat yang menjadi terpisah satu sama lainnya. Jadi jelaslah bagi kita bahwa filsafat berkembang sesuai dengan perputaran dan perubahan zaman.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang melatar belakangi munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya perubahan-perubahan dan permasalahan yang timbul dilapangan pendidikan, yang tidak mampu dijawab sendiri oleh ilmu oleh filsafat saja. Selain itu juga yang melatar belakangi munculnya filsafat adalah banyaknya ide-ide yang baru dalam dunia pendidikan. Adapun datangnya ide-ide tersebut di ataranya berasal dari tokoh-tokoh filsafat Yunani. 
D.   Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan Modern Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî, filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.
Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.
Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta. Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat (falsafah) umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.
Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').
Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan akhirnya Arab.
Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra filosofisnya.
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek permasalahan hidup di dunia, telah melahirkan berbagai pandangan. Pandangan-pandangan filosof itu, adakalanya satu dengan yang lain untuk bersifat saling kuat menguatkan, tetapi tidak jarang yang berbeda atau berlawanan. Hal ini disebabkan terutama pendekatan yang dipakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahan sama; karena perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula. Selain itu, faktor zaman dan pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta tempat di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Filsafat pendidikan dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pendangan atau aliran. Pemikiran filsafat tidak pernah mandeg, maka keputusan atau kesimpulan yang diperoleh pun tidak pernah merupakan kesimpulan final. Oleh sebab itu, dunia percaturan filsafat pendidikan seringkali hanya berkisar pada permasalahan yang itu-itu juga, baik sebagai bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada.
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik. Ontologi memiliki arti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Ontologi berupaya mengetahui tentang hakikat sesuatu. Anatara lain ingin mengetahui, bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk unsur yang banyak. Ontologi dibatasi adanya mutlak, keterbatasan, umum, khusus.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (obyek), manusia juga melakukan berbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui (mengenal) benda atau hal yang telah diselidiki tadi (subyek). Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan, apakah yang baik atau bagus itu. Definisi lain mengatakan aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian anak. (Ibid, 1986: 95). Ada 3 dasar pandangan filsafat yang bersifat aksiologis dan berlaku universal yaitu: (1) sosialitas, (2) individualitas, dan (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Allah swt.
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, yakni:
(1) Aliran Progressivisme, yaitu aliran yang mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan manusia.
(2)  Aliran essensialisme, adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak  pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
(3)  Aliran Perennialisme, yaitu suatu aliran yang memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yakni sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang ini terutama pendidikan zaman sekarang dikembalikan kemasa lampau. Perennialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus.

E.     Hubungan antara Filsafat, Manusia dan Pendidikan
Jika kita mendengar kata filsafat maka konotasi kita akan segera pada sesuatu yang bersifat prinsip yang juga sering dikaitkan pada suatu pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar. Pada hakekatnya filsafat adalah hasil usaha manusia dengankekuatan akal budinya untuk memahami sacara radikal, integral, dan universal tntang hakikat sarwa yang ada (hakikat Tuhan, alam, dan hakikat manusia), serta sikap manusia termasuk dari konsekwensi dari pemahamannya tersebut (Ashari, 1984: 12), dan manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku”  ini? (Salam. 1988: 12).
Pendidikan sangat erat hubungannya dengan filsafat. Filsafat pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu penerapan prinsip-prinsip filsafat ke dalam pendidikan. Sebagaimana halnya, filsafat sebagai landasan untuk mempelajari guna memahami filsafat pendidikan.
Menurut F.H. Sulaiman, pendidikan merupakan konsekuensi logis dari filsafat. Sorang filosof selalu berusaha menyebarluaskan paham dan prinsip yang dianut dan untuk mencapai maksud itu digunakan sarana pendidikan. Filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling bergantung. Pendidikan menyebarluaskan filsafat dan mengajarkan kepada orang lain, sedangkan filsafat berperan mengarahkan tujuan sistem pendidikan, merumuskan sarana dan metode guna mencapai tujuan tersebut.
Jika kita berbicara hubungan filsafat dengan pendidikan berarti kita berbicara adanya pemikiran filsafat dalam pendidikan sebagai jembatan yang dapat menghubungkan antara filsafat dengan pendidikan. Hal ini kita harus mengakui bahwa filsafat memberikan pendangan terhadap pendidikan di satu pihak dan adanya aspek dalam pendidikan yang memerlukan pemikiran filsafat di pihak lain.
Para filsuf berusaha mencari inti alam sehingga mereka disebut filsuf alam dan filsafatnya dinamai filsafat alam. Filsafat mereka dapat dikatakan suatu pemikiran pendidikan. Karena ahli pikir berusaha mencari intisari alam melalui pikiran . Adapun filsuf-filsuf tersebut antara lain :
a.      Thales (624-548), berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air.
b.      Anaximenes (590-528), mengatakan bahwa intisari alam atau dasarnya pertama ialah udara, karena udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadi dasar hidup bagi manusia yang amat diperlukan untuk bernafas.
c.        Piatgoras (523), menurutnya dasar sesuatu ialah bilanga. Orang tahu dan mengerti bilangan, tahu juga segala sesuatunya. Ia juga berpendapat bahwa manusia adalah sesuatu yang bukan jasmani dan tak dapat mati, terus ada, jika sudah tak ada. Pitagoras seorang ahli ilmu pasti dan ahli musik, penyelidikan alamnya memang mendalam serta besar pengaruhnya dalam lingkungan ahli pikir zaman itu dan kemudian.
d.      Herakleitos (532-475) mengatakan bahwa di dunia ini segala sesuatu-Nya berubah. Disimpulkan pula bahwa yang menjadi gerak, perubahan atau menjadi. Semuanya bebas tak ada yang tetap, pendapat ini dirumuskan dengan istilah “panta rhei” sebab itu filsafat Herakleitos disebut filsafat menjadi.
e.       Parmenides (540-475), mengatakan bahwa pengetahuan itu ada dua yaitu pengetahuan sebenarnya dan pengetahuan semu. Maka itu pengatahuan yang tetap dan umum yang dapat dipercaya, kalau ia benar maka sesuai realitas. Sebab yang realitas bukan yang berubah, melainkan yang tetap.
Perkembangan filsafat amat pesat diminati orang, karena minat terhadap kebijaksanaan tinggi dan hendak memberikan kebijaksanaan kepada orang lain, sehingga sekarang ini ahli pikir memang mencari kebenaran bukan mencapai kebenaran. Mereka berfilsafat demi kebanaran.
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yakni:
1.  Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika yang juga sering disebuty dengan Proto-filsafat atau filsafat yang pertama (ketuhanan) yang bahasanya adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya.
Untuk mengetahui realita semestaini di dalam ruang lingkup ontologi secara jelas, disini dibedakan antara metafisika dengan kosmologi:
a. Ontologi, secara etimologi yag berarti di balik atau dibelakan fisika, maka yang diselidiki adalah hakikat realita menjangkau sesuatu dibalik realita karena metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.
b. Kosmologi tentang realita. Kosmos yakni tentang keseluruhan sistem semesta raya dan kosmologi terbatas pada realita yang lebih nyata dalam arti alam fisika yangmaterial dalam memperkaya kepribadian manusia di dunia tidaklah di alam raya dan isinya.
Menurut Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi" atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".
Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan pencarian akan kebenaran itu sendiri.
2. Epistemologi
Epistemologi pertama kali di pakai oleh J.F. Farier di abad ke 19 di dalam Istitut Of Metaphisics (1854). Pencipta sesungguhnya adalah Plato sebab beliau telah berusaha membahas pertanyaan dasar, seperti apakah panca indera dapat memberikan pengetahuan. Dapatkah akal menyediakan ilmu pengetahuan. The Encylopedia of Pholosophy memdefenisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang membahas dari isi pikiran manusia yakni pengetahuan (Dardini, 1986:18).
Defenisi lain dari, epistemologi ialah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui tentang benda-benda. Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (objek). Kemudian, epistemologi  membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kebenaran kepada murid-muridnya (Noor Syam, 1986: 32)
Pendekaatan fenomenologis lebih bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
3. aksiologi
Dalam pembahasan mengenai aksiologi, maka manusia diperhadapkan pada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu bagi manusia? Tak dapat disangkal bahwa ilmu telah banyak merubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun demikian, apakah ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi kehidupan manusia? Memang, dengan jalan mempelajari atom, manusia bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatannya, tetapi dipihak hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Untuk mengaplikasikan ilmu itu dalam kehidupan manusia dengan memperhatikan perkembangan dan pertumbuhannya, maka dapat diketahui bahwa kecenderungan ilmu itu selalu dikaitkan dengan sesuatu tujuan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki fungsi sebagai sarana, di samping memberikan kemudahan bagi hidup dan kehidupan umat manusia sebagai sebuah berkah, juga sekaligus mambawa kutuk yang berupa malapetaka. Jadi, tujuan ilmu di suatu ketika membawa dampak yang positif dan pada ketika yang lain membawa dampak yang negatif bagi kehidupan manusia.
Dampak ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif sejarah kemanusia, maka dapat ditemukan bahwa kegunaan ilmu itu bukan saja untuk menguasaai alam sebagaimana adanya, tetapi juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasainya. Oleh karena itu, maka untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran ilmu itu, diperlukan keberanian moral dan tanggung jawab sosial ilmuan agar produk keilmuan mereka itu dapat sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. 
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
           Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
            Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (volume). Brameld membedakan tiga bagian dalam aksiologi, yaitu:
1.        Moral Conduct, tindakan moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
2.       Esthetic Ekspresion, ekspresi keindahan; yang melahirkan estetika.
3.       Socio-political Life, kehidupan sosio-politik, bidang ini melehirkan ilmu filsafat sosio-politik (Syam, 1986: 34-36).
Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kegidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu itu berniali baik, bukanlah suatu yang mudah. Apalagi menilai dalam arti yang mendalam untuk membina dalam kepribadian ideal.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Hakikat berarti adanya berbicara mengenai apa manusia itu, ada empat aliran yang dikemukakan yaitu: aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme.
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka manusia adalah zat atau materi (ibid, 1991).
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh, juga hakikat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh . Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi.
Aliran dualisme menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua subtansi yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Aliran eksistensialisme memandang manusia dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri ddunia ini. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia merupakan kaitan antara badan dan ruh. 
Sistem adalah merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai merupakan suatu norma tertentu yang mengatur ketertiban kehidupan sosial.
Niali adalah sesuatu yang selalu muncul apabila manusia sebagai makhluk sosial mengadakan hubungan sosial atau dengan kata lain hidup bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh aliran Progressivisme “masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”. Secara umum, Scope menguraikan bahwa nilai adalah tak terbatas. Maksudnya bawa segala sesuatu yang ada dalam raya ini adalah bernilai namun kalau kita lihat kembali bahwasanya, nilai adalah bagian dari filsafat pendidikan yang dikenal dengan aksiologi.
Filsafat sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari objeknya dari sudut hakikat juga mengadakan tinjauan dari segi sistemantik, artinya tinjauan dengan memperoleh pandangan mengenai problem-problemnya yang utama dan lapangan penyelidikannya yang saling berhubungan.
            Filsafat sebagai ilmu dalam tinjauan dari segi sitematik, maka filsafat berhadapan dengan tiga problem utama, yakni:
1.      Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki ini telah nyata.
2.    Pengetahuan, ialah yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa hak pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan.
3.    Nilai, yang dipelajari oleh oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan dicari jawabnya antara lain adalah seperti: nilai-nilai yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidupnya.  
Uraian di atas jika dipahami lebih jauh memberikan pengertian bahwa filsafat mencakup nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam perbuatan, terutama dalam pekerjaan mendidik. Atau dengan kata lain, mendidik tidak lain adalah merealisasikan nilai-nilai yang dimiliki guru selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan hakikat anak didik. Nilai-nilai dalam pendidikan adalah bersumbar pada filsafat atau ajaran filsafat yang telah berakar dalam sosio-kultural atau kepribadian suatu bangsa yang akan tumbuh sebagai realita dan filsafat hidup. Jadi, jelaslah bahwa ide-ide filsafat menetukan pendidikan. Dan jika masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia, berarti masalah kependidikan juga mempunyai ruang lingkup yang luas yang di dalamnya terdapat masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin dijawab dengan menggunakan analisa dan pemikiran yang mendalam atau analisa secara filosofis pula.      
F.     Filsafat Pendidikan Pancasila
Dalam ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, pancasila adalah jiwa dan seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan Bangsa Indonesia dan dasar negara kita. Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami manghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segi kegidupan. Pancasila yang dimaksud disini adalah pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang terdiri dari 5 sila dan penjabarannya sebanyak 36 butir-butir pancasila yang masing-masing tidak dapat dipahami secara terpisah, akan tetapi pancasila adalah merupakan satu kesatuan.
Panacasila adalah dasar negara Indonesia yang merupakan fungsi utamanya dan dari segi materinya Pancasila di gali dari pandangan hidup bangsa yang dijiwai kepribadian bangsa. Filsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang pendidikan berdasarkan filsafat. Bila duhubungkan fungsi pencasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, maka dapat dijabarkan bahwa pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang menjiwai dari sila-sila pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Filsafat pendidikan pancasila bila ditinjau dari aspek ontologi mempunyai isi yang abstrak umum dan universal. Maksudnya bukan pancasila sebagai filsafat secara operasional telah diwujudkan ke dalam kehidupan keseharian, melainkan sebagai pengertian pokok yang dipergunakan untuk merumuskan masing-masing sila. Itulah yang mengandung isi yang abstrak umum dan universal.
Filsafat pendidikan pancasila dilaihat dari aspek epistemologi, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.        Sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa
Pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh melalui akal atau panca indera dan dari ide atau Tuhan. Pancasila bukan lahir secara mendadak, melainkan melalui proses yang panjang yang dimatangkan dengan perjuangan.
2.       Silka kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pribadi manusia adalah subjek yang secara potensial dan aktif berkesadaran tahu atas eksistensi diri, dunia, bahkan juga sadar dan tahu bila disuatu ruang dan waktu “tidak ada” apa-apa kecuali ruang dan waktu itu sendiri.
3.       Sila ketiga Persatuan Indonesia
Proses terbentuknya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerjasama atau produk hubungan dengan lingkungannya. Potensi dasar dengan faktor kondisi lingkungan memadai akan membentuk pengetahuan.
4.       Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Manusia diciptakan Allah sebagai pemimpin di muka bumi ini untuk memakmurkan umat manusia. Dalam sistem pendidikan nasional pendidikanlah mempunyai peranan yang besar, namun tidak menutup kemungkinan peran keluarga dan masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
5.       Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ilmu pengetahuan sebagai pembendaharaan dan prestasi individu serta sebagai karya budaya umat manusia yang merupakan mertabat kepribadian manusia. Adil dalam arti luas, seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama.
            Sedangkan filsafat pendidikan pancasila yang ditinjau dari aspek aksiologinya, maka isi pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara terkandung nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai keadilan. Niali ideal, material, spritual dan nilai positif dan juga nilai logis, estetika, etis, sosial, dan religius. Jadi pancasila mempunyai niali tersendiri.

G.   Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing dan menghubungkan potensi individu.  Dari sudut pandang kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam masyarakat modern proses pendidikan didasarkan pada sustu sistem yang sengaja dirancang, sebagai suatu program pendidikan secara formal.
Pendangan hidup yang merupakan jati diri yang berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai sesuatu yang secara ideal adalah benar. Dan nilai-nilai kebenaran itu sendiri berbeda antara masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran yang idealis itu disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam penyusunan sistem pendidikan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai potensi bawaan. Dari sudut pandang potensi yang dimiliki itu, manusia dinamakn dengan berbagai sebutan. Ada tiga aliran filsafat yang terjadi dalam potensi manusia tersebut, yaitu naturalisme, menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang secara alami dapat berkembang dengan sendirinya.
Dari aliran empirisme, manusia dipandang sebagai makhluk yang bertumbuh dan berkembang atas bantuan atau karena adayang intervensi lingkungannya. Aliran ketiga memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Pada aliran ini manusia secara kodrati memang telah dianugrahkan potensi yang disebut bakat, namun selanjutnya agar potensi itu dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, perlu adanya pengaruh dari luar, berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan.
Kemajuan peradaban manusia ditentukan oleh budaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Makin tingi tingkat penguasaan IPTEK, akan makin maju pula peradaban suatu bangsa dan tingkat kualitas sumber daya manusianya. salah satu sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia adalah  pendidikan. Sehingga dengan demikian terlihat bagaimana kaitan hubungan antara filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.


BAB III

 
ULASAN ISI

A. Keunggulan
            Buku dengan judul “Filsafat Pendidikan” (Manusia, Filsafat dan Pendidikan) disusun dan didesain sedemikian rupa sehingga menampakkan model yang menarik, terutama menarik perhatian untuk membacannya. Telah banyak buku Filsafat Pendidikan yang terbit dengan penulis yang berbeda, tetapi pada dasarnya isi yang dikandungnya adalah sama. Namun, dalam buku ini banyak perbedaan dari beberapa buku yang telah terbit terdahulu.
            Buku ini juga banyak memuat kisahan pengalaman penulis dalam menguraikan ide-idenya dalam buku ini, sehingga dengan sendirinya menarik pembaca untuk ikut dalam situasi yang dirasakan penulis. Hal ini memberikan ketertarikan tersendiri bagi yang menbacanya karena langsung bersentuhan dengan kehidupan keseharian manusia.
            Buku ini mengarahkan pembaca untuk memahami secara detail tentang filsafat secara umum sampai pada filsafat yang lebih khusus.  Pada buku ini juga ditemukan beberapa konsep yang memberikan acuan bagi pembaca dalam membandingkan kondisi yang terjadi pada bangsa kita sendiri dengan bangsa lain yang ada di belahan dunia ini, sehinga pembaca tertantang untuk menemukan jawaban dari apa yang selama ini menjadi teka-teki bagi diri pembaca itu sendiri.       

B. Kelemahan
            Sistematika penulisan pada buku Filsafat Pendidikan ini tidak tersusun secara hirarki berdasarkan subpokok bahasan dan tidak diberikan penomoran, sehingga menimbulkan kekeliruan untuk mengikuti alur pemikiran pengarang.

 
            Buku ini tidak cocok untuk pembaca pemula karena bahasa yang digunakan tidak sederhana dan banyak mengutip bahasa asing dalam menegaskan setiap topik pembahasannya.
            Pada buku ini terdapat beberapa kesalahan, baik kesalahan struktur, penulisan kata yang tidak baku, dan kesalahan penulisan EYD. Begitupun dalam menguraikan subpokok bahasan yang satu dengan lainnya terkadang berulang dijelaskan. Banyak hal-hal yang dibahas dalam buku ini memilki makna yang ambiguitas.



BAB IV

 
SIMPULAN DAN SARAN

A.   Simpulan
  1. Masalah-masalah pendidikan adalah masalah yang berhubungan dengan manusia, baik sebagai kodrat ciptaan Tuhan, maupun sebagai mahluk individu dan mahluk sosial
  2. Pendidikan dapat menerima masukan dari wawasan filsafat yang meliputi wawasan otologi, epistemologi, dan aksiologi, serta berbagai macam aliran yang ada di dalamnya.
  3. Konsep-konsep pendidikan dalam kehidupan manusia memperoleh sumbangan yang besar dan sangat berharga dari sistem filsafat manusia berupa landasan filosofis dan sosiologis dalam perumusan tujuan, materi, metode dan alat, serta lingkungan pendidikan dan sistem pendidikan. Kesemuanya itu, harus diiplementasikan oleh kalangan pendidik dari individu sampai kepada penyelenggara dalam struktur kenegaraan terhadap peserta didik secara individu dan kelompok dengan memperhatikan kompetensi dan potensi yang dimikinya
  4. Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dipakai dalam memandang dan menyikapi persoalan-persoalan terhadap pendidikan bangsa ini.

B.    Saran

 
Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan saran sehubungan dengan hasil reviuw buku ini, yaitu hendaknya mengembangkan penulisan tentang Filsafat Pendidikan khususnya Mahasiswa Program Pascasarjana, mengingat masih banyak persoalan yang belum tuntas dan masih perlu dibahas. Selanjutnya, semoga reviw buku Filsafat Pendidikan ini bisa memberikan tambahan wawasan bagi yang membacanya sekaligus memperkaya khasanah kita sebagai kaum intelektual yang berlatarkan Pendidikan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komantarnya bossss