Minggu, 27 Mei 2012

Filsafat Ilmu


Eksistensi Ilmu Pengetahuan

      Didalam dunia filsafat, dikenal bahwa segala sesuatu yang ada pasti berada dalam substansi dan eksistensi. Substansi adalah sifat hakikat suatu hal, sebagai inti-sari daripadanya, sehinga dengan demikian menentukan jenis sebagai apa hal sesuatu itu. Sedangkan eksistensi adalah bagaiamana cara-cara keberadaan hal sesuatu itu.

Sebab-sebab pluralitas ilmu pengetahuan
     Bagi manusia, kebenaran universal adalah merupakan suatu kebutuhan yang amat berguna untuk memperluas pandangan atau wawasan yang kemuadian dapat membentuk suatu pandangan hidup atau filsafat hidup. Dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang diperlukan manusia dalam rangka menentukan dasar dan tujuan hidup adalah pengetahuan yang benar secara menyeluruh, yang bersifat prinsipal dan cenderung tidak berubah-ubah.
Meskipun dalam kehidupannya, manusia mutlak membutuhkan pengetahuan yang benar secara umum dan universal. Tetapi, seiring dengan percepatan pertumbuhan penduduk dunia yang makin mengancam kelangsungan hidup, maka manusia memerlukan pelipat-gandaan produksi barang-barang komsumtif sebagai kebutuhan hidup keseharian. Pada dasarnya pengetahuan umum universal  (filosofis) ternyata tidak mampu menjawab persoalan konkret keseharian seperti masalah pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan peralatan hidup lainnya.
Adapun kebenaran mengenai kecenderungan pluralitas ilmu pengetahuan seperti telah dikemukakan sebelumnya, dapat diterangkan secara lebih detail menurut dua cara sebagai beirikut.
Pertama, ditunjau dari segi manusia sebagai pendukung ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam diri manusia terdapat suatu kodrat yaitu adanya dorongan ingin tahu. Kodrat manusia semacam itu sesuai benar dengan perkembangan kebutuhan hidup dan kehidupannya. Pada mulanya, kebutuhamn manusia itu bersifat sangat sederhana, tetapi semakin lama semakin kompleks. Kebutuhan manusia yang ternyata bergerak baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, mendorong perkembangan pengetahuan menjadi semakin plural, metodis dan sistematis, untuk kemumdian ditingkatkan menjadi pengetahuan-pengetahuan praktis yang bersifat lebih teknis. Kebutuhan akan pengetahuan yang demikian itu, lebih jelas dapat dilihat pada sejarah perkembangan alam pikiran dan kebudayaan manusia.
Ketika jumlah manusia menjadi semakin berlipat ganda manusia mulai bergeser pikirannya dan mulai mengambil jarak dengan alam. Alam pikiran dan kebudayaan yang bersifat mitologis berubah dan berkembang menjadi filosofis. Didalam alam pikiran demikian, alam dihadapi sebagai objek, bukan sebagai subjek lagi. Manusia sebagai subjek, mulai mencari-cari rahasia-rahasia alam, apa yang menjadi inti atau hakikat alam itu sebenarnya.
Kedua, berkaitan dengan kodrat ingin tahu manusia itu tadi, perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari jenis, bentuk dan sifat objek materi ilmu pengetahuan. Suatu objek materi, terlepas apakah berupa benda material ataupun non-material seperti pendapat-pendapat, ide-ide, paham-paham dan sebagainya, didalam dirinya sendiri memiliki  banyak segi.
Secara kualitatif, ilmu pengetahuan bekembang dari yang filosofis menjadi teoritis ilmiah untuk kemudian semakin menjadi teknologis-praktis. Sedangkan secara kuantitatif, menjadi kelompok-kelompok ilmu pengetahuan alam, humaniora, sosial, dan ilmu-ilmu keagamaan.

Pluralitas Jenis dan Sifat Ilmu Pengetahuan Alam
        Pemahaman tentang pluralitas jenis dan sifat ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu menurut baik “objek materi” maupun “objek forma”.  Menurut objek materinya, ilmu pengetahuan biasanya dibedakan atas Ilmu Pengetahuan Alam (Natural Sciences), yang objek materinya berupa badan-badan benda mati (anorganic), benda hidup kemanusiaan (social sciences) dan ilmu pengetahuan sosial (social sciences), yang objek materinya berupa manusia dalam pelbagai taraf hidupnya, serta ilmu pengetahuan ketuhanan (theology), yang objek materinya adalah Tuhan Sang Pencipta. Sedangkan menurut objek formanya, ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi ilmu pengetahuan filosofis, ilmu pengetahuan teoritis, dan ilmu pengetahuan teknologis-praktis (terapan).
Ilmu pengetahuan filosofis, menyelediki objek materinya dari sudut pandang yang umum seumum-umumnya (universal), artinya dari pelbagai sudut sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran yang sifatnya universal (kebenaran hakiki). Pengetahuan teoritis, menyelidiki objeknya dari sudut pandang yang bersifat umum-khusus dengan mempergunakan metode ilmiah, sehinga dapat diperoleh suatu pengetahuan umum menurut sudut pandang itu yang tersusunsecara sistematik dan utuh.

Ke Arah Kesatuan Ilmu Pengetahuan
Sejauh manapun pluralitas ilmu pengetahuan berkembang, ternyata tetap terikat oleh dua faktor, sehingga pluralitas itu tetap di dalam suatu entitas yang utuh sebagai ilmu pengetahuan.  Faktor pertama adalah manusia sebagai pendukung (subjek) ilmu pengetahuan. Bagaimanapun pluralitas dan perbedaan ilmu pengetahuan adalah tetap dari manusia dan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya. Sedangkan Faktor kedua, yang justru menentukan kecenderungan  ke arah kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan itu adalah karena sifat hakikat atau bawaan daripada objek materi dan objek forma ilmu pengetahuan itu sendiri.
Akhirnya, secara etis perkembangan pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi bukannya untuk dipertanggungjawabkan secara terpisah-pisah, melainkan harus dipertanggung tersebut tidak satupun yang tidak berlaku bagi jenis ilmu pengetahun manapun. Karena kenyataannya setiap ilmu pengetahuan selalu mempersoalkan masalah-masalah kebenaran ideal seperti yang ditekankan oleh teori koheren, kebenaran real seperti yang ditekankan oleh teori koresponden, dan pada akhirnya tentu mempersoalkan kebenaran pragmatik seperti yang ditekankan oleh teori pragmatik.


HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN

Pendekatan Masalah
Pluralitas ilmu pengetahuan dapat digambarkan baik secara horizontal maupun vertikal, sebagai berikut :
  • Secara horizontal, menurut jenis onjek materinya, ada ilmu pengetahuan alam, sosio-humaniora dan ketuhanan.
  • Secara vertikal, menurut objek formanya, ada ilmu pengetahuan bertaraf filosofis, teoritis dan ilmu pengetahuan terapan (praktis-teknis).

Secara garis besar, pluralitas ilmu pengetahuan dibahas menurut sudut pandang filsafat. Tugas dan kewajiban filsafat lebih terfokus pada ,merncari dan menemukan titik-titik temu (overlapped) dari pluralitas ilmu pengetahuan. Dari hasil  temuannya itu, filsafat menyusun suatu sistem hubungan menyeluruh, sehingga terbentuk sebuah bangun ilmu pengetahuan. Adapun sistem hubungan itu ada dua jenis, yaitu :
  • Sistem hubungan interdiscipliner (menurut kesamaan objek materi)
  • Sistem hubungan multidiscipliner (menurut kesatuan dari perbedaan objek materi).
Pendekatan kefilsafatan menurut  sistem hubungan tersebut dibentuk atas dasar fakta kodrati, bahwa tidak ada satupun unsur yang terkandung di dalam realitas ini berada secara terpisah dengan unsur-unsur lainnya.
Aristoteles, terkenal sebagai bapak metafisika, menyatakan bahwa setiap yang ada selalu berada di dalam suatu cara disebut 10 kategori. Adapun kesepuluh kategori itu dapat dijelaskan kembali secara akumulatif sebagai berikut :
  1. Setiap hal pasti berada di dalam substance atau dirinya sendiri.
  2. Setiap hal pasti berada di dalam quality atau sifatnya sendiri.
  3. Setiap hal pasti berada di dalam quantity atau bentuknya sendiri.
  4. Setiap hal pasti berada di dalam realtion atau hubungan dengan hal lain
  5. Setiap hal pasti berada di dalam action atau tindakan tertentu
  6. Setiap hal pasti berada di dalam suatu passi atau derita tertentu ats tindakannya
  7. Setiap hal pasti berada di dalam suatu space atau ruang tertentu
  8. Setiap hal pasti berada di dalam suatu tempo atau waktu tertentu
  9. Setiap hal pasti berada di dalam situs atau keadaan tertentu
  10. Setiap hal pasti berada di dalam habitus atau kebiasaan tertentu.
Pada dasarnya hakikat dapat dapat dikategorikan menjadi tiga hal, yaitu hakikat jenis (bersifat abstrak), hakikat pribadi (bersifat potensial), dan hakikat individual (bersifat kongkret). Oleh karena ilmu pengetahuan tergolong kedalam hal yanga ada, maka ketiga jenis hakikat itu dipandang perlu untuk dijadikan landasan pembahasan tentang pembahasan tentang hakikat ilmu pengetahuan.

Aspek Ontologis Ilmu Pengetahuan
Ontologi dalam bahasa inggris  berarti Ontology, berakar dari bahasa Yunani “on” berarti ada, dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan logos berarti pemikiran.
Beberapa karakteristik ontologi, seperti diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat disederhanakan sebagai berikut :
  1. Ontologi adalah studi tentang arti “ada” dan ”berada”. Tentang ciri-ciri essensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak.
  2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin,
  3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada Yaitu Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan segala sesuatu mutlak bergantung kepadaNya.
  4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realita apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.
Secara ontologis artinya metafisis umum, objek materi yang dipelajari dalam pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling abstrak. Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan seperti manusia, binatang, tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak tertinggi yaitu dalam kesatuan dan dalam kesamaannya sebagai makhluk. Kenyataan semacam itu, mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu yaitu dalam kesatuan objek materinya.
Melalui pendekatan kualitatif, persoalan yang sama yaitu aspek ontologi ilmu pengetahuan demngan persoalan hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan, dapat digolongkan ke dalam tingkat-tingkat abstrak universal, teoritis potensial dan konkret fungsional.
Essensi kebenaran, jika diperhadapkan dengan taraf hakikat abstrak ilmu pengetahuan, terdapat kesesuaian yaitu bahwa kebenaran itu hanya ada satu. Artinya bagi ilmu pengetahuan yang berbeda-beda objek studinya, apakah kualitatif ataukah kuantitatif tetap terikat dalam satu jenis kebenaran. Sedangkan eksistensi kebenaran, jika diperhadapkan dengan taraf hakikat pribadi dan hakikat individual ilmu pengetahuan, terdapat kesesuaian bahwa kebenaran dalam dirinya terkandung sifat hakikat berupa potensi untuk berubah dan berkembang.


Aspek Epistemologis
Dalam epistemology, terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metoda, system dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda. Disamping itu juga disebabkan oleh kemampuan subjek yang selalu dalam keadaan terbatas. Terbatas dalam hal pemahaman rasional dan penghayatan empirik. Pada dasarnya atas kedua penghayata itu, maka berkembanglah segala macam perbedaan tajam sudut pandang dan metoda yang bersumber dari potensi rasio dan pengalaman. Akibatnya, kedua perbedaan itu menumbuhkan paham-paham epistimologis yang diukenal sebagai rasionalisme dan empirisme. Cara pandang dan metoda mana yang dapat dipercaya, apakah yang bersumber dari rasionalisme atau empirisme, pada dasarnya tergantung pada jenis dan sifat objek studi. Empirisme identik dengan teori koherensi. Dengan kata lain epistimologi dapat dipahami merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakikat kebenaran. Karena fakta menunjukkkan bahwa semua pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran.
Keterikatan hubungan interdiscipliner antara ilmu pengetahuan yang berbeda-beda, dalam aspek epistimologis ini justr menjadi dasar bagi pertumbuhan sikap ilmiah, yaitu sikap yang berkembang atas kesadaran bahwa :
  1. Setiap subjek ilmu pengetahuan (manusia), mendukung kodrat keterbatasan. Terbatas dalam penginderaan, terbatas dalam pemikirandan oleh sebab itu terbatas dalam persepsi.
  2. Setiap objek materi pasti tersusun atas bagian-bagian yang jumlah jenis dan sifatnya tidak terbatas.
  3. Oleh sebab itu penyelidikan harus dilakukan menurut bagian tertentu dari objek materi, yang selanjutnya atas bagian itu ditentukan sudut pandang, metoda dan sisitem tertentu sehingga pasti akan menghasilkan suatu teori kebenaran tertentu pula.
  4. Jadi, dari suatu objekmateri berkembang teori-teori kebenaran yang berbeda-beda, dan pada akhirnya menghasilkan suatu relativitas kebenaran tentang satu objek materi yang sama.
  5. Dari fakta relativitas kebenaran itulah kemudian berkembang moral “sikap ilmiah” sebagai landasan tata hubungan sosiologis keilmuawan diantara para ahli.

Jika sikap ilmiah bisa tumbuh berkembang, maka dapat diharapkan berpengaruh terhadap tata hubungan kehidupan social masyarakat manusia pada umumnya. Selanjutnya, didalam kehidupan masyarakat akan tumbuh berkembang sikap saling menghargai antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, menurut dasar hak dan kewajiban masing-masing.


Aspek Etika
Etika, berakar dari bahasa Yunani “ethikos” atau “ethos” yang berarti adat atau kebiasaan. Selanjutnya istilah ethikos berkembang menjadi ekuivalen dengan moralitas. Di dalam filsafat nilai (axiologi) masalah moral berhubungan dengan perilaku. Tradisi filsafat membagi etika ke dalam etika normatifdan kreatif (meta-etika?). yang pertama, mempersoalkan pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar norma-norma konvensional sebagai petunjuk atau penuntun perilaku. Sedangkang yang kedua, cenderung bersifat filosofis, pengukuran perbuatan baik dan benar berdasar pada analisis kritis logis.
Menurut latar belakang terbentuknya, mengapa dan untuk apa ilmu pengetahuan ada, jawabannya ada ditanga manusia. Karena manusialah subjeknya, maka jika tidak ada manusia ilmu pengetahuan juga tidak mungkin ada.
Aspek etika ilmu pengetahuan adalah mengenai akibat kongkret individual ilmu pengetahuan. Seperti halnya manusia, barulah berfungsi ketika menjadi konkret individual, maka begitu juga halnya ilmu pengetahuan baru dapat difungsikan ketika teori-teori ilmiah dibangun menjadi sebuah system teknologi. Jadi, rancang bangun teknologi dibuat berdasar pada teori-teori kebenaran ilmiah, semata-mata adalah untuk tujuan pemberdayaan nilai-nilai kebenaran ilmiah yaitu kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan dan bagi tercapainya tujuan kehidupan.
Berdasar atas potensi ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia seharusnya mampu dan mau untuk :
  1. Mengutamakan perilaku adil dan bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam.
  2. Mampu dan mau berperilaku adil terhadap sesame manusia.
  3. Mampu dan mau besikap adil terhadap diri sendiri.
Akhirnya, dalam hal hakikat ilmu pengetahuan, terutama pada titik etika, memperingatkan kepada umat manusia untuk mulai sekarang memutar balik sikap dan perilaku kehidupannya kepada orientasi baru berupa “kembali ke azas kesebaban”. Berdasar pada azas ini, sikap dan perilaku manusia dituntut untuk menomor-satukan kebutuhan hidup dan menomor-duakan keinginan hidup. Dengan pilar perilaku ini sebagai mahluk, maka manusia mendapatkan kembali posisi dan perannya sebagai pemimpin (khilafatullah) kehidupan. Sebagai pemimpin, manusia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dengan cara menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai rumah tinggal dari semua makhluk.
Aspek etika menunjuk pada hakikat konkret ilmu pengetahuan adalah persoalan tentang penerapan ilmu pengetahuan ke dalam hidup dan kehidupan manusia.

Referensi :
Suparlan Suharto, Filsafat Ilmu Pengetahuan (wawasan, sikap dan perilaku keilmuan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komantarnya bossss