Senja
di Pelabuhan Kecil
Buat
Sri Ayanti
Ini
kali tidak ada yang mencari cinta
di
antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang
serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut,
menghembus
diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis
mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung
muram, desir air lari berenang
menemu
bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan
kini tanah dan air tidur, hilang ombak.
Tiada
lagi. Aku sendiri. Berjalan.
menyisir
semenanjung, masih pengap harap
sekali
tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari
pantai keempat, sedu penghabisan bias berdekap
(Chaeril
Anwar)
Puisi
“Senja di Pelabuhan Kecil” termasuk puisi modern. Hal itu dapat kita lihat dari
struktur baris dan baitnya. Adanya tanda titik di tengah baris menunjukkan
perbedaan puisi tersebut dari puisi lama dan puisi baru. Puisi diatas terdiri
atas tiga bait dan tiap-tiap bait dibentuk oleh empat baris. Seluruh bait dan
baris mengungkapkan tema kedukaan atas cinta. Tema tersebut, antara lain,
tampak pada penggunaan bahasanya. Kata-kata, penggambaran alam, dan suasana
yang dilukiskan oleh penyair membantu mengungkapkan tema itu.
Chairil
Anwar termasuk penyair Angkatan 45. Angkatan tersebut banyak mengungkapkan
aliran realisme dan ekspresionisme. Ekspresi jiwa penyair lebih utama dari
kesan-kesan. Judu puisi “Senja di Pelabuha Kecil” tidak mengungkapkan kesan
penyair terhadap suatu pelabuhan kecil, tetapi hanya wakil keadaan jiwa Chairil
pada waktu puisi itu diciptakan.
Kalau
demkian, senja merupakan lambang ekspresi jiwa. Demikian pula dengan pelabuhan kecil.
Jadi, dalam hal ini kita berhubungan dengan “senja” dan “pelabuhan” yang
“kecil”. Senja melambangka suasana perpisahan atau pergantian atara siang dan
malam. Pelabuhan adalah tempat bermula dan berakhirnya suatu perjalanan.
Pelabuhan dapat juga melambangkan impian seseorang. Di sini pelabuhan dapat
ditafsirkan sebagai impian, cita-cita, atau harapan. Harapan itu kecil karena
pelabuhan yang digambarkan oleh penyair itu pun kecil, malah kemudian berpisah dengan
harapan itu sehingga ia berduka karenanya.
Pernyataan
“Buat Sri Ayati” harus dihubungkan dengan aliran realisme yang dianut oleh
penyair. Chairil sering menyebut nama-nama wanita yang terlibat cinta dengan
dirinya. Kalau demikian, Sri Ayati bukan sekedar nama indah untuk melengkapi
puisinya, tetapi nama gadis yang benar-benar berurusan dengan penyair. Chairil
menaruh harapan kepada gadis itu hingga suatu saat ia menyatakan cintanya.
Namun, cintanya tidak mendapat sambutan karena sang gadis telah memiliki calon
suami yang bahkan dikenal oleh penyair. Jadi, jelaslah bahwa puisi di atas
bertema kedukaan karena kegagalan cinta penyair terhadap Sri Ayati.
Diksi
yang digunakan oleh penyair adalah kata-kata yang bernada muram. Diksi tentang
kemuraman itu dipantulkan oleh kata senja,
gerimis, pantai, gudang, rumah tua, tiang, temali, kapal, perahu, laut kelam,
tanah, air tidur, dan hilang ombak. Selain
tampak dalam pilihan kata, kemuraman atau kedukaan penyair tampak pula dalam
gaya bahasanya. Ungkapan dari panta
keempat sedu penghabisan bias terdekap, misalnya, memberikan gambaran yang
jelas mengenai kedudukan penyair yang sangat mendalam.
Rima
puisi di atas masih mengalami pola lama. Rima akhir tiap bait adalah /aabb/,
/aabb/, dan /abab/. Pola itu memiliki kesamaan dengan pola yang digunakan dalam
syair, pantun, dan puisi baru. Namun, karena struktur rima tidak sama, kita
tidak bisa mengelompokka puisi di atas sebagai puisi lama atau puisi baru.
Tipografi
puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” termasuk tipogrfi puisi konvensional. Puisi
disususn oleh bait-bait dan bait-bait tersebut terbagi lagi dalam larik-larik
dalam jumlah yang sama.
Secara
sepintas telah ditafsirkan bahwa puisi di atas bertemakan kedukaan karena
kegagalan cinta. Hal ini, antara lain, telah kita buktikan setelah kita
menelaah struktur fisik puisi yang menggambarkan kedudukan penyair. Namun,
untuk mengetahui tama itu secara mendalam, berikut ini disajikan penafsiran
atas tema setiap baitnya.
Bait Pertama
Karena cintanya kepada Sri Ayati gagal, penyair
merasakan kehampaan dalam hatinya. Cintanya sudah hilang, kisah-kisah masa
lalunya yang indah (rumah tua pada cerita) yang sebelumnya dipenuhi oleh
hubungan cintanya dengan sang kekasih (pada cerita tiang serta temali) kini
tiada lagi. Kenangan tentang cintanya itu (gudang) sangat memukul hatinya.
Hatinya tidak lagi dipenuhi oleh keceriaan, harapan, dan hiburan (menghembus
diri) bagaikan perahu yang tidak mempunyai laut. Penyair kehilangan
kepercayaannya kepada cinta (dalam mempercaya mau berpaut). Hatinya beku
seperti mati, tanpa harapan, karena orang yang dicintainya telah meninggalkan
diri penyair (kapal yang tidak berlaut seperti halnya hidup yang tidak
berarti).
Bait Kedua
Duka
hati peyair menambah kelemahan dalam jiwanya. Karena sepi dan kelam itu, suara
kelepak elang dapat didengarnya. Suara itu lebih memperdalam kedukaanya,
membuat hatinya lebih muram. Harapan-harapan untuk dapat berjumpa dengan
kekasih timbul tenggelam seperti hari lari berenang, tetapi kemudian muncul
bujukan pangkal akanan. Penyair masih diombang-anbingkan oleh perasaan antara
munculnya kembali harapan untuk bercinta kembali dengan sang kekasih dan
putusnya harapan itu. Namun, kemudian disadari bahwa harapan yang timbul dan
tenggelam itu harus dilupakan karena kekasihnya tidak akan kembali lagi (tanah,
air tidur, hilang ombak). Jika pada bait pertama perahu kehilangan laut, kini
tanah dan air di pantai itu kehilangan ombak. Cinta penyair tinggal bertepuk
sebelah tangan akan menimbulkan kedukaan yang sangat dalam.
Pada
bait kedua, perhatian penyair menyimpit pada suasana alam di pantai. Pada bait
pertama perhatian penyair lebih luas tertuju pada bangunan-bangunan yang nampak
remang-remang di pantai itu.
Bait Ketiga
Penyair
merefleksikan diri. Semua kejadian itu kemudian dipantulkan kepada dirinya
sendiri. Aku liris sudah muncul secara eksplisit. Kekelaman dan rasa mencekam
karena cintanya yang gagal direnunginya sendiri. Dia masih sering mengharapkan
cintanya akan kembali padanya. Dalam kesendirian dan kehampaan itu, ia merasa
suatu ketika sang kekasih akan menemaninya (pengap harap). Namun, setelah
mendengar jawaban Sri Ayati bahwa dia sudah punya calon suami, kembalilah
harapan penyair itu musnah. Bahkan, hilangnya harapan itu dipertegas dengan sekali tiba di ujung dan sekalian selamat
jalan. Kini penyair tidak lagi menggambarkan hilangnya harapan itu dengan perahu yang tidak berlaut atau tanah, air tidur, hilang ombak, tatapi
dengan lebih tegas: sekalian selamat
jalan. Kalau “selamat jalan’’ sudah diucapkan, itu berarti tidak diharapkan
lagi. Dengan demikian, kesedihan penyair kini jauh lebih mendalam. Ratap tangis
yang diderita dalam hati menggema sampai jauh, bahkan dari pantai keempat, sedu
penghabisan bisa terdekap. Sangat mendalam duka penyair itu karena
kehilangan orang yang dicintai. Orang itu memberikan harapan-harapan yang
kadang nyata kadang hilang, sehingga pelabuhan harapan itu disebut kecil.
Perasaan penyair pada waktu
menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu membahas bait demi bait:
sedih, sepi, dan menyendiri. Kesedihan itu kadang-kadang diselingi oleh
tumbuhnya harapan akan datangnya sang kekasih untuk memenuhi harapan cintanya,
tetapi pada setiap akhir bait dinyatakan bahwa harapan itu musnah sehingga
hatinya seperti mati, jiwanya terpukul, bahkan kemudian sedu tangisnya mengumandang
hingga pantai keempat. Kedukaan, kesepian, dan kesendirian itu disebabkan oleh
kegagalan cintanya dengan Sri Ayati. Harapan untuk mendapatkan Sri Ayati belum
dikatakan positif. Karenanya, harapan itu disebutnya kecil dan diumpamakan
sebagai pelabuhan kecil.
Nada puisi ini adalah nada bercerita
sambil meratap. Penyair menceritakan kegagalan cintanya disertai dengan ratapan
yang sangat mendalam, yaitu bahwa karena kegagalan itu hatinya benar-benar
terluka dan sedu tangisnya benar-benar sangat kuat.
Amanat puisi ini menyatakan bahawa
penyair ingin mengungkapkan kegagalan cintanya yang menyebabkan hatinya sedih
dan tercekam. Kegagalan cinta itu menyebabkan seseorang seolah kehilangan
segala-galanya. Cinta yang sungguh-sungguh dapat menyebabkan seseorang
menghayati arti kegagalan itu secara total.
Dari uraian tentang puisi “Senja di
Pelabuhan Kecil’’ tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi ini mempunyai nilai
literer yang tinggi. Penyair mengungkapkan perasaan dukanya yang kuat melalui
struktur bahasa dan struktur batin yang selaras. Harmoni antara struktur bahasa
dan struktur batin itu tidak membuat pembaca sukar menafsirkan maknanya. Maka
konotatif dalam puisinya masih dapat didekati oleh pembaca, bahkan makna
konotatif itu menyebabkan puisinya menjadi intens dan kaya akan makna.
Penyair berhasil memberikan sugesti kepada pembaca
tentang mendalamnya kedukaan penyair karena kegagalan cintanya. Penyair cakap
mengonsentrasikan segala kekuatan bahasa untuk memperkuat pengalaman jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komantarnya bossss