Rabu, 06 Juni 2012

Filasfat Bahasa


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pengertian bahasa sangat bergantung pada sisi apa kita melihat bahasa.  Dalam pengertian umum bahasa diartikan sebagai  sistem lambang bunyi  berartikulasi  yang bersifat arbitrer dan  alat komunikasi. Para ahli  linguistik maupun komunikasi  mengartikan bahasa sebagai suatu sistem tanda atau  lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat  untuk bekerja sama, berinteraksi,  dan mengidentifikasikan diri.
Meskipun definisi tentang bahasa redaksinya dan penekanannya berbeda, tetapi ada ciri-ciri umum yang bisa menggambarkan hakikat bahasa. Ciri-ciri yang menjadi hakikat bahasa itu adalah  bahwa bahasa itu sistematik, beraturan atau berpola;  bahasa itu manasuka (Arbitrer), manasuka  atau acak ; bahasa itu vokal atau bahasa itu merupakan sistem bunyi; bahasa itu symbol; bahasa itu mengacu pada dirinya;  bahasa itu manusiawi;  dan  bahasa itu  digunakan untuk berkomunikasi.
Dari beberapa gambaran tentang bahasa dapatlah kita ketahui bahwa bahasa itu memiliki karakter dan fungsi. Di samping itu pula bahasa memiliki peranan yang lebih penting dari semua cabang ilmu pengetahuan karena melalui bahasa, ilmu pengetahuan dapat ditransfer dan teraplikasi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena pentingnya bahasa tersebut, maka bahasa manjadi perhatian para filsuf mengenai hubungan bahasa dengan
1
2
masalah-masalah filsafat.
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiiliki objek materi bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat lainnya. Hal ini disebabkan karena penganut-penganut filsafat bahasa atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing memepunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat persamaan di antara mereka, yaitu bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatian terhadap bahasa baik sebagai objek materi dalam filsafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat. Namun demikian satu hal yang penting untuk diketahui, bahwa betapapun terdapat berbagai macam perbedaan tentang perhatian filosof terhadap bahasa, yang pasti terdapat hubungan yang sangat erat antara filsafat dengan bahasa. Bahasa meliputi masalah sebagai berikut.
Pertama: salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep, oleh karena itu salah satu bidang filsafat bahasa adalah untuk memeberikan analisis yang kuat tentang konsep-konsep dasar dan hal ini dilakukan melalui analisis bahasa. Hal ini disebabkan karena suatu kata tertentu mempunyai arti atau makna tertentu dan nampak sedemikian rupa sehingga menimbulkan refleksi filosofis. Oleh karena itu lingkup filsafat bahasa yang utama membahas filsafat analitik baik menyangkut perkembangan maupun konsep-konsep dari para tokohnya.
Kedua: tidaklah tepat bilamana lingkup pembahasan filsafat bahasa itu hanya berkaitan dengan filsafat analitik lingkup lain filsafat bahasa adalah
berkenaan dengan penggunaan dan fungsi bahasa, yaitu pembahasan tentang bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan bagi tindakan manusia.
Ketiga: berkenaan dengan teori makna dan dimensi-dimensi makna. Pembahasan dengan lingkup inilah filsafat bahasa memiliki keterkaitan erat dengan linguistik yaitu bidang semantik.
Keempat: Membahas hakikat bahasa sebagai objek materia filsafat,bahkan lingkup pembahasan ini telah lama ditekuni oleh para filsuf juga membahas hakikat bahasa secara ontologis, dualisma, bentuk, dan makna demikian pula hubungan bahasa dengan pikiran, kebudayaan, komunikasi manusia dan bidang lainnya.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang bahasa sebagai sumber perhatian filsafat bahasa, maka penulis dapat mengemukakan pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu: (1)  Gambaran bahasa sebagai sumber perhatian bahasa,  (2) Perhatian para filsuf terhadap bahasa.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana gambaran bahasa sebagai sumber perhatian bahasa?
2.      Bagaimana perhatian filsuf terhadap bahasa?
C.    Tujuan penulisan
Perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan gambaran bahasa sebagai sumber perhatian filsafat, dan mendeskripsikan perhatian filsafat terhadap bahasa

D.    Manfaat Penulisan
Berdasarkan isi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, maka manfaat penulisan makalah ini adalah:
1.      Sebagai referensi mata kuliah Filsafat Bahasa bagi mahasiswa pascasarjana Unismuh Makassar dan yang lainnya.
2.      Makalah ini dapat memberi pemahaman secara mendasar mengenai bahasa sebagai sumber perhatian filsafat.

 
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Bahasa sebagai Sumber Perhatin Bahasa
   Tat kala manusia untuk pertama kali mulai menyadari bahwa kepercayaannya melalui mitos primitifnya itu sia-sia, bahwa alam tidak bisa dibujuk bukan karena enggan memenuhi permintaan manusia, melainkan karena tidak mampu memahami bahasa manusia dan kesadaran itu tentunya menimbulkan goncangan jiwa yang merupakan titik balik dan krisis dalam hidup intelektual maupun hidup moralnya. Sejak itu manusia menemukan diriya dicekam sendirian yang mendalam, rentang terhadap kesepian yang mendalam membawa manusia untuk merenungkan dunia sekitarnya. Dalam pengertian inilah dalam sejarah manusia mulai sadar melihat hubungan bahasa dengan realitas dari sudut pandang yang berbeda. Fungsi magis kata mulai memudar, diganti oleh fungsi semantis. Kata tidak lagi memuat daya-daya misterius supernatural, tidak lagi memiliki pengaruh jasmaniah atau adikodrati secara langsung. Kata tidak dapat mengubah alam benda-benda, kata tidak dapat mengubah kehendak dewa-dewa atau roh-roh, namun demikian kata bukanlah tanpa arti dan tanpa kekuatan. Kata bukanlah sekedar flatus vocis, bukanlah letupan angin semata-mata, yang menentukan kata bukanlah ciri fisiknya melainkan ciri logisnya. Secara fisik kata boleh dikatakan tanpa daya, akan tetapi secara logis kata diangkat ke tingkat lebih tinggi, bahkan tertinggi. 
Logos menjadi prinsip alam semesta dan menjadi prinsip pertama bagi pengetahuan manusia. Demikianlah kiranya sejarah filsafat Yunani telah akrab dengan bahasa dalam mengungkapkan refleksi filosofisnya. Diskursus melalui bahasa dan tentang bahasa dalam menyibak hakikat realitas telah marak dilakukan oleh para filosof sejak zaman Socrates.
Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filosof abad pertengahan dengan zaman Yunani namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosisnya. Hal itu berlangsung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX justru semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan dan ketidak jelasan konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa. Para filsuf analitik berkiprah menjelaskan mengkritik dan mengungkapkan konsep-konsep filosofisnya melalui analisis bahasa. Bersamaan dengan itu merebak pula reaksi tokoh-tokoh postmodernisme yang mengakar keberbagai bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media bahasa sebagai dasar pijaknya terutama konsep dekonstruksinya.

B.     Perhatian Filsuf Terhadap Bahasa
1.      Zaman Yunani
a.       Masa Pra Sokrates
Dengan memudarnya fungsi magis dari bahasa bangsa Yunani mulai sadar bahwa bahasa tidak mampu mengubah alam benda-benda fisis bahasa tidak dapat  menggerakkan kehendak Dewa-dewa atau roh-roh. Namun secara logis semantis bahasa dapat diangkat ketingkat yang lebih tinggi dalam mengungkap rahasia alam dan segala sesuatu. Demikianlah logos menjadi prinsip alam semesta dan prinsip pertama  bagi pengetahuan manusia.
Pertentangan antara “Fisei”dan”Nomos”
Bahasa yang bersifat alamiah (fisei) yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul (Parera, 1983:42). Jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Kaum Naturalis selanjutnya mengutarakan bahwa bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka melainkan mencapai makna secara alamiah. Komposisi fonetik adalah cermin komposisi benda. Dari  pengertian ini lahirlah usaha-usaha orang untuk mencari sumber sebuah kata atau disebut etimologi.
b.      Sokrates
Sejalan dengan sifat kaum sofis yang dalam arena perdebatan filsafat tidak mudah menyerah, maka muncullah persoalan dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Dalam diskusi filsafat mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori tersebut. Mereka hanya mencapai kesepakatan mengenai satu hal kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai , yaitu segala sesuatu hanya bersifat nisbi,oleh karena itu harus diragukan kebenarannya.
Menanggapi kondisi kacau akibat kelicikan kaum sofis tersebut Sokrates merasa terpanggil untuk meluruskannya  dengan satu metode ‘dialektis-kritis” . Proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung suatu pengertian dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran denagan memakai pertemuan antar ide (Titus, 1984, 1984 : 17). Sokrates dalam menerapkan metode dialektis kritis itu tidak begitu saja menerima suatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Misalnya ia  bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang dimaksud dengan “keindahan” kapada panglima tentang makna ‘keberanian’ (Bekker, 1984 : 28). Dengan menggunakan dialektis kritis inilah nampaknya Sokrates mampu mengatasi kemelut filosofis melalui perdebatan yang ketat. Dengan metode itu tujuan utama sokrates adalah untuk menjernihkan berbagai problema filosifos yang selama ini dikacaukan oleh kaum sofis.
c.       Plato
Plato seorang filosof dari Athena dalam menuangkan karya-karya filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog.Persoalan dikotomi tentang  hakikat bahasa “fisei” dan “nomos” . hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah natural tidak semata-mata konvensional. Tanpa hubungan natural seperti itu, suatu kata dalam perbendaharaan bahasa mnusia takkan dapat dipahami. Namun demikian tesis Plato tersebut selama beberapa abad tetap bertahan .Bahkan sampai dewasa ini  kepustakaan bahasa masih merupakan bahan pembahasan walaupun tidak merupakan satu-satunya teori dalam ilmu bahasa. Dari kata-kata derivatif  kita harus kembali kepada kata-kata primer, kita harus menemukan “etimon” atau  bentuk murni dan bentuk asal dari tiap-tiap kata.
d.      Aristoteles
Aristoteles  mengemukakan pemikiran filosifisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia  ideal,  melainkan dalam benda-benda  jasmani sendiri. Bentuk dan materi dalam pngertian ini bukanlah dalam arti empiris indrawi melainkan dalam pengetian prinsip-prinsip metafisis. Materi adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali terbuka. Materi adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Demikian juga dalam membahas tentang hakikat bahasa Aristoteles juga berdasarkan pada prinsip metafisisnya. Pemikiran Aristoteles tentang filsafat bahasa tidak bisa dipisahkan dengan logika dalam  karyanya disebut “organon” secara luas dikenal dengan listilah logika tradisional. Dalam organon Aristoteles menjelaskan bahwa logika tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikir, penyimpulan langsung dan sesat pekir.
Dikotomi ‘analogi’  dan “anomali”
Dengan munculnya teori  ‘analogi’ dan ‘anomli’ yang nampaknya berpegang pada khitohnya masing-masing. Menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan, dan hal itu terefleksi melalui bahasa. Oleh karena itu menurut kelompok analogi bahwa bahasa itu teratur dan disusun secara teratur pula.
e.       Mazhab Stoa
Mazhab Stoa ini terdiri atas kelompok filsuf yang ahli logika sehingga  pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang berdasarkan pada logika. Namun demikian satu hal yang perlu dicatat bahwa sumbangan kaum stoa terhadap filsafat bahasa cukup besar terutama dalam menentukan prinsip-prinsip analisisnya sistematis. Pertama, kaum stoa telah membedakan antara studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara gramatika. Kedua, mereka telah menciptakan beberapa istilah teknis khusus untuk berbicara tentang bahasa. Ketiga, kedua kemajuan tersebut ada hubungannya dengan perbedaan kaum stoa dan logika  peripatetik dari penganut  Aristoteles. Langkah pertama kaum stoa untuk mendeskripsikan tentang hakikat bahasa  terutama tentang  makna dengan membedakan tiga aspek utama bahasa : (1) tanda atau simbol, sign yang disebut semainon,dan ini adalah bunyi atau materi bahasa. (2) Makna, yang diistilahkan dengan semainomenon, atau lekton. (3) Hal-hal eksternal yang disebut  benda atau situasi yang diistilahkan dengan togpragma atau tutochcanon.
2.      Zaman Romawi
Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Dalam kenyataan sejarah perhatian orang Romawi terhadap bahasa sangat dipengaruhi bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani.Pengembangan dan pemikiran tentang bahasa di Romawi diserahkan kepada seorang tokoh yang bernama Crates seorang filsuf dan sekaligus seorang ahli gramatika golongan Stoa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pemikiran-pemikiran filsuf  Yunani sangat mewarnai konsep-konsep orang Romawi. Karya besar filsuf Romawi. Karya-karya besar  filsuf  Romawi tentang filsafat bahasa adalah  Varro.
a.       Pemikiran Varro tentang Hakikat Bahasa
Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi dan anomali. Kiranya dalam karya-karyanya yang ada, Varro juga membahas hal yang sama. Karya Varro yang terbesar adalah ‘De Lingua Latina’ terdiri atas 25 jilid.
Etimologi
Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi, contohnya ‘duellem’ menjadi ‘belum’ = perang. Perubahan makna umpamanya ‘hostis’ semula berarti ‘orang asing’ kemudian berubah  menjadi ‘musuh’ .
Pengertian Kata
Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk  yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa latin.Jadi terdapat bentuk-bentuk teratur  dan tidak teratur.Menurut Varro, kata adalah bagian dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimun, jika ia mempunyi deklinasi yang biasa dipakai  semua orang menurut aturan.
Konsep Morfologi
Dalam bidang morfologi varro menunjukkan orisinilitasnya dalam pembagian kelas kata. Ia menyusun satu sistem infleksi dari kata latin dalam empat bagian sebagai berikut.
Yang berinfleksi kasus                                   -- kata benda
                        Yang berinfleksi ‘tense’                                  -- kata kerja
                        Yang berinfleksi kasus dan ‘tense’                  -- partisipel
                        Yang tidak berinfleksi                                     -- adverbium  
Kasus dan Deklinasi
Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa latin ada enam kasus yaitu: nominativus ( bentuk primer, pokok), genetivus
(menyatakan kepunyaan), dativus (yang menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan), dan ablativus (menyatakan asal, dari).
Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas lebih jauh dibandingkan dengan pada masa Yunani. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan infleksi. Secara sinkronis ia membedakan pula dua macam deklinasi yaitu: deklinasi naturalis dan deklinasi alamiah. Deklinasi naturalis pada umumnya dapat diketahui masyarakat pemakai bahasa. Deklinasi voluntaria yaitu satu perubhan dari bentuk-bentuk kata yang bersifat selektif dan manusaka. Barangkali inilah yang dimaksud dengan deklinasi irreguler.    
b.      Konsep Priscia
Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya. Hal ini dianggap penting karena terdapat dua alasan yaitu: (1) konsep Priscia merupakan model tata bahasa latin yang paling lengkap yang dituturkan oleh pembicara aslinya. (2) teori-teori tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama pembicaraan bahasa secara trdasional. Jika disebut tata bahasa tradisional sebenarnya merekalah sumbernya, karena mereka yang memasukkan semantik sebagai norma utama dalam deskripsi bahasa, demikian juga mereka juga membicarakan segi-segi formal dari bentuk-bentuk bahasa.
Fonologi dan Morfologi Priscia
Dalam bidang fonologi Priscia membicarakan tulisan atau huruf  yang disebutnya litterae. Litterae merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebut potestas. Prisia membedakan pula atas vox articulata, yaitu bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulata dan inartikulata.    
Menurut konsep morfologi  Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio. Dalam hal ini Priscia memiliki satu kekeliruan bahwa seakan-akan bentuk vires bahasa ltin tidak dapat dianalisis atau dipecah-pecah kembli dalam bentuk yang lebih kecil lagi. Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu:
1) Nomen                    : Dalamnya termasuk kata sifat menurut klasifikasi sekarang.
2) Verbum                   : Verbum dalah jenis kata yang mempunyai infleksi untuk    menunjukkan       ‘tense’, modus, tetapi tidak erinfleksi kasus.
3) Participium              : yaitu sebuah kelas kata yang selalu berderitasi dari verbum
4) Pronomen             : yaitu jenis kata yang dapat menggatikan nomen biasa dan    biasanya  menunjukkan orang pertama, kedua, dan ketiga.
5) Adverbium         : keistemawaan adverbium ialah selalu dipergunakan dalam  konstruksi bersama dengan verbum dan secara sintaksis dan    semantik merupakan atribut verbum.
6) Praepositio           : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus atau kompositum.
7) Interjectio               : Jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan  menyatakan perasaan atau sikap pikiran.
8) Conjuction            : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menyatakan hubungan antar satu unsur dengan  lainnya.
Penentuan kelas kata tersebut sebagai unsur dari pembentukan satuan bahasa lainnya yaitu  kalimat. Menurut Priscia Oratio yaitu tata susun kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai. Hal yang menarik dari Oratio yaitu bahwa sebuah kata itu dapat menjadi kalimat
secara penuh. Demikianlah kiranya pemikiran tentang bahasa  kelompok Priscia yang besar pengaruhnya terhadap studi bahasa pada periode berikutnya (Parera, 1983, 54-56).
3.      Zaman Abad Pertengahan
Ciri yang utama pada zaman abad pertengahan adalah masa keemesannya filsuf kristiani terutama kaum patristic dan scolastik. Sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan teologi. Dengan demikian bahasa latin menduduki tempt yang terhormat terutama dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat, maupun teologi.
Pada zaman ini perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagi pilar pendidikan latin sert bahasa katin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis  pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka anlisis filosofis diungkapkan melalui bahasa.
a.       Pemikiran Thomas Aquinas
Pemikiran filsafat Thomas diwarnai oleh nuansa teologi dn selain itu Thomas banyak memberikan komentar terhadap filsafat Ariestoteles. Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theology.
Untuk menemukan suatu kebenaran pada satu masalah tertentu menurut Thomas perlu memahami terlebih dahulu dengan baik-baik apa yangb telah disumbangkan pemikir-pemikir besar yang lain. Segal pro dan kontra dari siapapun harus diangkat secara serius, dan dideskipsikan seobjektif  mungkin. Dalam mengemukakan pandangannya Thomas mengemukakan pemahaman dan penilaian kritis dan lebih mendalam menganai persoalan dan prinsip-prinsip Yag bersangkutan. Sebagimana dijelaskan di muka bahwa pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi. Hampir semua karya filosofisnya merupakn komentar  atas karya-karya besar Aristoteles.
Analisis Bahasa
Dalam pemikiran filosofis, Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk murni. Analisi abstraksi sebagi metode khas filsafat dikembangkannya, Yaitu dengan meninjau suatu segi atau sifat tersendiri dan kemudian menyisihkan segala aksidensia dan akhirnya sampai pada substansi atau hakikat segala sesuatu. Namun demikian bukan berarti Thomas mengelak dari fungsi bahasa yang bersifat fleksibel serta kelenturan makna bahasa. Memang benar diakui oleh banyak kalangan intelektual bahwa dalam setiap khasanah ilmu pengetahuan memiliki istilah-istilah tekhnis dan artifisial yang berlaku sah dan bermakna dal;am konteks ilmu pengetahuan tersebut.                 
Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikirannya Thomas, menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui premis. Premis yang demikian ini merupakan suatu prinsip yang jelas dengan sendirinya ( Principium per se netum). Hal itu meliputi beberapa macam bentuk premis deduktif  yaitu: Defenisi, yaitu pernyataan yang predikatnya merupakan hakikat subjek. Kemudian dengan perbandingan pertentangan, analisis istilah memberikan defenisi unik yang hanya berlaku bagi hal yang akan dirumuskannya. Prinsip ‘geneus et species’. Namun demikian juga dapat ditandai menurut salah satu sifat. Prinsip yang self-evident, yaitu suatu pernyataan yang predikaynya merupakan sifat yang dalam analisis nampaknya mutlak berlaku pada subjeknya. Prinsip yang lebih bersifat sekunder, yaitu dengan memakai prinsip-prinsip metafisis lainnya. Misalnya yang baik ialah sebagaimana berlaku dalam kebanyakan hal.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tudingan kepada filsafat scolastik  Thomas yang dianggapnayaa menjadi verbal. Walaupun tidak memiliki hubungan sebab-akibat yang langsung antara sistem pemikiran Thomas dengan atomisme nampaknya memiliki kemiripan
terutama menggunakan ungkapan bahasa melalui logika dalam melakukan analisis konsep-konsep filsafat.
Analogi dan Metafor
Dalam filsafat Thomas mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofisnya tidak hanya melalui logika Aristotilian melainkan juga mengangkat analogi dan metafor. Dalam filsafat Thomas doktrin tentang ‘analogi’ sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmiah. Dalam wacana teologis juga terdapat dilema yaitu di satu pihak menyamaratakan wacana tentang Tuhan dan tentang manusia yang akan berakibat menghilangkan unsur trasedensi Tuhan. Kenyataan itulah yang kemudian membawa Thomas Aquinas menerapkan konsep Aristoteles tentang ‘analogi’ di kawasan teologi. Jadi doktrin Thomas tentang analogi entis atau ‘analogi’ pengadah itu adalah upaya untuk memadukan hubungan horisontal antar ciptaan di dunia ini dengan hubungan vertikal antara ciptaan itu dengan Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa.
Perkembangan pemikiran filosofis zaman abad pertengahan yang  mencapai puncak keemasan pada karya dan konsep-konsep scolastik. Dalam metode-metode yang digunakan dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema filosofis dengan menggunakan metode analisis bahasa dengan mendasarkan sistem logika Aristoteles. Kreativitas
yang menonjol dari karaya peimikiran Thomas melaliu analisis bahasa terutama anlogi dan metafor, mampu mengangkat persoaln-persoalan teologis ke tingkat pemikiran yang bersifat ilmiah filosofis.
b.      Mazhab Modistae
Dalam konsep pemikirn kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula dalam penyabutan defenisi-defenisi bentuk-bentuk bahasa. Interprestasi ajaran scoalstik nampak dengan jelas dalam sistem pemikiran kaum Modistae  ini. Menurut konsep pemikiran ini barang-barang atau benda-benda memiliki beberapa ciri khas atau kepribadian yang perlu dibeda-bedakan. Inilah yang merupakan kunci dalam sistem analisis bahasa kaum Modistae.
c.       Konsep Bahasa Spekulativa
Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahas latin. Seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat scolastik. Dalam konteks ini deskripsi bahasa latin seperti yang dilakukan Priscia dan donatus dianggap tidak cukup, walaupun secara pedagogis ada manfaatnya.
Tufas dari bahasa spekulatuva ialah untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata sebagai sebuah tanda dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihak lain dihubungkan kepada benda-benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Dengan ini kaum spekalutiva
berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya.
C.     Zaman Abad Modern
Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu.Keakraban manusia dalam menafsirkan suratan Tuhan sebagaimana dilakukan oleh kaum patristic dan skolastik terutama sebagaimana yang dilakukan oleh Thomas Aquinas. Di dalam kelahiran kembali kepada sumber yang murni untuk menghidupkan kembali  kebudayaan Yunani/Romawi.
Kaum Humanis zaman Renisance bermaksud untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis. Zaman ini muncul kebangkitan untuk mempelajari sastra klasik dan penyambutan yang semangat atas realitas hidup ini yang bersifat alamiah. Menurut Renisance dunia diterima seperti apa adanya, optimisme manusia diarahkan kepada perhatian yang sungguh-sungguh atas segala perhatian yang kongkrit. Di sinilah manusia mulai menyadari dua hal yang berbeda yaitu dunia dan dirinya sendiri.
Demikianlah lambat laun filsafat mulai meninggalkan kemesraannya dengan teologi, filsafat menjadi lebih bersifat individualistis sehingga sejarah menunjjukkan kepribadian. Terlebih lagi perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa aufklarung.
Nama ini diberikan pada masa ini karena mausia mencari satu cahaya baru dalam rasionya. Dalam filsafat ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.
1.      Rene Descartes
            Descartes menyatakan bahwa dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan tidak terkecuali filsafat dan ilmu pengetahuan pada saat itu berkembang, kecuali ilmu pasti yang merupakan hasil dari rasio pemikiran Descartes sangat besar pengaaruhnya terhadap perkembangan filsafat  analitika bahasa. Menurut descartes yang dipandang sebagai pengetahuan yang benar adalah gagasan-gagasan itu seharusnya dapat di bedakan  dengan gagasan lainnya.
2.      Thomas Hobbes
Thomas hobbes adalah filsuf  Ingris pertama yang mengembangkan empirisme. Thomas Hobbes temasuk fisuf yang unik  dan kreatif yaitu menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam suatu sistem filsafat materialisme. Menurut Hobbes filsfat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah ilmu penetahuan tentang efek-efek, atau tentang penampakan yang sedemikian sebagaimana
yang kita peroleh merasionalisasika pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya.
Ajaran-ajaran yang dikembangkan Hobbes tentang filsafat bahasa adalah; Pertama, ajaran empirisme yang memberikan warn bagi berkembangnya paham-paham filsafat analitika bahasa, terutama atomisme logis dan positifisme logis, bahwa preposisi itu mengungkapkan fakta-fakta bahkkta itu diungkapkan menurut positifisme logis, ungkapan yang bermakna adalahyang dapat diverifikasikan secara empiris. Kedua, fakta-fakta itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya, dan hal ini dilakukan oleh atomisme logis dan positifisme logis dalam mengungkapkan realitas melalui bahasa yang didasarkan pada logika. Ketiga, emperisme memberikan warna bagi penentuan sistem logika bahasa filsafat analitik yaitu proposisi meliputi pengertian proposisi empiris (faktual) yaitu proposisi yang mengungkapkan realitas empiris (yaitu yang berasal dari pengalaman indra), dan proposisi formal yang bersumber dari rahasia manusia dan memiliki kebenaran yang bersifat tautologis.
3.      John Lock
Menurut Lock segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun
diperolehnya dari luar akal melalui inderawi. Lock tidak membedakan antara pengatahuan inderawi dan pengetahuan akal. Sasaran pengenalan manusia adalah gagasan semata-mata penggalan manusia adalah pengenalan gagasan-gagasan atau ide-ide yaitu kesan-kesan yang dimiliki subjek yang mengenal. Gagasan-gagasan tunggal dari pengalaman bathiniah adalah objektif.
4.      John Berkeley
Titik tolak pemikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurutnya segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang di amati. Pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek yang mengamati dengan objek yang diamati, melainkan hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan yang lain. Hanya pengamatanlah yang ada, sehingga relitas objek yang diamati pada hakikatnya terletak pada pengamatan itu sendiri. Objek adalah gagasan-gagasan yaitu ide-ide yang disebabkan karena pengamatan indera yang langsung dan disebabkan pengamatan batiniah. Demikian juga objek itu pada hakikatnya disebabkan karena pengamatan-pengamatan yang ditambah ingatan dan fantasi atau hayalan dengan penggabungan atau bagian-bagian gambaran yang diamati.
5.      David Hume
Menurut Hume bahwa manusia tidak mmembawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan atau ‘impression’ dan pengertian-pengertian atau ide-ide yang disebut ‘ideas’. Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun batiniah yang menampakkan diri dengan jelas hiup dan kuat. Menurut Hume yang dimaksud dengan pebgertia atau ide adalah gambaran pengalaman yang redup samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksi dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman manusia.
Secara metafisik Hume menentang aku menurut  Descartes maupun Berkeley yang menyatakan aku sebagai substansi roh. Menurut Hume, tidak pernah ia mengamati aku itu, tanpa ada satu pengamatan yang lain atau lebih dari satu pengamatan yang lain. Oleh karena itu yang disebut ‘aku’ sebenarnya merupakan suatu komposisi atau susunan kesan-kesan tadi di dalam diri kita tiada hal yang lain kecuali kemarahan, ketakutan, kekacauan, pengharapaan, kesenangan dan lain sebagainya.
Kaum Sofis
Kaum sofis ini mulai menekuni bahasa mengadakan pembedaan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi dan maknanya, mungkin berdasarkan strukturnya. Protagoras sebagai tokoh kaum Sofis ini membedakan tipe-
tipe kalimat atas 7 tipe yaitu: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan.
6.      Immanuel Kant
Kant berusaha untuk melakukan sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu paham rasionalisme dan empirisme. Demikian Kant tersebut dikenal dengan ‘kritisisme’ menurutnya kritisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas resiko. Pengenalan manusia merupakan panduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Kant berupaya memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan pada objek.
            Kritik dan Rasio Murni
Kritisisme kant sebagai suatu raksasa untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam pengenalan. Yang berarti unsure-unsur yang terlepas dari segala pengalaman misalnya ide-ide bawaan ala Descartes. Sedangkan empirisme menekankan unsure-unsur aposteorinya. Berarti hanya unsure-unsur yang berasal dari pengalaman sebagaimana dikemukakan Loeke dan Hume.
Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya keduanya bersifat berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa
pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur  aposteriori. Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume yang bersifat radikal dan konskuen, namun ia tidak menyetujui skeptisme yang di kembangkan Hume yang menyimpulkan bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak dapat mencapai suatu kepastian. Pada hal sebagaimana diketahui bersama bahwa pada masa Kant sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan mampu menenmukan dalil atau hokum-hukum yang sifatnya berlaku umum.
Dahulu para filsuf mencoba mengerti akan pengenalan dengan mengandaikan bahwa subjek mengarahkan diri pada objek. Kant berupaya mengembangkan pengenalan dengan berpangkal pada suatu anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjek. Sebagaimana ditetapkan oleh Copernicus bahwa bumu berputar sekitar matahari dan tidak sebaliknya, demikian pila Kant berupaya memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek(Bertens, 1989:60).
a.      Pada taraf indra
Pengenalan merupakan sintesa antara unsur apriori dengan unsure aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam penegenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang kosong, didirinya (ruang an sich). Demikian pula waktu tidak merupakan ruang pada suatu arus tetap, di mana penginderaan-penginderaan biasa ditempatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori dari pengenalan inderawi (Bertens 1989:60). Menrut Kant pengenalan itu bersandar pada putusan. Oleh karena itu perlu pertama-tama diadakan penelitian terhadap suatu keputusan. Suatu putusan menghubungkan dua pengertian, yang terdiri atas subjek dan predikat, misalnya “logam mengembang”. Putusan ini disebut putusan sintesis dan diperoleh secara aposteriori. Selain itu terdapat juga putusan kedua yaitu bersifat analitis yang diperoleh secara apriori, misalnya “bujur sangkar itu sama sisi”. Masih terdapat pula putusan yang bersifat apriori namun bersifat sintesis juga, misalnya”segala kejadian ada sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak. Ilmu pasti sebenarnya tersusun atas dasar putusan apriori yang bersifat sintesis. Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan-putusan yang member pengertian baru (sintesis) dan yang pasti mutlak dan bersifat umum (apriori). Maka ilmu penetahuan menurut adanya putusan-putusan apriori yang bersifat sintesis. Oleh karena itu suatu metafisika yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus juga dapat bekerja dengan mempergunakan putusan-putusan yang apriori. Namun bersifat sintesis (Hadiwijono, 1983:65).
Pendirian tentang pengenalan inderawi ini yang mempunyai implikasi yang penting yaitu, memang terdapat suatu realitas yang terlepas dari subjek. Kant menyatakan bahwa memang ada das ding an sich (benda-benda pada dirinya sendiri). The ting in itself. Akan tetapi das ding an sich selalu tinggal X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang selalu merupakan suatu sintesa antara hal-hal yang dating dari luar dengan bentuk ruang dan waktu (Bertens, 1989:61).
b.      Pada taraf akal budi
Kant membedakan akal budi (verstand) dengan rasio (vernufit). Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara data-data inderawi, dengan lain perkataan akal budi menentukan putusan. Pengenalan akal budi merupakan sintesa antara bentuk dan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriori yang terdapat dalam akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan “kategori” (Bertens, 1989:61). Menurut Kant terdapat empat kategori sebagai berikut:
1)      Kategori kuantitas, terdiri atas : singular (satuan), partikuler (sebagian) dan universal (umum).
2)         Kategori kua;itas, terdiri atas : realitas (kenyataan), negasi (pengingkara) limitasi (batas-batas).
3)         Kategori relasi, terdiri atas : categories (tidak bersyarat), hypothetis (sebab dan akibat), disjuntif (saling meniadakan).
4)         Kategori modalitas, terdiri atas : mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebutuhan (Hamersma, 1983:30).
Akal budi memiliki struktur yang sedemikian rupa, sehingga terpaksa manusia memikirkan data-data inderawi sebagai subtansi atau
menurut ikatan kategori lainnya. Dengan demikian Kant telah menjelaskan sahnya pengetahuan alam.
c.                   Pada taraf rasio
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari putusan-putusan. Dengan lain perkataan, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi, seperti halnya akal budi menggabungkan kata-kata inderawi dengan mengadakan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membntuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa, dunia dan Allah. Dengan ide Kant memaksudkan suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani(dunia), dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman kita. Karena kategori-kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, tetapi ketiga ide tadi tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori-kategori akal budi hanya berlaku untuk untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisikan misalnya upaya dalam bidang metafisika untuk membuktikan bahwa Allah adalah sebagai penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika berusaha yang sedemikian. Usaha metafisika itu sia-sia dan hal itu dibuktkan oleh Kant bahwa bukti-bukti adanya Allah yang diberikan dalam filsafat praktis semuanya kontradiktoris (Bertens, 1989:62).
            Kritik Atas Rasio Praktis
                        Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut ‘rasio teoritis’ atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi disamping itu terdapat juga ‘rasio praktis’. Yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak (imperative kategoris). Misalnya barang kepunyaan orang lain harus dikembalikan atau secara negative berupa larangan untuk tidak menyakiti orang yang tidak bersalah. Menurut Kant terdapat tiga hal yang harus diandaikan agar tingkah laku kita tidak menjadi mustahil. Tetapi harus diinsyafi bahwa ketiga hal itu tidak dibuktikan, melainkan hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebut sebagai “ketiga postulat dari rasio praktis. Yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah. Jadi apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah kita sama sekali tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan Kant sebagai kepercayaan (Bertens, 1989:62).
7.      Positivisme August Comte
Menurut aliran Positivisme pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang  positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada sebagai sebagai fakta dikesampingkan.
Bilamana diamati ajaran positivisme terutama dalam kaitannya dengan pengenalan pengetahuan masih memiliki kesamaan prinsip terutama dalam hal mengutamakan pengalaman empiris. Positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman objektif dan tanpa melibatkan pengalaman bathiniah.
            Pemikiran August Comte
Ajaran August Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia secara keseluruhan. Asa tiga tahap zaman tersebut merupakan suatu hubungan yang tetap.
a.       Zaman teologis
Pada zaman ini manusia percaya bahwa di balik gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerakan gejala-gejala tersebut.
Kekuasaan ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi manusia percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk insani yang biasa. 
b.      Zaman metafisis
Dalam zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak. Seperti “kodrat” dan “penyabab”. Konsep-konsep metafisika seperti subsrtansi.
c.       Zaman positif
Pada zaman ini manusia membatasi diri pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya manusia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan-urutan yang terdapat di antara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir inilah manusia dapa menghasilkan ilmu pengatahuan dalam artyang sebenarnya atau disebut ilmu pengetahuan modern (Bertens, 1989: 73).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      KESIMPULAN
Dari uraan di atas, maka penulis dapat menarik beberapa simpulan, simpulan tersebut sebagai berikut:
1.      Dari beberapa gambaran tentang bahasa dapatlah kita ketahui bahwa bahasa itu memiliki karakter dan fungsi. Di samping itu pula bahasa memiliki peranan yang lebih penting dari semua cabang ilmu pengetahuan karena melalui bahasa, ilmu pengetahuan dapat ditransfer dan teraplikasi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena pentingnya bahasa tersebut, maka bahasa manjadi perhatian para filsuf mengenai hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat.
2.      Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filosof abad pertengahan dengan zaman Yunani namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosisnya. Hal itu berlangsung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX justru semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan dan ketidak jelasan konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa. Para filsuf analitik berkiprah menjelaskan mengkritik dan mengungkapkan konsep-konsep filosofisnya melalui analisis bahasa. Bersamaan dengan itu merebak pula reaksi tokoh-tokoh postmodernisme yang mengakar keberbagai bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media bahasa sebagai dasar pijaknya terutama konsep dekonstruksinya.
3.      Pandangan para filsuf terhadap bahasa itu berbeda-beda, mereka memandang bahasa sesuai analisa masing-masing filfuf. Namun perbedaan ini justru melahirkan pemkiran-pemikiran yang lebih positif untuk mengkaji bahasa lebih dalam. Upaya-upaya para filsuf untuk menemukan hakikat bahasa melahirkan konsep-konsep bahasa yang terjamin kebenarnnya. Karena perbedaan pandangan filsuf itulah, para ahli bahasa terangsang untuk menemukan kevailidan ilmu pengetahuan bahasa terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa bahasa menjadi sumber perhatian filsafat.

B.     SARAN
Berdasarka uraian di atas, maka penulis menganggap perlu menyampaikan saran, saran tersebut sebagai berikut:
1.      Penulis mengharapkan kepada pembaca untuk lebih memahami materi dalam makalah ini, karena sangat berguna bagi mahasiswa yang memepelajari filsafat bahasa.
2.      Penulis mengharapkan agar pembaca dapat mengetahui mengapa bahasa menjadi sumber perhatian para filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komantarnya bossss