Selasa, 29 Mei 2012

Analisis Semiotika Puisi


Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayanti

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut,
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir air lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur, hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan.
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bias berdekap
                                                            (Chaeril Anwar)



Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” termasuk puisi modern. Hal itu dapat kita lihat dari struktur baris dan baitnya. Adanya tanda titik di tengah baris menunjukkan perbedaan puisi tersebut dari puisi lama dan puisi baru. Puisi diatas terdiri atas tiga bait dan tiap-tiap bait dibentuk oleh empat baris. Seluruh bait dan baris mengungkapkan tema kedukaan atas cinta. Tema tersebut, antara lain, tampak pada penggunaan bahasanya. Kata-kata, penggambaran alam, dan suasana yang dilukiskan oleh penyair membantu mengungkapkan tema itu.
Chairil Anwar termasuk penyair Angkatan 45. Angkatan tersebut banyak mengungkapkan aliran realisme dan ekspresionisme. Ekspresi jiwa penyair lebih utama dari kesan-kesan. Judu puisi “Senja di Pelabuha Kecil” tidak mengungkapkan kesan penyair terhadap suatu pelabuhan kecil, tetapi hanya wakil keadaan jiwa Chairil pada waktu puisi itu diciptakan.
Kalau demkian, senja merupakan lambang ekspresi jiwa. Demikian pula dengan pelabuhan kecil. Jadi, dalam hal ini kita berhubungan dengan “senja” dan “pelabuhan” yang “kecil”. Senja melambangka suasana perpisahan atau pergantian atara siang dan malam. Pelabuhan adalah tempat bermula dan berakhirnya suatu perjalanan. Pelabuhan dapat juga melambangkan impian seseorang. Di sini pelabuhan dapat ditafsirkan sebagai impian, cita-cita, atau harapan. Harapan itu kecil karena pelabuhan yang digambarkan oleh penyair itu pun kecil, malah kemudian berpisah dengan harapan itu sehingga ia berduka karenanya.
Pernyataan “Buat Sri Ayati” harus dihubungkan dengan aliran realisme yang dianut oleh penyair. Chairil sering menyebut nama-nama wanita yang terlibat cinta dengan dirinya. Kalau demikian, Sri Ayati bukan sekedar nama indah untuk melengkapi puisinya, tetapi nama gadis yang benar-benar berurusan dengan penyair. Chairil menaruh harapan kepada gadis itu hingga suatu saat ia menyatakan cintanya. Namun, cintanya tidak mendapat sambutan karena sang gadis telah memiliki calon suami yang bahkan dikenal oleh penyair. Jadi, jelaslah bahwa puisi di atas bertema kedukaan karena kegagalan cinta penyair terhadap Sri Ayati.
Diksi yang digunakan oleh penyair adalah kata-kata yang bernada muram. Diksi tentang kemuraman itu dipantulkan oleh kata senja, gerimis, pantai, gudang, rumah tua, tiang, temali, kapal, perahu, laut kelam, tanah, air tidur, dan hilang ombak. Selain tampak dalam pilihan kata, kemuraman atau kedukaan penyair tampak pula dalam gaya bahasanya. Ungkapan dari panta keempat sedu penghabisan bias terdekap, misalnya, memberikan gambaran yang jelas mengenai kedudukan penyair yang sangat mendalam.
Rima puisi di atas masih mengalami pola lama. Rima akhir tiap bait adalah /aabb/, /aabb/, dan /abab/. Pola itu memiliki kesamaan dengan pola yang digunakan dalam syair, pantun, dan puisi baru. Namun, karena struktur rima tidak sama, kita tidak bisa mengelompokka puisi di atas sebagai puisi lama atau puisi baru.
Tipografi puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” termasuk tipogrfi puisi konvensional. Puisi disususn oleh bait-bait dan bait-bait tersebut terbagi lagi dalam larik-larik dalam jumlah yang sama.
Secara sepintas telah ditafsirkan bahwa puisi di atas bertemakan kedukaan karena kegagalan cinta. Hal ini, antara lain, telah kita buktikan setelah kita menelaah struktur fisik puisi yang menggambarkan kedudukan penyair. Namun, untuk mengetahui tama itu secara mendalam, berikut ini disajikan penafsiran atas tema setiap baitnya.
Bait Pertama
Karena cintanya kepada Sri Ayati gagal, penyair merasakan kehampaan dalam hatinya. Cintanya sudah hilang, kisah-kisah masa lalunya yang indah (rumah tua pada cerita) yang sebelumnya dipenuhi oleh hubungan cintanya dengan sang kekasih (pada cerita tiang serta temali) kini tiada lagi. Kenangan tentang cintanya itu (gudang) sangat memukul hatinya. Hatinya tidak lagi dipenuhi oleh keceriaan, harapan, dan hiburan (menghembus diri) bagaikan perahu yang tidak mempunyai laut. Penyair kehilangan kepercayaannya kepada cinta (dalam mempercaya mau berpaut). Hatinya beku seperti mati, tanpa harapan, karena orang yang dicintainya telah meninggalkan diri penyair (kapal yang tidak berlaut seperti halnya hidup yang tidak berarti).

Bait Kedua
Duka hati peyair menambah kelemahan dalam jiwanya. Karena sepi dan kelam itu, suara kelepak elang dapat didengarnya. Suara itu lebih memperdalam kedukaanya, membuat hatinya lebih muram. Harapan-harapan untuk dapat berjumpa dengan kekasih timbul tenggelam seperti hari lari berenang, tetapi kemudian muncul bujukan pangkal akanan. Penyair masih diombang-anbingkan oleh perasaan antara munculnya kembali harapan untuk bercinta kembali dengan sang kekasih dan putusnya harapan itu. Namun, kemudian disadari bahwa harapan yang timbul dan tenggelam itu harus dilupakan karena kekasihnya tidak akan kembali lagi (tanah, air tidur, hilang ombak). Jika pada bait pertama perahu kehilangan laut, kini tanah dan air di pantai itu kehilangan ombak. Cinta penyair tinggal bertepuk sebelah tangan akan menimbulkan kedukaan yang sangat dalam. 
Pada bait kedua, perhatian penyair menyimpit pada suasana alam di pantai. Pada bait pertama perhatian penyair lebih luas tertuju pada bangunan-bangunan yang nampak remang-remang di pantai itu.

Bait Ketiga
Penyair merefleksikan diri. Semua kejadian itu kemudian dipantulkan kepada dirinya sendiri. Aku liris sudah muncul secara eksplisit. Kekelaman dan rasa mencekam karena cintanya yang gagal direnunginya sendiri. Dia masih sering mengharapkan cintanya akan kembali padanya. Dalam kesendirian dan kehampaan itu, ia merasa suatu ketika sang kekasih akan menemaninya (pengap harap). Namun, setelah mendengar jawaban Sri Ayati bahwa dia sudah punya calon suami, kembalilah harapan penyair itu musnah. Bahkan, hilangnya harapan itu dipertegas dengan sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan. Kini penyair tidak lagi menggambarkan hilangnya harapan itu dengan perahu yang tidak berlaut atau tanah, air tidur, hilang ombak, tatapi dengan lebih tegas: sekalian selamat jalan. Kalau “selamat jalan’’ sudah diucapkan, itu berarti tidak diharapkan lagi. Dengan demikian, kesedihan penyair kini jauh lebih mendalam. Ratap tangis yang diderita dalam hati menggema sampai jauh, bahkan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. Sangat mendalam duka penyair itu karena kehilangan orang yang dicintai. Orang itu memberikan harapan-harapan yang kadang nyata kadang hilang, sehingga pelabuhan harapan itu disebut kecil.
            Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu membahas bait demi bait: sedih, sepi, dan menyendiri. Kesedihan itu kadang-kadang diselingi oleh tumbuhnya harapan akan datangnya sang kekasih untuk memenuhi harapan cintanya, tetapi pada setiap akhir bait dinyatakan bahwa harapan itu musnah sehingga hatinya seperti mati, jiwanya terpukul, bahkan kemudian sedu tangisnya mengumandang hingga pantai keempat. Kedukaan, kesepian, dan kesendirian itu disebabkan oleh kegagalan cintanya dengan Sri Ayati. Harapan untuk mendapatkan Sri Ayati belum dikatakan positif. Karenanya, harapan itu disebutnya kecil dan diumpamakan sebagai pelabuhan kecil.
            Nada puisi ini adalah nada bercerita sambil meratap. Penyair menceritakan kegagalan cintanya disertai dengan ratapan yang sangat mendalam, yaitu bahwa karena kegagalan itu hatinya benar-benar terluka dan sedu tangisnya benar-benar sangat kuat.
            Amanat puisi ini menyatakan bahawa penyair ingin mengungkapkan kegagalan cintanya yang menyebabkan hatinya sedih dan tercekam. Kegagalan cinta itu menyebabkan seseorang seolah kehilangan segala-galanya. Cinta yang sungguh-sungguh dapat menyebabkan seseorang menghayati arti kegagalan itu secara total.
            Dari uraian tentang puisi “Senja di Pelabuhan Kecil’’ tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi ini mempunyai nilai literer yang tinggi. Penyair mengungkapkan perasaan dukanya yang kuat melalui struktur bahasa dan struktur batin yang selaras. Harmoni antara struktur bahasa dan struktur batin itu tidak membuat pembaca sukar menafsirkan maknanya. Maka konotatif dalam puisinya masih dapat didekati oleh pembaca, bahkan makna konotatif itu menyebabkan puisinya menjadi intens dan kaya akan makna.
            Penyair berhasil memberikan sugesti kepada pembaca tentang mendalamnya kedukaan penyair karena kegagalan cintanya. Penyair cakap mengonsentrasikan segala kekuatan bahasa untuk memperkuat pengalaman jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komantarnya bossss