|
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
sebagai makhluk sosial tidak akan pernah habis dibicarakan dari sisi
keberadaannya, interaksinya dengan sesamanya, kebudayaannya, mau pun
keinginannya untuk mengembangkan diri dan kemampuanya. Dalam proses pengembangan
diri salah satu jalan yang ditempuh manusia adalah pendidikan. Pendidikan
merupakan wacana keseharian manusia yang tidak akan pernah habis dibahas karena
keberadaannya yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia. Hal itu
terjadi disebabkan oleh visi filosofnya yang melihat manusia itu sebagai pelaku
dan sasaran pendidikan, atau sering diistilahkan subjek dan objek pendidikan
serta the central agent of education dan
sebagai the agent of change.
Gerak
penyelenggaraan pendidikan yang senantiasa berubah didasarkan pada kapasitas
manusia memobilitas kegiatan hidupnya sehari-hari. Hal tersebut merupakan
refleksi sejarah yang mengandung suatu pemahaman bahwa tidak satupun lembaga
manusia yang tidak dapat berubah, termasuk pendidikan yang melibatkan manusia
selaku agent sentral dalam lembaga tersebut. Perubahan-perubahan
yang terjadi sebagai akibat dari gerak dalam ruang dan waktu itu menyiratkan
makna bahwa pendidikan senantiasa terbuka terhadap masuka-masukan dari luar
dirinya.
|
Salah
satu disiplin ilmu yang dimaksud dalam reviuw buku ini adalah filsafat
pendidikan. Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan
dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial
yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang
terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing.
Ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan
biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu
studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan
atau ilmu perilaku.
Pertanyaan yang timbul yaitu, apakah
teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya
sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat
kemanusiaan?
Filsafat
dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam
berbagai bidang lapangan kehidupan manusia, jawaban itu merupakan hasil
pemikiran yang sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Jawaban seperti
itu juga digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang menyangkut berbagai
bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Oleh karena itu, melalui
tulisan dalam bentuk reviuw ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan mengenai hakikat filsafat pendidikan.
B.
Identitas Buku
1. Judul Buku : Filsafat Pendidikan;
Manusia,
Filsafat, dan Pendidikan
2. Pengarang : Prof. Dr. H. Jalaluddin
Drs. Abdullah Idi, M. Ed.
3. Penerbit : Gaya Media Pratama Jakarta
4. Tempat/Tahun Terbit :
Jakarta, 1997
5. Isi :
7 Bab
6. Ukuran Buku
- Ketebalan Buku :
1,3 cm
- Jumlah Halaman :
172 halaman
- Panjang : 1,7 Cm
- Lebar : 15 Cm
7.
Ciri Sampul : Berwarna Coklat, terdapat goresan warna biru
berbentuk paraf yang dibayangi dengan bebera tulisan angka yang berbentuk
bundar, pada bagian bawah terdapat bayangan seorang laki yang menunjuk seorang
anak perempuan yang sedang duduk.
8.
Tinta Cetak : Judul buku menggunakan tinta berwarna merah
dan hitam, dan nama pengarangnya yang berada diatas judul menggunakan tinta
berwarna hitam. Pada isi buku semuanya menggunakan tinta berwarna hitam
C.
Gambaran Umum
Buku ini menganalisis
filsafat dalam pengertian umum dan filsafat pendidikan dalam pengertian khusus.
Secara khusus pula, buk ini mengkaji tentang sejarah perkembangan filsafat pada
zaman klasik hingga zaman modern beserta munculnya aliran-aliran filsafat
pendidikan modern. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, filsafat
pendidikan nasional, dikaji secara rinci pula, dengan melihat hubungan
Pancasila denga sistem pendidikan yang ditinjau dari filsafat pendidikan.
Kajian lainnya adalah betapa pentingnya hubungan filsafat
pendidikan dengan kepribadian individu, bangsa, dan hubungan filsafat dengan
Sumber Daya Manusia (SDM). Karena kemajuan peradaban manusia
ditentukan-sebagaian besar oleh budaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK),
maka sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan SDM adalah
pendidikan.
D.
Sistematika Penulisan Buku
Sistematika
penulisan buku ini bertujuan untuk mengarahkan dalam mengikuti alur pembahasan
yang tercantum dalam buku ini. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut.
Bab I : Pendahuluan.
Dalam bab ini, diuraikan tentang Pengertian Filsafat atau Filsafat Secara Umum.
Bab II :
Pengertian dan Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan. Bab ini menguraikan
pengertian filsafat pendidikan, Ruang Lingkup Bahasan Filsafat dan Filsafat Pendidikan.
Bab III :
Latar Belakang Munculnya Filsafat Pendidikan. Bab ini menguraikan tentang
Perkembangan Pemikiran Filsafat Spritualisme Kuno, Memahami Reaksi Terhadap
Spiritualisme di Yunani, dan Pemikiran Filsafat Pendidikan Yunani Kuno Hingga
Abad Pertengahan.
Bab IV : Beberapa
Aliran Filsafat Pendidikan Modern Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiolagi. Pada bab ini diuraikan Pengertian ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi dan Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan Modren Ditinjau dari Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi.
Bab V :
Hubungan antara Filsafat, Manusia, dan Pendidikan. Bab ini membahas tentang
Teori Kebenaran Menurut Filsafat dalam Bidang Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, Pandangan Filsafat tentang Hakikat Manusia, Sistem nilai dalam
Kehidupan Manusia, dan Pandangan Filsafat tentang pendidikan.
Bab VI :
Filsafat Pendidikan Pancasila. Pada bab ini dibahas tentang Pancasila sebagai
Filsafat Hidup Bangsa, Pancasila sebagai Filsafat Pendidikan Nasional, Hubungan
Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan, dan Filsafat
Pendidikan Pancasila dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Bab VII.
Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia. Pada bab terakhir ini
diuraikan mengenai Filsafat Pendidikan Kepribadian, dan Filsafat Pendidikan dan
Sumber Daya Manusia.
BAB
II
|
Berdasarkan latar belakang pada bab terdahulu, berikut
ini disajikan secara rinci tentang Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada uraian berikut ini.
A.
Pengertian Filsafat
Secara Umum
Kata filsafat atau falsafat, berasal dar bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata Philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang, suka,
dan kata sophia berarti pengetahuan,
hikmah, dan kebijaksanaan (Ali, 1986 : 7). Hasan Shadily (1984 : 9) mengatakan
bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta
akan kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa filsafat
adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan
kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai
kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Orang
yang ahli dalam berfilsafat disebut philosopher
(Inggris), dan orang arab menyebutnya Failasuf,
kemudian dalam bahasa Indonesia manjadi filosof.
Pemikiran secara filsafat sering diistilakan dengan pemikiran filosofis.
Dalam
pengertian yang lebih luas Harol Titus, mengemukakan pengertian filsafat
sebagai berikut:
1.
Filsafat
adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara kritis.
2.
Filsafat
ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3.
Filsafat
adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4.
filsafat
adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti konsep.
|
5.
Filsafat
oalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian manusia dan
dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat (Jalaluddin
dan Said, 1994: 9).
Dalam
kaitan itu Muhammad Noor Syam, menjelaskan bahwa filsafat adalah suatu lapangan
pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat luas. Filsafat menjangkau semua
persoalan dalam daya kemampuan pikiran manusia, filsafat mencoba mengerti,
menganalisa, menilai dan menyimpulkkan semua persoalan-persoalan secara
mendalam. Meskipun kesimpulan-kesimpulan filsafat bersifat hakiki namun masih
relatif dan subyektif. Kedua sifat ini tak mungkin dapat dihindarkan karena adanya
sifat-sifat alamiah (kodrat) pada subyek yang melakukan aktivitas filsafat itu
sendiri, yaitu manusia sebagai subyek selalu dalam proses perkembangan baik
jasmani dan rohani terutama pada subyek yang selalu cenderung memiliki watak
subyektivitas, akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang subyektivitas pula. Faktor-faktor inilah yang melahirkan aliran-aliran filsafat dan
perbedaan-perbedaan dalam filsafat.
Dengan demikian kebenaran filsafat adalah kebenaran yang
relatif. Artinya kebenaran itu sendiri selalu mengalami perkembangan sesuai
dengan perubahan zaman dan peradaban manusia. Bagaimanapun penilaian tentang
sesuatu kebenaran yang dianggap benar itu masih sangat tergantung oleh ruang
dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa lain,
belumlah tentu akan dinilai sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa
lain, meskipun dalam kurun waktu yang sama. Sebaliknya sesuatu yang dianggap
benar oleh sesuatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam suatu zaman, akan
berbeda pada zaman bertikutnya. Maka
wajar jika pengertian filsafat itu selalu mangalami perubahan.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas yang berusaha memahami
persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman
manusia. Dengan demikian, diharapkan agar dapat mengerti dan memiliki pandangan
yang menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia
didalamnya.
Plato (427 – 347), Filsuf Yunani yang merupakan murid langsung
dari Socrates mengemukakan bahwa Filsafat adalah “Pengetahuan tentang segala
yang ada” menurut Plato filsafat berkenaan dengan upaya penemuan kenyataan atau
kebenaran mutlak melalui dialektika.
Aristoteles (384 – 322) berpendapat bahwa “filsafat itu
menyelidiki sebab dan prinsip segala sesuatu. Filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang meliputi kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika.
Logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles memandang
filsafat sebagai totalitas pengetahuan manusia.
Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi
pengertian kita tentang "filsafat":
·
Filsafat
adalah berpikir secara kritis.
·
Filsafat
adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
·
Filsafat
harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
·
Filsafat
adalah berpikir secara rasional.
·
Filsafat
harus bersifat komprehensif.
Kemudian Windelband,
seperti dikutip Hatta
dalam pendahuluan Alam Pikiran Yunani, "Filsafat sifatnya
merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang
nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai
usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk
melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau
membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah
dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain.
B.
Pengertian dan Ruang
Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan
Berbagai
pengertian tentang filsafat Pendidikan yang
telah dikemukakan oleh para ahli,
Al-Syaibany (1979 : 36) mengartikan bahwa filsafat pendidikan yaitu aktifitas
pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa
filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan
untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan
merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan.
Filsafat
pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: (1) filsafat
praktek pendidikan dan (2) filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001).
Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang
bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam
kehidupan manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: (a)
filsafat proses pendidikan (biasanya hanya disebut filsafat pendidikan) dan (b)
filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis
dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan
dalam kehidupan manusia.
Filsafat
proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: (1) apakah
sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya, dan (3)
dengan cara apakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959 dalam Mudyahardjo, 2001). Filsafat
sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana
seharusnya pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan manusia idaman.
Filsafat sosial pendidikan, terkait dengan tiga masalah pokok, antara lain: (1)
hakekat kesamaan pendidikan dan pendidikan, (2) hakekat kemerdekaan dan
pendidikan, dan (3) hakikat demokrasi dan pendidikan.
Secara
konsepsional filsafat ilmu pendidikan didefinisikan sebagai analisis kritis
komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang
dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun kuantitatif. Objek filsafat
ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
(1)
Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan.
(2)
Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan
material ilmu pendidikan.
(3)
Metodologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam
menyusun ilmu pendidikan, dan
(4)
Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan
praktis ilmu pendidikan.
Status
filsafat ilmu pendidikan dengan filsafat secara umum ditampilkan pada Gambar 1
(Mudyahardjo, 2001). Selanjutnya disebutkan bahwa, aliran-aliran filsafat
pendidikan, antara lain: aliran idealisme,
realisme, scholatisisme, empirisme, pragmatisme dan aliran neoposivitisme.
Menurut
John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir
(intelektual) maupun daya perasaan ( emosional), menuju arah tabi’at manusia.
Jadi filasafat dapat pula diartikan sebagai teori umum pendidikan.
Barnadib
(1993 : 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu yang
pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam
pendidikan. Secara filosofis pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa
filosofis terhadap bidang pendidikan. Menurut seorang ahli filsafat Amerika
Brubachen sebagaimana diungkapkan oleh Arifin (1993 : 3) bahwa filsafat
pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan
filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan.
Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena
punya kaitan dengan filsafat umum.
Secara
makro, (umun) apa yang menjadi obyek
pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan
kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya adalah juga obyek pemikiran
filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus)
yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1.
Merumuskan
secara tegas sifat hakikat pendidikan.
2.
Merumuskan
sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan.
3.
Merumuskan
secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan
kebudayaan.
4.
Merumuskan
hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan.
5.
Merumuskan
hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
6.
Merumuskan
sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan
demikian, yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua aspek
yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat
pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan
pendidikan yang baik dan bagaimana dengan tujuan pendidikan itu dapat dicapai
seperti yang dicita-citakan.
Adanya
aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan
antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia
bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki
bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek
adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam
pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan
harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik
diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order
interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara
saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun
manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan
variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan
jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat
kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta
didik secra orang perorang (personal).
Artinya
sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara
demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut
agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat
menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik
klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap
afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik
terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena
pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi
timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan
pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah
manusia melalui gejala-gejala sosial, sehingga ilmu pendidikan harus bertindak
serupa untuk mengatasi ketertinggalan-nya khususnya ditanah air kita.
Pendidik
memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah
kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan
berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic
praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran
(yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan
pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan
mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran
tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
C.
Latar Belakang
Munculnya Filsafat Pendidikan
Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di
Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang
berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini
menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu.
Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak
pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.
Di samping menempatkan filsafat sebagai sumber
pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang
harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada
abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja
(agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran
agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami
kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada
peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha
menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak
langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa
Yunani.
Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani
disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada
kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India.
Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani
dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat
dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal
ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang
menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat
rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani.
Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang
mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos.
Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri
yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani
bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
Filsafat
diakui sebagai induk ilmu pengetahuan yang pada mulanya mampu menjawab segala
pertanyaan tentang segala sesuatu dan segala macam masalah. Masalah-masalah
yang berhubungan dengan alam semesta, manusia dengan segala problematikanya dan
kehidupan, yang dibicarakan oleh filsafat. Kemudian karena perkembangan dan
keadaan masayarakat, banyak problem yang tidak bisa dijawab lagi oleh filsafat,
maka lahirlah ilmu pengetahuan yang sanggup memberi jawaban terhadap
problem-problem perkembangan metodologi ilmiah yang semakin pesat. Kemudian
berkembanglah ilmu pengetahuan dalam bentuk disiplin ilmu dengan
keterkhususannya masing-masing. Setiap disiplin ilmu memilki obyek dan sasaran
yang berbeda-beda, yang terpisah satu sama lain.
Di atara
banyak filsafat seperti filsafat Cina, India, juga ada filsafat Barat adalah
sesuatu yang tidak begitu jelas, karena tradisi filsafat Barat telah mulai di
Asia kecil dan memikat pikiran-pikiran dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika.
Termasuk filsafat Barat, Yunani, Helleinisme, kristiani, dan seterusnya.
Sehingga dengan analisa, timbullah bermacam-macam disiplin ilmu yang
menggunakan analisa filsafat.
Dengan
demikian, dengan menggunakan analisa fisafat, berbagai macam disiplin ilmu yang
berkembang sekarang ini, akan menemukankembali relevansinya dengan hidup dan
kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup masyarakat.
John
Dewey, seorang filosof Amerika yang menyatakan bahwa filsafat itu adlah teori
umum dai pendidikan, landasan mengenai beberapa pemikiran mengenai pendidikan .
Tugas filsafat adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki
faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dlam lapangan pendidikan.
Filsafat
mulai berkembang dan berubah fungsinya dari sebagai induk ilmu pengetahuan
menjadi semacam pendekatan dan perekat kembali berbagai macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pesat yang menjadi terpisah satu sama lainnya. Jadi
jelaslah bagi kita bahwa filsafat berkembang sesuai dengan perputaran dan
perubahan zaman.
Dari
beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang melatar belakangi
munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya perubahan-perubahan dan
permasalahan yang timbul dilapangan pendidikan, yang tidak mampu dijawab
sendiri oleh ilmu oleh filsafat saja. Selain itu juga yang melatar belakangi
munculnya filsafat adalah banyaknya ide-ide yang baru dalam dunia pendidikan.
Adapun datangnya ide-ide tersebut di ataranya berasal dari tokoh-tokoh filsafat
Yunani.
D.
Beberapa Aliran
Filsafat Pendidikan Modern Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik
pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu
dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan
bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari
pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat
.Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap
apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka
orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini
agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode
persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer,
yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
Al-Fârâbî
menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari
filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas
yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama
melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan
esensi dari prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan
puncak yang diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan
puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî, filsafat memberikan
laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya
berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat,
agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.
Tujuan
dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah
dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan
pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran
transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang
lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang
sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit
dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah
dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan,
bulan melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.
Fungsi
dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya
berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman
akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus
alam semesta. Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan,
tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya
objek-objek alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut
Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada
prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara umum, menurut Al-Fârâbî,
agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan
esensi mereka.
Dalam
Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat (falsafah)
umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î
ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman telah
memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat
agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan
mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing
bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam
kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran
atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai
derajat kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi,
Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
Dalam
perspektif falâsifah, filsafat dan
agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak
dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem
rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan
agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas
tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang
digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah;
bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara
kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi
eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah
daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di
bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau
perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan
praktik-praktik komunitas religius ini.
Dalam
wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis
filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima
secara umum dan eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat
tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm
sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang
ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan pada
mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat
digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode
demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân
al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual
dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis
pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').
Kemudian,
bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak pada jantung
setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia perennis yang
diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam abad ini oleh
Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik kebijaksanaan
tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang
Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas
diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ hingga diwariskan pada
bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung
dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan
akhirnya Arab.
Dikatakan
Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini
kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka
menyebut perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan
keadaan ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir
ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi.
Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial
kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini,
filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu,
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud
mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala
kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang
memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fârâbî
agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan
abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model
pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak
menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani.
Tetapi dia menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles,
khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan
penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau
logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui
orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana
telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai
"pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama
dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari
setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah
filsafat untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam
bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan
metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu,
filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika
(filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan
filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang
sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan
bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas
pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori
untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu
sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa
jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian,
terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena
pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi
setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat
yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius
atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra
yang dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak
disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama
lainnya. renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama
tertentu, meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra
religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam
keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih
sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna; sebagian
lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir
pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit
berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir
pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat
tentang mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan
filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus
pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan
baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan
sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan
Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan
ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang
muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau
eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut
merupakan mitra filosofisnya.
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil
pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek
permasalahan hidup di dunia, telah melahirkan berbagai pandangan.
Pandangan-pandangan filosof itu, adakalanya satu dengan yang lain untuk
bersifat saling kuat menguatkan, tetapi tidak jarang yang berbeda atau
berlawanan. Hal ini disebabkan terutama pendekatan yang dipakai oleh mereka
berbeda, walaupun untuk objek permasalahan sama; karena perbedaan dalam sistem
pendekatan itu, maka kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula. Selain
itu, faktor zaman dan pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta
tempat di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Filsafat pendidikan dalam sejarahnya telah melahirkan
berbagai pendangan atau aliran. Pemikiran filsafat tidak pernah mandeg, maka
keputusan atau kesimpulan yang diperoleh pun tidak pernah merupakan kesimpulan
final. Oleh sebab itu, dunia percaturan filsafat pendidikan seringkali hanya
berkisar pada permasalahan yang itu-itu juga, baik sebagai bentuk persetujuan
ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada.
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar
ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan
ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia
secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia
yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia
dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk
sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik. Ontologi memiliki
arti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang
sebenarnya. Ontologi berupaya mengetahui tentang hakikat sesuatu. Anatara lain
ingin mengetahui, bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah
wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita
berbentuk unsur yang banyak. Ontologi dibatasi adanya mutlak, keterbatasan,
umum, khusus.
Epistemologi adalah pengetahuan
yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara
manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan.
Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari benda
atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (obyek), manusia juga
melakukan berbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui
(mengenal) benda atau hal yang telah diselidiki tadi (subyek). Epistemologi
membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang
memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran
kepada murid-muridnya. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat
ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan
tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan
ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell
& Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat
diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis
dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
Aksiologi menyangkut
nilai-nilai yang berupa pertanyaan, apakah yang baik atau bagus itu. Definisi
lain mengatakan aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya
di dalam kepribadian anak. (Ibid, 1986:
95). Ada 3 dasar pandangan filsafat yang bersifat aksiologis dan
berlaku universal yaitu: (1) sosialitas, (2) individualitas, dan (3) moralitas.
Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan
atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional
disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4)
religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara
mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih
besar kepada Allah swt.
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa
aliran, yakni:
(1) Aliran Progressivisme, yaitu aliran yang mengakui
dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama
dalam kehidupan manusia.
(2) Aliran essensialisme,
adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
(3) Aliran Perennialisme, yaitu suatu aliran yang
memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yakni sebagai suatu proses
mengembalikan kebudayaan sekarang ini terutama pendidikan zaman sekarang
dikembalikan kemasa lampau. Perennialisme merupakan aliran filsafat yang
susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran
yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus.
E.
Hubungan antara
Filsafat, Manusia dan Pendidikan
Jika kita
mendengar kata filsafat maka konotasi kita akan segera pada sesuatu yang
bersifat prinsip yang juga sering dikaitkan pada suatu pandangan hidup yang
mengandung nilai-nilai dasar. Pada hakekatnya filsafat adalah hasil usaha
manusia dengankekuatan akal budinya untuk memahami sacara radikal, integral, dan universal
tntang hakikat sarwa yang ada (hakikat Tuhan, alam, dan hakikat manusia), serta
sikap manusia termasuk dari konsekwensi dari pemahamannya tersebut (Ashari, 1984: 12), dan manusia tentu
mempersoalkan dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku” ini? (Salam. 1988: 12).
Pendidikan
sangat erat hubungannya dengan filsafat. Filsafat pendidikan pada hakikatnya merupakan
suatu penerapan prinsip-prinsip filsafat ke dalam pendidikan. Sebagaimana
halnya, filsafat sebagai landasan untuk mempelajari guna memahami filsafat
pendidikan.
Menurut
F.H. Sulaiman, pendidikan merupakan konsekuensi logis dari filsafat. Sorang
filosof selalu berusaha menyebarluaskan paham dan prinsip yang dianut dan untuk
mencapai maksud itu digunakan sarana pendidikan. Filsafat dan pendidikan tidak
dapat dipisahkan, keduanya saling bergantung. Pendidikan menyebarluaskan
filsafat dan mengajarkan kepada orang lain, sedangkan filsafat berperan mengarahkan
tujuan sistem pendidikan, merumuskan sarana dan metode guna mencapai tujuan
tersebut.
Jika kita
berbicara hubungan filsafat dengan pendidikan berarti kita berbicara adanya
pemikiran filsafat dalam pendidikan sebagai jembatan yang dapat menghubungkan
antara filsafat dengan pendidikan. Hal ini kita harus mengakui bahwa filsafat
memberikan pendangan terhadap pendidikan di satu pihak dan adanya aspek dalam
pendidikan yang memerlukan pemikiran filsafat di pihak lain.
Para filsuf
berusaha mencari inti alam sehingga mereka disebut filsuf alam dan filsafatnya
dinamai filsafat alam. Filsafat mereka dapat dikatakan suatu pemikiran
pendidikan. Karena ahli pikir berusaha mencari intisari alam melalui pikiran .
Adapun filsuf-filsuf tersebut antara lain :
a.
Thales
(624-548), berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air.
b.
Anaximenes
(590-528), mengatakan bahwa intisari alam atau dasarnya pertama ialah udara,
karena udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadi
dasar hidup bagi manusia yang amat diperlukan untuk bernafas.
c.
Piatgoras
(523), menurutnya dasar sesuatu ialah bilanga. Orang tahu dan mengerti
bilangan, tahu juga segala sesuatunya. Ia juga berpendapat bahwa manusia adalah
sesuatu yang bukan jasmani dan tak dapat mati, terus ada, jika sudah tak ada.
Pitagoras seorang ahli ilmu pasti dan ahli musik, penyelidikan alamnya memang
mendalam serta besar pengaruhnya dalam lingkungan ahli pikir zaman itu dan
kemudian.
d.
Herakleitos
(532-475) mengatakan bahwa di dunia ini segala sesuatu-Nya berubah. Disimpulkan
pula bahwa yang menjadi gerak, perubahan atau menjadi. Semuanya bebas tak ada
yang tetap, pendapat ini dirumuskan dengan istilah “panta rhei” sebab itu
filsafat Herakleitos disebut filsafat menjadi.
e.
Parmenides
(540-475), mengatakan bahwa pengetahuan itu ada dua yaitu pengetahuan
sebenarnya dan pengetahuan semu. Maka itu pengatahuan yang tetap dan umum yang
dapat dipercaya, kalau ia benar maka sesuai realitas. Sebab yang realitas bukan
yang berubah, melainkan yang tetap.
Perkembangan
filsafat amat pesat diminati orang, karena minat terhadap kebijaksanaan tinggi
dan hendak memberikan kebijaksanaan kepada orang lain, sehingga sekarang ini
ahli pikir memang mencari kebenaran bukan mencapai kebenaran. Mereka
berfilsafat demi kebanaran.
Ada
beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi,
epistemologi, dan aksiologi, yakni:
1. Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan
metafisika yang juga sering disebuty dengan Proto-filsafat atau filsafat yang
pertama (ketuhanan) yang bahasanya adalah hakikat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya.
Untuk
mengetahui realita semestaini di dalam ruang lingkup ontologi secara jelas,
disini dibedakan antara metafisika dengan kosmologi:
a.
Ontologi, secara etimologi yag
berarti di balik atau dibelakan fisika, maka yang diselidiki adalah hakikat
realita menjangkau sesuatu dibalik realita karena metafisika ingin mengerti
sedalam-dalamnya.
b. Kosmologi tentang realita. Kosmos yakni
tentang keseluruhan sistem semesta raya dan kosmologi terbatas pada realita
yang lebih nyata dalam arti alam fisika yangmaterial dalam memperkaya
kepribadian manusia di dunia tidaklah di alam raya dan isinya.
Menurut Magnis, "Filsafat sebagai usaha
tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan
apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek
saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah
sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan,
menilai, mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman
sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar
mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai
penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat,
filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya
mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya
rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai
prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan
itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa
bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu
kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa
dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap
ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang
mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan
menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia
saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan
suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala
nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang
filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato,
dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles"
(Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat
Dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk
menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah
dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang
hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi"
atau "filsafati", "berpikir filosofis"
dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita
baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita.
"Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi"
atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah
filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir
dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang
muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik.
Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa
memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah
karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak
melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan
gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan,
"mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali
dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan
mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu.
Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan
cara".
Sekarang
kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu
dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang
sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak
menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling
curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan
pencarian akan kebenaran itu sendiri.
2. Epistemologi
Epistemologi
pertama kali di pakai oleh J.F. Farier di abad ke 19 di dalam Istitut Of
Metaphisics (1854). Pencipta sesungguhnya adalah Plato sebab beliau telah
berusaha membahas pertanyaan dasar, seperti apakah panca indera dapat
memberikan pengetahuan. Dapatkah akal menyediakan ilmu pengetahuan. The Encylopedia of Pholosophy memdefenisikan
epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari
ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum
Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang
membahas dari isi pikiran manusia yakni pengetahuan (Dardini, 1986:18).
Defenisi
lain dari, epistemologi ialah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita
mengetahui tentang benda-benda. Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia
memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut
epistemologi, setiap pengetahuan
manusia itu adalah hasil dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya
diketahui (objek). Kemudian, epistemologi
membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan
yang memberikan kebenaran kepada murid-muridnya (Noor Syam, 1986: 32)
Pendekaatan fenomenologis lebih bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal
harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat
ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan
tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan
ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
3. aksiologi
Dalam pembahasan mengenai aksiologi, maka manusia
diperhadapkan pada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu bagi manusia? Tak
dapat disangkal bahwa ilmu telah banyak merubah dunia dalam memberantas
penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun
demikian, apakah ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi kehidupan
manusia? Memang, dengan jalan mempelajari atom, manusia bisa memanfaatkan wujud
tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatannya, tetapi dipihak hal ini bisa
juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom
yang menimbulkan malapetaka.
Untuk mengaplikasikan ilmu itu dalam kehidupan manusia
dengan memperhatikan perkembangan dan pertumbuhannya, maka dapat diketahui
bahwa kecenderungan ilmu itu selalu dikaitkan dengan sesuatu tujuan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas,
maka dapat diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memiliki fungsi sebagai sarana, di samping memberikan kemudahan bagi hidup dan
kehidupan umat manusia sebagai sebuah berkah, juga sekaligus mambawa kutuk yang
berupa malapetaka. Jadi, tujuan ilmu di suatu ketika membawa dampak yang
positif dan pada ketika yang lain membawa dampak yang negatif bagi kehidupan
manusia.
Dampak ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif
sejarah kemanusia, maka dapat ditemukan bahwa kegunaan ilmu itu bukan saja
untuk menguasaai alam sebagaimana adanya, tetapi juga untuk memerangi sesama
manusia dan menguasainya. Oleh karena itu, maka untuk menemukan dan
mempertahankan kebenaran ilmu itu, diperlukan keberanian moral dan tanggung
jawab sosial ilmuan agar produk keilmuan mereka itu dapat sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara
beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic
sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas
pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan
pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix
(1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan
bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh
pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku.
Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa
ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan
harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
Aksiologi
adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (volume). Brameld membedakan tiga bagian dalam aksiologi, yaitu:
1.
Moral Conduct, tindakan moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus
yakni etika.
2. Esthetic Ekspresion, ekspresi
keindahan; yang melahirkan estetika.
3. Socio-political Life, kehidupan
sosio-politik, bidang ini melehirkan ilmu filsafat sosio-politik (Syam, 1986: 34-36).
Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah
pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kegidupan
manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan
sesuatu itu berniali baik, bukanlah suatu yang mudah. Apalagi menilai dalam
arti yang mendalam untuk membina dalam kepribadian ideal.
Ilmu yang
mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi
filsafat. Hakikat berarti adanya berbicara mengenai apa manusia itu, ada
empat aliran yang dikemukakan yaitu: aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran
dualisme, aliran eksistensialisme.
Aliran
serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau
materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam,
maka manusia adalah zat atau materi (ibid,
1991).
Aliran
serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah
ruh, juga hakikat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari
pada ruh di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain
yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau
penjelmaan dari ruh . Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih
berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi.
Aliran
dualisme menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua subtansi
yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Aliran
eksistensialisme memandang manusia dari sudut serba zat atau serba ruh atau
dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia
itu sendiri ddunia ini. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah
manusia merupakan kaitan antara badan dan ruh.
Sistem
adalah merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling
bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai merupakan suatu
norma tertentu yang mengatur ketertiban kehidupan sosial.
Niali
adalah sesuatu yang selalu muncul apabila manusia sebagai makhluk sosial
mengadakan hubungan sosial atau dengan kata lain hidup bermasyarakat dengan
manusia lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh aliran Progressivisme “masyarakat menjadi wadah
nilai-nilai”. Secara umum, Scope menguraikan
bahwa nilai adalah tak terbatas. Maksudnya bawa segala sesuatu yang ada dalam
raya ini adalah bernilai namun kalau kita lihat kembali bahwasanya, nilai
adalah bagian dari filsafat pendidikan yang dikenal dengan aksiologi.
Filsafat sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan
mempelajari objeknya dari sudut hakikat juga mengadakan tinjauan dari segi
sistemantik, artinya tinjauan dengan memperoleh pandangan mengenai
problem-problemnya yang utama dan lapangan penyelidikannya yang saling
berhubungan.
Filsafat
sebagai ilmu dalam tinjauan dari segi sitematik, maka filsafat berhadapan
dengan tiga problem utama, yakni:
1.
Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya
menjurus kepada masalah kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat
menarik kesimpulan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki ini telah nyata.
2.
Pengetahuan, ialah yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti apa hak pengetahuan, cara manusia memperoleh dan
menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan.
3.
Nilai, yang dipelajari oleh oleh cabang filsafat yang
disebut aksiologi. Pertanyaan dicari jawabnya antara lain adalah seperti:
nilai-nilai yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat
digunakan sebagai dasar hidupnya.
Uraian di atas jika dipahami lebih jauh memberikan
pengertian bahwa filsafat mencakup nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan
dijadikan pedoman dalam perbuatan, terutama dalam pekerjaan mendidik. Atau
dengan kata lain, mendidik tidak lain adalah merealisasikan nilai-nilai yang
dimiliki guru selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan hakikat
anak didik. Nilai-nilai dalam pendidikan adalah bersumbar pada filsafat atau
ajaran filsafat yang telah berakar dalam sosio-kultural atau kepribadian suatu
bangsa yang akan tumbuh sebagai realita dan filsafat hidup. Jadi, jelaslah
bahwa ide-ide filsafat menetukan pendidikan. Dan jika masalah pendidikan adalah
merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia,
berarti masalah kependidikan juga mempunyai ruang lingkup yang luas yang di
dalamnya terdapat masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan juga menghadapi
persoalan-persoalan yang tidak mungkin dijawab dengan menggunakan analisa dan
pemikiran yang mendalam atau analisa secara filosofis pula.
F.
Filsafat Pendidikan
Pancasila
Dalam
ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, pancasila adalah jiwa dan seluruh rakyat
Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan Bangsa Indonesia dan dasar
negara kita. Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami
manghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segi kegidupan. Pancasila yang
dimaksud disini adalah pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang
Dasar 1945, yang terdiri dari 5 sila dan penjabarannya sebanyak 36 butir-butir
pancasila yang masing-masing tidak dapat dipahami secara terpisah, akan tetapi
pancasila adalah merupakan satu kesatuan.
Panacasila
adalah dasar negara Indonesia yang merupakan fungsi utamanya dan dari segi
materinya Pancasila di gali dari pandangan hidup bangsa yang dijiwai
kepribadian bangsa. Filsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Filsafat pendidikan adalah
pemikiran yang mendalam tentang pendidikan berdasarkan filsafat. Bila
duhubungkan fungsi pencasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat
pendidikan, maka dapat dijabarkan bahwa pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
yang menjiwai dari sila-sila pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Filsafat
pendidikan pancasila bila ditinjau dari aspek ontologi mempunyai isi yang
abstrak umum dan universal. Maksudnya bukan pancasila sebagai filsafat secara
operasional telah diwujudkan ke dalam kehidupan keseharian, melainkan sebagai
pengertian pokok yang dipergunakan untuk merumuskan masing-masing sila. Itulah
yang mengandung isi yang abstrak umum dan universal.
Filsafat
pendidikan pancasila dilaihat dari aspek epistemologi, maka dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Sila
Pertama Ketuhanan yang Maha Esa
Pemikiran
tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh melalui akal
atau panca indera dan dari ide atau Tuhan. Pancasila bukan lahir secara
mendadak, melainkan melalui proses yang panjang yang dimatangkan dengan
perjuangan.
2.
Silka
kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pribadi
manusia adalah subjek yang secara potensial dan aktif berkesadaran tahu atas
eksistensi diri, dunia, bahkan juga sadar dan tahu bila disuatu ruang dan waktu
“tidak ada” apa-apa kecuali ruang dan waktu itu sendiri.
3.
Sila
ketiga Persatuan Indonesia
Proses
terbentuknya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerjasama atau produk
hubungan dengan lingkungannya. Potensi dasar dengan faktor kondisi lingkungan
memadai akan membentuk pengetahuan.
4.
Sila
keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Manusia
diciptakan Allah sebagai pemimpin di muka bumi ini untuk memakmurkan umat
manusia. Dalam sistem pendidikan nasional pendidikanlah mempunyai peranan yang
besar, namun tidak menutup kemungkinan peran keluarga dan masyarakat dalam
membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
5.
Sila
kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ilmu
pengetahuan sebagai pembendaharaan dan prestasi individu serta sebagai karya
budaya umat manusia yang merupakan mertabat kepribadian manusia. Adil dalam
arti luas, seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama.
Sedangkan filsafat pendidikan pancasila yang ditinjau
dari aspek aksiologinya, maka isi pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar
negara terkandung nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
dan nilai keadilan. Niali ideal, material, spritual dan nilai positif dan juga
nilai logis, estetika, etis, sosial, dan religius. Jadi pancasila mempunyai
niali tersendiri.
G.
Filsafat Pendidikan
Peningkatan Sumber Daya Manusia
Dilihat
dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing dan
menghubungkan potensi individu. Dari
sudut pandang kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai
budaya dari generasi tua kepada generasi muda.
Transfer
nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam
masyarakat modern proses pendidikan didasarkan pada sustu sistem yang sengaja
dirancang, sebagai suatu program pendidikan secara formal.
Pendangan
hidup yang merupakan jati diri yang berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai
sesuatu yang secara ideal adalah benar. Dan nilai-nilai kebenaran itu sendiri
berbeda antara masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai
kebenaran yang idealis itu disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar
dalam penyusunan sistem pendidikan.
Manusia
adalah makhluk yang memiliki berbagai potensi bawaan. Dari sudut pandang
potensi yang dimiliki itu, manusia dinamakn dengan berbagai sebutan. Ada tiga
aliran filsafat yang terjadi dalam potensi manusia tersebut, yaitu naturalisme,
menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang secara alami dapat berkembang dengan sendirinya.
Dari
aliran empirisme, manusia dipandang sebagai makhluk yang bertumbuh dan
berkembang atas bantuan atau karena adayang intervensi lingkungannya. Aliran
ketiga memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Pada
aliran ini manusia secara kodrati memang telah dianugrahkan potensi yang
disebut bakat, namun selanjutnya agar potensi itu dapat bertumbuh dan
berkembang dengan baik, perlu adanya pengaruh dari luar, berupa tuntunan dan
bimbingan melalui pendidikan.
Kemajuan
peradaban manusia ditentukan oleh budaya ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Makin tingi tingkat penguasaan IPTEK, akan makin maju pula peradaban
suatu bangsa dan tingkat kualitas sumber daya manusianya. salah satu sarana
yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia
adalah pendidikan. Sehingga dengan
demikian terlihat bagaimana kaitan hubungan antara filsafat pendidikan dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
BAB
III
|
A.
Keunggulan
Buku dengan judul “Filsafat
Pendidikan” (Manusia, Filsafat dan
Pendidikan) disusun dan didesain
sedemikian rupa sehingga menampakkan model yang menarik, terutama menarik
perhatian untuk membacannya. Telah banyak buku Filsafat Pendidikan yang terbit
dengan penulis yang berbeda, tetapi pada dasarnya isi yang dikandungnya adalah
sama. Namun, dalam buku ini banyak perbedaan dari beberapa buku yang telah
terbit terdahulu.
Buku ini juga banyak memuat kisahan pengalaman penulis
dalam menguraikan ide-idenya dalam buku ini, sehingga dengan sendirinya menarik
pembaca untuk ikut dalam situasi yang dirasakan penulis. Hal ini memberikan
ketertarikan tersendiri bagi yang menbacanya karena langsung bersentuhan dengan
kehidupan keseharian manusia.
Buku ini mengarahkan pembaca untuk memahami secara detail
tentang filsafat secara umum sampai pada filsafat yang lebih khusus. Pada buku ini juga ditemukan beberapa konsep
yang memberikan acuan bagi pembaca dalam membandingkan kondisi yang terjadi
pada bangsa kita sendiri dengan bangsa lain yang ada di belahan dunia ini, sehinga
pembaca tertantang untuk menemukan jawaban dari apa yang selama ini menjadi
teka-teki bagi diri pembaca itu sendiri.
B.
Kelemahan
Sistematika penulisan pada
buku Filsafat Pendidikan ini tidak tersusun secara hirarki berdasarkan subpokok
bahasan dan tidak diberikan penomoran, sehingga menimbulkan kekeliruan untuk
mengikuti alur pemikiran pengarang.
|
Pada buku ini terdapat beberapa kesalahan, baik kesalahan
struktur, penulisan kata yang tidak baku, dan kesalahan penulisan EYD.
Begitupun dalam menguraikan subpokok bahasan yang satu dengan lainnya terkadang
berulang dijelaskan. Banyak hal-hal yang dibahas dalam buku ini memilki makna
yang ambiguitas.
BAB
IV
|
A.
Simpulan
- Masalah-masalah
pendidikan adalah masalah yang berhubungan dengan manusia, baik sebagai
kodrat ciptaan Tuhan, maupun sebagai mahluk individu dan mahluk sosial
- Pendidikan
dapat menerima masukan dari wawasan filsafat yang meliputi wawasan
otologi, epistemologi, dan aksiologi, serta berbagai macam aliran yang ada
di dalamnya.
- Konsep-konsep
pendidikan dalam kehidupan manusia memperoleh sumbangan yang besar dan
sangat berharga dari sistem filsafat manusia berupa landasan filosofis dan
sosiologis dalam perumusan tujuan, materi, metode dan alat, serta
lingkungan pendidikan dan sistem pendidikan. Kesemuanya itu, harus
diiplementasikan oleh kalangan pendidik dari individu sampai kepada
penyelenggara dalam struktur kenegaraan terhadap peserta didik secara
individu dan kelompok dengan memperhatikan kompetensi dan potensi yang
dimikinya
- Landasan
filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan
“kacamata” yang dipakai dalam memandang dan menyikapi persoalan-persoalan
terhadap pendidikan bangsa ini.
B.
Saran
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komantarnya bossss