BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengertian bahasa sangat bergantung pada sisi apa kita
melihat bahasa. Dalam pengertian umum bahasa diartikan sebagai
sistem lambang bunyi berartikulasi yang bersifat arbitrer dan
alat komunikasi. Para ahli linguistik maupun komunikasi mengartikan
bahasa sebagai suatu sistem tanda atau lambang bunyi yang arbitrer, yang
dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Meskipun definisi tentang bahasa redaksinya dan
penekanannya berbeda, tetapi ada ciri-ciri umum yang bisa menggambarkan hakikat
bahasa. Ciri-ciri yang menjadi hakikat bahasa itu adalah bahwa bahasa itu
sistematik, beraturan atau berpola; bahasa itu manasuka (Arbitrer),
manasuka atau acak ; bahasa itu vokal atau bahasa itu merupakan sistem
bunyi; bahasa itu symbol; bahasa itu mengacu pada dirinya; bahasa itu
manusiawi; dan bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi.
Dari beberapa gambaran tentang bahasa dapatlah kita
ketahui bahwa bahasa itu memiliki karakter dan fungsi. Di samping itu pula
bahasa memiliki peranan yang lebih penting dari semua cabang ilmu pengetahuan
karena melalui bahasa, ilmu pengetahuan dapat ditransfer dan teraplikasi dalam
dunia pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena pentingnya bahasa tersebut, maka
bahasa manjadi perhatian para filsuf mengenai hubungan bahasa dengan
1
2
masalah-masalah filsafat.
Filsafat bahasa merupakan cabang
filsafat khusus yang memiiliki objek materi bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang
serta bidang-bidang filsafat lainnya. Hal ini disebabkan karena
penganut-penganut filsafat bahasa atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing
memepunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat
persamaan di antara mereka, yaitu bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatian
terhadap bahasa baik sebagai objek materi dalam filsafat maupun bagaimana
bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat. Namun demikian satu hal yang
penting untuk diketahui, bahwa betapapun terdapat berbagai macam perbedaan
tentang perhatian filosof terhadap bahasa, yang pasti terdapat hubungan yang
sangat erat antara filsafat dengan bahasa. Bahasa meliputi masalah sebagai
berikut.
Pertama:
salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep, oleh karena itu
salah satu bidang filsafat bahasa adalah untuk memeberikan analisis yang kuat
tentang konsep-konsep dasar dan hal ini dilakukan melalui analisis bahasa. Hal
ini disebabkan karena suatu kata tertentu mempunyai arti atau makna tertentu
dan nampak sedemikian rupa sehingga menimbulkan refleksi filosofis. Oleh karena
itu lingkup filsafat bahasa yang utama membahas filsafat analitik baik
menyangkut perkembangan maupun konsep-konsep dari para tokohnya.
Kedua:
tidaklah tepat bilamana lingkup pembahasan filsafat bahasa itu hanya berkaitan
dengan filsafat analitik lingkup lain filsafat bahasa adalah
berkenaan
dengan penggunaan dan fungsi bahasa, yaitu pembahasan tentang bahasa dalam
hubungannya dengan penggunaan bagi tindakan manusia.
Ketiga:
berkenaan dengan teori makna dan dimensi-dimensi makna. Pembahasan dengan
lingkup inilah filsafat bahasa memiliki keterkaitan erat dengan linguistik
yaitu bidang semantik.
Keempat: Membahas hakikat bahasa
sebagai objek materia filsafat,bahkan lingkup pembahasan ini telah lama
ditekuni oleh para filsuf juga membahas hakikat bahasa secara ontologis,
dualisma, bentuk, dan makna demikian pula hubungan bahasa dengan pikiran,
kebudayaan, komunikasi manusia dan bidang lainnya.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang
bahasa sebagai sumber perhatian filsafat bahasa, maka penulis dapat mengemukakan
pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu: (1)
Gambaran bahasa sebagai sumber perhatian bahasa, (2) Perhatian para filsuf terhadap bahasa.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
gambaran bahasa sebagai sumber perhatian bahasa?
2. Bagaimana
perhatian filsuf terhadap bahasa?
C.
Tujuan
penulisan
Perumusan masalah di atas, maka
tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan gambaran bahasa sebagai
sumber perhatian filsafat, dan mendeskripsikan perhatian filsafat terhadap
bahasa
D.
Manfaat
Penulisan
Berdasarkan isi yang telah
dipaparkan dalam makalah ini, maka manfaat penulisan makalah ini adalah:
1. Sebagai
referensi mata kuliah Filsafat Bahasa bagi mahasiswa pascasarjana Unismuh
Makassar dan yang lainnya.
2. Makalah
ini dapat memberi pemahaman secara mendasar mengenai bahasa sebagai sumber
perhatian filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bahasa
sebagai Sumber Perhatin Bahasa
Tat kala manusia untuk pertama kali mulai
menyadari bahwa kepercayaannya melalui mitos primitifnya itu sia-sia, bahwa
alam tidak bisa dibujuk bukan karena enggan memenuhi permintaan manusia,
melainkan karena tidak mampu memahami bahasa manusia dan kesadaran itu tentunya
menimbulkan goncangan jiwa yang merupakan titik balik dan krisis dalam hidup
intelektual maupun hidup moralnya. Sejak itu manusia menemukan diriya dicekam
sendirian yang mendalam, rentang terhadap kesepian yang mendalam membawa
manusia untuk merenungkan dunia sekitarnya. Dalam pengertian inilah dalam
sejarah manusia mulai sadar melihat hubungan bahasa dengan realitas dari sudut
pandang yang berbeda. Fungsi magis kata mulai memudar, diganti oleh fungsi
semantis. Kata tidak lagi memuat daya-daya misterius supernatural, tidak lagi
memiliki pengaruh jasmaniah atau adikodrati secara langsung. Kata tidak dapat
mengubah alam benda-benda, kata tidak dapat mengubah kehendak dewa-dewa atau
roh-roh, namun demikian kata bukanlah tanpa arti dan tanpa kekuatan. Kata
bukanlah sekedar flatus vocis,
bukanlah letupan angin semata-mata, yang menentukan kata bukanlah ciri fisiknya
melainkan ciri logisnya. Secara fisik kata boleh dikatakan tanpa daya, akan
tetapi secara logis kata diangkat ke tingkat lebih tinggi, bahkan tertinggi.
Logos menjadi
prinsip alam semesta dan menjadi prinsip pertama bagi pengetahuan manusia.
Demikianlah kiranya sejarah filsafat Yunani
telah akrab dengan bahasa dalam mengungkapkan refleksi filosofisnya. Diskursus
melalui bahasa dan tentang bahasa dalam menyibak hakikat realitas telah marak
dilakukan oleh para filosof sejak zaman Socrates.
Sekalipun terdapat perbedaan perhatian para filosof abad pertengahan
dengan zaman Yunani
namun bahasa masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosisnya.
Hal itu berlangsung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad
XX justru semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan dan ketidak jelasan
konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa. Para filsuf
analitik berkiprah menjelaskan mengkritik dan mengungkapkan konsep-konsep filosofisnya
melalui analisis bahasa. Bersamaan dengan itu merebak pula reaksi tokoh-tokoh
postmodernisme yang mengakar keberbagai bidang kehidupan manusia yang sekali
lagi juga menggunakan media bahasa sebagai dasar pijaknya terutama konsep
dekonstruksinya.
B.
Perhatian
Filsuf Terhadap Bahasa
1. Zaman
Yunani
a. Masa
Pra Sokrates
Dengan memudarnya fungsi magis dari
bahasa bangsa Yunani mulai sadar bahwa bahasa tidak mampu mengubah alam
benda-benda fisis bahasa
tidak dapat menggerakkan kehendak
Dewa-dewa atau roh-roh. Namun secara logis semantis bahasa dapat diangkat
ketingkat yang lebih tinggi dalam mengungkap rahasia alam dan segala sesuatu.
Demikianlah logos menjadi prinsip alam semesta dan prinsip pertama bagi pengetahuan manusia.
Pertentangan
antara “Fisei”dan”Nomos”
Bahasa yang bersifat alamiah (fisei) yaitu bahasa
mempunyai hubungan dengan asal-usul (Parera, 1983:42). Jadi ada hubungan antara
komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Kaum Naturalis selanjutnya
mengutarakan bahwa bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka melainkan
mencapai makna secara alamiah. Komposisi fonetik adalah cermin komposisi benda.
Dari pengertian ini lahirlah usaha-usaha
orang untuk mencari sumber sebuah kata atau disebut etimologi.
b. Sokrates
Sejalan dengan sifat kaum sofis
yang dalam arena perdebatan filsafat tidak mudah menyerah, maka muncullah persoalan
dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Dalam diskusi filsafat mereka tidak
memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori
tersebut. Mereka hanya mencapai kesepakatan mengenai satu hal kebenaran yang
sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai , yaitu segala sesuatu hanya bersifat
nisbi,oleh karena itu harus diragukan kebenarannya.
Menanggapi kondisi kacau akibat
kelicikan kaum sofis tersebut Sokrates merasa terpanggil untuk
meluruskannya dengan satu metode
‘dialektis-kritis” . Proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung suatu
pengertian dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan
perkembangan pemikiran denagan memakai pertemuan antar ide (Titus, 1984, 1984 : 17). Sokrates dalam
menerapkan metode dialektis kritis itu tidak begitu saja menerima suatu
pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Misalnya ia bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang
dimaksud dengan “keindahan” kapada
panglima tentang makna ‘keberanian’ (Bekker, 1984 : 28).
Dengan menggunakan dialektis kritis inilah nampaknya Sokrates mampu mengatasi
kemelut filosofis melalui perdebatan yang ketat. Dengan metode itu
tujuan utama sokrates adalah untuk menjernihkan berbagai problema filosifos
yang selama ini dikacaukan oleh kaum sofis.
c. Plato
Plato seorang filosof dari Athena
dalam menuangkan karya-karya filosofisnya diwujudkan melalui bentuk
dialog.Persoalan dikotomi tentang
hakikat bahasa “fisei” dan “nomos” . hubungan antara simbol dengan
objeknya haruslah natural tidak semata-mata konvensional. Tanpa hubungan
natural seperti itu, suatu kata dalam perbendaharaan bahasa mnusia takkan dapat
dipahami. Namun demikian tesis Plato tersebut selama beberapa abad tetap
bertahan .Bahkan sampai dewasa ini kepustakaan
bahasa masih merupakan bahan pembahasan walaupun tidak merupakan satu-satunya
teori dalam ilmu bahasa. Dari kata-kata derivatif kita harus kembali kepada kata-kata primer,
kita harus menemukan “etimon” atau bentuk
murni dan bentuk asal dari tiap-tiap kata.
d. Aristoteles
Aristoteles mengemukakan pemikiran filosifisnya bahwa terdapat sesuatu yang
tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia
ideal, melainkan dalam
benda-benda jasmani sendiri. Bentuk dan
materi dalam pngertian ini bukanlah dalam arti empiris indrawi melainkan dalam
pengetian prinsip-prinsip metafisis.
Materi
adalah prinsip yang sama sekali tidak ditentukan, yang sama sekali terbuka.
Materi adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk. Demikian
juga dalam membahas tentang hakikat bahasa Aristoteles juga berdasarkan pada
prinsip metafisisnya. Pemikiran Aristoteles tentang filsafat bahasa tidak bisa
dipisahkan dengan logika dalam karyanya
disebut “organon” secara luas dikenal dengan listilah logika tradisional. Dalam
organon Aristoteles menjelaskan bahwa logika tradisional itu meliputi
pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikir,
penyimpulan langsung dan sesat pekir.
Dikotomi
‘analogi’ dan “anomali”
Dengan munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomli’ yang nampaknya
berpegang pada khitohnya masing-masing. Menyatakan bahwa alam ini memiliki
keteraturan, dan hal itu terefleksi melalui bahasa. Oleh karena itu menurut kelompok
analogi bahwa bahasa itu teratur dan disusun secara teratur pula.
e. Mazhab
Stoa
Mazhab Stoa ini terdiri atas
kelompok filsuf yang ahli logika sehingga
pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan
dengan rasio yang berdasarkan pada logika. Namun demikian satu hal yang perlu
dicatat bahwa sumbangan kaum stoa terhadap filsafat bahasa cukup besar terutama
dalam menentukan prinsip-prinsip analisisnya sistematis. Pertama, kaum stoa
telah membedakan antara studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara
gramatika. Kedua, mereka telah menciptakan beberapa istilah teknis khusus untuk
berbicara tentang bahasa. Ketiga, kedua kemajuan tersebut ada hubungannya
dengan perbedaan kaum stoa dan logika
peripatetik dari penganut
Aristoteles. Langkah pertama kaum stoa untuk mendeskripsikan tentang
hakikat bahasa terutama tentang makna dengan membedakan tiga aspek utama
bahasa : (1) tanda atau simbol, sign yang disebut semainon,dan ini adalah bunyi
atau materi bahasa. (2) Makna, yang diistilahkan dengan semainomenon, atau
lekton. (3) Hal-hal eksternal yang disebut
benda atau situasi yang diistilahkan dengan togpragma atau tutochcanon.
2. Zaman
Romawi
Pemikiran-pemikiran dalam bidang
filsafat bahasa memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada
dasar-dasar linguistik. Dalam kenyataan sejarah perhatian orang Romawi terhadap
bahasa sangat dipengaruhi bahkan meneruskan pemikiran-pemikiran para filsuf
Yunani.Pengembangan dan pemikiran tentang bahasa di Romawi diserahkan kepada
seorang tokoh yang bernama Crates seorang filsuf dan sekaligus seorang ahli
gramatika golongan Stoa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
pemikiran-pemikiran filsuf Yunani sangat
mewarnai konsep-konsep orang Romawi. Karya besar filsuf Romawi. Karya-karya
besar filsuf Romawi tentang filsafat bahasa adalah Varro.
a. Pemikiran
Varro tentang Hakikat Bahasa
Dalam perkembangan karyanya Varro
terlibat juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu
antara pandangan analogi dan anomali. Kiranya dalam karya-karyanya yang ada,
Varro juga membahas hal yang sama. Karya Varro yang terbesar adalah ‘De Lingua
Latina’ terdiri atas 25 jilid.
Etimologi
Dalam bidang etimologi Varro
mencatat perubahan bunyi, contohnya ‘duellem’ menjadi ‘belum’ = perang.
Perubahan makna umpamanya
‘hostis’ semula berarti ‘orang asing’ kemudian berubah menjadi ‘musuh’ .
Pengertian Kata
Menurut Varro perihal pembahasan
kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk
yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa latin.Jadi
terdapat bentuk-bentuk teratur dan tidak
teratur.Menurut Varro, kata adalah bagian dari ucapan, yang tidak dapat
dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimun, jika ia mempunyi deklinasi yang
biasa dipakai semua orang menurut
aturan.
Konsep Morfologi
Dalam bidang morfologi varro
menunjukkan orisinilitasnya dalam pembagian kelas kata. Ia menyusun satu sistem
infleksi dari kata latin dalam empat bagian sebagai berikut.
Yang berinfleksi kasus -- kata benda
Yang berinfleksi ‘tense’ -- kata kerja
Yang berinfleksi kasus dan
‘tense’ -- partisipel
Yang tidak berinfleksi --
adverbium
Kasus dan
Deklinasi
Dalam hal kasus perihal penggunaan
dan maknanya dalam bahasa latin ada enam kasus yaitu: nominativus ( bentuk primer, pokok), genetivus
(menyatakan
kepunyaan), dativus (yang menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan), dan ablativus
(menyatakan asal, dari).
Dalam hal deklinasi, Varro telah
membahas lebih jauh dibandingkan dengan pada masa Yunani. Varro membedakan juga
deklinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan infleksi. Secara sinkronis ia
membedakan pula dua macam deklinasi yaitu: deklinasi naturalis dan deklinasi alamiah. Deklinasi naturalis pada umumnya
dapat diketahui masyarakat pemakai bahasa. Deklinasi voluntaria yaitu satu perubhan dari bentuk-bentuk kata yang
bersifat selektif dan manusaka. Barangkali inilah yang dimaksud dengan
deklinasi irreguler.
b. Konsep
Priscia
Konsep Priscia ini merupakan model
yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya. Hal ini
dianggap penting karena terdapat dua alasan yaitu: (1) konsep Priscia merupakan
model tata bahasa latin yang paling lengkap yang dituturkan oleh pembicara
aslinya. (2) teori-teori tata bahasanya merupakan tonggak-tonggak utama
pembicaraan bahasa secara trdasional. Jika disebut tata bahasa tradisional
sebenarnya merekalah sumbernya, karena mereka yang memasukkan semantik sebagai
norma utama dalam deskripsi bahasa, demikian juga mereka juga membicarakan
segi-segi formal dari bentuk-bentuk bahasa.
Fonologi dan
Morfologi Priscia
Dalam bidang fonologi Priscia
membicarakan tulisan atau huruf yang
disebutnya litterae. Litterae
merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan. Nama dari
huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebut potestas. Prisia
membedakan pula atas vox articulata, yaitu bunyi yang diucapkan untuk
membedakan makna, vox litterata adalah bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia
bunyi articulata dan inartikulata.
Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio.
Dalam hal ini Priscia memiliki satu kekeliruan bahwa seakan-akan bentuk vires
bahasa ltin tidak dapat dianalisis atau dipecah-pecah kembli dalam bentuk yang
lebih kecil lagi. Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata
dalam delapan macam yaitu:
1) Nomen : Dalamnya termasuk kata sifat menurut
klasifikasi sekarang.
2) Verbum : Verbum dalah jenis kata yang mempunyai infleksi
untuk menunjukkan ‘tense’, modus,
tetapi tidak erinfleksi kasus.
3) Participium : yaitu sebuah kelas kata yang
selalu berderitasi dari verbum
4) Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat menggatikan nomen biasa
dan biasanya menunjukkan orang pertama, kedua, dan ketiga.
5) Adverbium : keistemawaan adverbium ialah selalu dipergunakan
dalam konstruksi bersama dengan verbum
dan secara sintaksis dan semantik
merupakan atribut verbum.
6) Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak
mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang terletak di depan bentuk
yang berkasus atau kompositum.
7) Interjectio : Jenis kata yang secara
sintaksis terlepas dari verbum dan
menyatakan perasaan atau sikap pikiran.
8) Conjuction : yaitu jenis kata yang tidak
mengalami infleksi dan secara sintaksis menyatakan hubungan antar satu unsur
dengan lainnya.
Penentuan kelas kata tersebut sebagai
unsur dari pembentukan satuan bahasa lainnya yaitu kalimat. Menurut Priscia Oratio yaitu tata
susun kata yang berselaras dan menunjukkan kalimat itu selesai. Hal yang menarik
dari Oratio yaitu bahwa sebuah kata itu dapat menjadi kalimat
secara
penuh. Demikianlah kiranya pemikiran tentang bahasa kelompok Priscia yang besar pengaruhnya terhadap
studi bahasa pada periode berikutnya (Parera, 1983, 54-56).
3. Zaman
Abad Pertengahan
Ciri yang utama pada zaman abad
pertengahan adalah masa keemesannya filsuf kristiani terutama kaum patristic
dan scolastik. Sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan teologi.
Dengan demikian bahasa latin menduduki tempt yang terhormat terutama dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat, maupun teologi.
Pada zaman ini perkembangan
filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya
grammatika sebagi pilar pendidikan latin sert bahasa katin sebagai titik
sentral dalam khasanah pendidikan. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan
pemikiran filosofis pada saat itu sangat
akrab dengan teologi, maka anlisis filosofis diungkapkan melalui bahasa.
a. Pemikiran
Thomas Aquinas
Pemikiran filsafat Thomas diwarnai
oleh nuansa teologi dn selain itu Thomas banyak memberikan komentar terhadap
filsafat Ariestoteles. Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut
dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad
pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theology.
Untuk menemukan suatu kebenaran
pada satu masalah tertentu menurut Thomas perlu memahami terlebih dahulu dengan
baik-baik apa yangb telah disumbangkan pemikir-pemikir besar yang lain. Segal
pro dan kontra dari siapapun harus diangkat secara serius, dan dideskipsikan
seobjektif mungkin. Dalam mengemukakan
pandangannya Thomas mengemukakan pemahaman dan penilaian kritis dan lebih
mendalam menganai persoalan dan prinsip-prinsip Yag bersangkutan. Sebagimana
dijelaskan di muka bahwa pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi. Hampir
semua karya filosofisnya merupakn komentar
atas karya-karya besar Aristoteles.
Analisis Bahasa
Dalam pemikiran filosofis, Thomas
menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan
berbentuk murni. Analisi abstraksi sebagi metode khas filsafat dikembangkannya,
Yaitu dengan meninjau suatu segi atau sifat tersendiri dan kemudian menyisihkan
segala aksidensia dan akhirnya sampai pada substansi atau hakikat segala
sesuatu. Namun demikian bukan berarti Thomas mengelak dari fungsi bahasa yang
bersifat fleksibel serta kelenturan makna bahasa. Memang benar diakui oleh
banyak kalangan intelektual bahwa dalam setiap khasanah ilmu pengetahuan
memiliki istilah-istilah tekhnis dan artifisial
yang berlaku sah dan bermakna dal;am konteks ilmu pengetahuan tersebut.
Untuk mencapai suatu kebenaran
dalam sistem pemikirannya Thomas, menggunakan analisis bahasa melalui penalaran
logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui premis.
Premis yang demikian ini merupakan suatu prinsip yang jelas dengan sendirinya (
Principium per se netum). Hal itu
meliputi beberapa macam bentuk premis deduktif
yaitu: Defenisi, yaitu
pernyataan yang predikatnya merupakan hakikat subjek. Kemudian dengan
perbandingan pertentangan, analisis istilah memberikan defenisi unik yang hanya
berlaku bagi hal yang akan dirumuskannya. Prinsip ‘geneus et species’. Namun
demikian juga dapat ditandai menurut salah satu sifat. Prinsip yang self-evident, yaitu suatu pernyataan
yang predikaynya merupakan sifat yang dalam analisis nampaknya mutlak berlaku
pada subjeknya. Prinsip yang lebih
bersifat sekunder, yaitu dengan
memakai prinsip-prinsip metafisis lainnya. Misalnya yang baik ialah sebagaimana
berlaku dalam kebanyakan hal.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
banyak tudingan kepada filsafat scolastik
Thomas yang dianggapnayaa menjadi verbal. Walaupun tidak memiliki
hubungan sebab-akibat yang langsung antara sistem pemikiran Thomas dengan
atomisme nampaknya memiliki kemiripan
terutama
menggunakan ungkapan bahasa melalui logika dalam melakukan analisis
konsep-konsep filsafat.
Analogi dan
Metafor
Dalam filsafat Thomas mengungkapkan
pemikiran-pemikiran filosofisnya tidak hanya melalui logika Aristotilian
melainkan juga mengangkat analogi dan metafor. Dalam filsafat Thomas doktrin
tentang ‘analogi’ sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana
teologis ke taraf ilmiah. Dalam wacana teologis juga terdapat dilema yaitu di
satu pihak menyamaratakan wacana tentang Tuhan dan tentang manusia yang akan
berakibat menghilangkan unsur trasedensi Tuhan. Kenyataan itulah yang kemudian
membawa Thomas Aquinas menerapkan konsep Aristoteles tentang ‘analogi’ di
kawasan teologi. Jadi doktrin Thomas tentang analogi entis atau ‘analogi’
pengadah itu adalah upaya untuk memadukan hubungan horisontal antar ciptaan di
dunia ini dengan hubungan vertikal antara ciptaan itu dengan Tuhan. Hal ini
dapat dilakukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa.
Perkembangan pemikiran filosofis
zaman abad pertengahan yang mencapai
puncak keemasan pada karya dan konsep-konsep scolastik. Dalam metode-metode yang
digunakan dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema filosofis dengan
menggunakan metode analisis bahasa dengan mendasarkan sistem logika
Aristoteles. Kreativitas
yang
menonjol dari karaya peimikiran Thomas melaliu analisis bahasa terutama anlogi
dan metafor, mampu mengangkat persoaln-persoalan teologis ke tingkat pemikiran
yang bersifat ilmiah filosofis.
b. Mazhab
Modistae
Dalam konsep pemikirn kaum Modistae
ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula dalam
penyabutan defenisi-defenisi bentuk-bentuk bahasa. Interprestasi ajaran
scoalstik nampak dengan jelas dalam sistem pemikiran kaum Modistae ini. Menurut konsep pemikiran ini
barang-barang atau benda-benda memiliki beberapa ciri khas atau kepribadian yang
perlu dibeda-bedakan. Inilah yang merupakan kunci dalam sistem analisis bahasa
kaum Modistae.
c. Konsep
Bahasa Spekulativa
Konsep bahasa spekulativa adalah
merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahas latin. Seperti yang
dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat scolastik. Dalam konteks
ini deskripsi bahasa latin seperti yang dilakukan Priscia dan donatus dianggap
tidak cukup, walaupun secara pedagogis ada manfaatnya.
Tufas dari bahasa spekulatuva ialah
untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata sebagai sebuah tanda dihubungkan
pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihak lain dihubungkan kepada
benda-benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Dengan ini kaum spekalutiva
berdasarkan
filsafat metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai
kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya.
C.
Zaman Abad Modern
Sejarah pemikiran umat manusia
menapak terus dipimpin sang waktu.Keakraban manusia dalam menafsirkan suratan
Tuhan sebagaimana dilakukan oleh kaum patristic dan skolastik terutama
sebagaimana yang dilakukan oleh Thomas Aquinas. Di dalam kelahiran kembali
kepada sumber yang murni untuk menghidupkan kembali kebudayaan Yunani/Romawi.
Kaum Humanis zaman Renisance bermaksud
untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis. Zaman ini muncul kebangkitan
untuk mempelajari sastra klasik dan penyambutan yang semangat atas realitas
hidup ini yang bersifat alamiah. Menurut Renisance dunia diterima seperti apa
adanya, optimisme manusia diarahkan kepada perhatian yang sungguh-sungguh atas
segala perhatian yang kongkrit. Di sinilah manusia mulai menyadari dua hal yang
berbeda yaitu dunia dan dirinya sendiri.
Demikianlah lambat laun filsafat
mulai meninggalkan kemesraannya dengan teologi, filsafat menjadi lebih bersifat
individualistis sehingga sejarah menunjjukkan kepribadian. Terlebih lagi
perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa
aufklarung.
Nama
ini diberikan pada masa ini karena mausia mencari satu cahaya baru dalam
rasionya. Dalam filsafat ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu
mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.
1.
Rene
Descartes
Descartes
menyatakan bahwa dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti,
semuanya dapat dipersoalkan tidak terkecuali filsafat dan ilmu pengetahuan pada
saat itu berkembang, kecuali ilmu pasti yang merupakan hasil dari rasio
pemikiran Descartes sangat besar pengaaruhnya terhadap perkembangan
filsafat analitika bahasa. Menurut
descartes yang dipandang sebagai pengetahuan yang benar adalah gagasan-gagasan itu
seharusnya dapat di bedakan dengan
gagasan lainnya.
2.
Thomas
Hobbes
Thomas hobbes adalah filsuf Ingris pertama yang mengembangkan empirisme. Thomas
Hobbes temasuk fisuf yang unik dan
kreatif yaitu menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam suatu sistem
filsafat materialisme. Menurut Hobbes filsfat adalah suatu ilmu pengetahuan
yang bersifat umum, sebab filsafat adalah ilmu penetahuan tentang efek-efek,
atau tentang penampakan yang sedemikian sebagaimana
yang
kita peroleh merasionalisasika pengetahuan yang semula kita miliki dari
sebab-sebabnya atau asalnya.
Ajaran-ajaran yang dikembangkan
Hobbes tentang filsafat bahasa adalah; Pertama,
ajaran empirisme yang memberikan warn bagi berkembangnya paham-paham filsafat
analitika bahasa, terutama atomisme logis dan positifisme logis, bahwa
preposisi itu mengungkapkan fakta-fakta bahkkta itu diungkapkan menurut
positifisme logis, ungkapan yang bermakna adalahyang dapat diverifikasikan
secara empiris. Kedua, fakta-fakta
itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya, dan hal ini
dilakukan oleh atomisme logis dan positifisme logis dalam mengungkapkan
realitas melalui bahasa yang didasarkan pada logika. Ketiga, emperisme memberikan warna bagi penentuan sistem logika
bahasa filsafat analitik yaitu proposisi meliputi pengertian proposisi empiris
(faktual) yaitu proposisi yang mengungkapkan realitas empiris (yaitu yang
berasal dari pengalaman indra), dan proposisi formal yang bersumber dari
rahasia manusia dan memiliki kebenaran yang bersifat tautologis.
3.
John
Lock
Menurut Lock segala pengetahuan
datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif
pada waktu pengetahuan didapatkan. akal tidak melahirkan pengetahuan dari
dirinya sendiri, namun
diperolehnya
dari luar akal melalui inderawi. Lock tidak membedakan antara pengatahuan inderawi
dan pengetahuan akal. Sasaran pengenalan manusia adalah gagasan semata-mata
penggalan manusia adalah pengenalan gagasan-gagasan atau ide-ide yaitu
kesan-kesan yang dimiliki subjek yang mengenal. Gagasan-gagasan tunggal dari
pengalaman bathiniah adalah objektif.
4.
John
Berkeley
Titik tolak pemikiran Berkeley
terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurutnya segala
pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan
gagasan yang di amati. Pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subjek
yang mengamati dengan objek yang diamati, melainkan hubungan antara pengamatan
indera yang satu dengan yang lain. Hanya pengamatanlah yang ada, sehingga
relitas objek yang diamati pada hakikatnya terletak pada pengamatan itu sendiri.
Objek adalah gagasan-gagasan yaitu ide-ide yang disebabkan karena pengamatan
indera yang langsung dan disebabkan pengamatan batiniah. Demikian juga objek
itu pada hakikatnya disebabkan karena pengamatan-pengamatan yang ditambah
ingatan dan fantasi atau hayalan dengan penggabungan atau bagian-bagian
gambaran yang diamati.
5.
David Hume
Menurut Hume bahwa manusia tidak
mmembawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan atau ‘impression’
dan pengertian-pengertian atau ide-ide yang disebut ‘ideas’. Yang dimaksud
kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik
pengalaman lahiriah maupun batiniah yang menampakkan diri dengan jelas hiup dan
kuat. Menurut Hume yang dimaksud dengan pebgertia atau ide adalah gambaran
pengalaman yang redup samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali
atau merefleksi dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman
manusia.
Secara metafisik Hume menentang aku
menurut Descartes maupun Berkeley yang
menyatakan aku sebagai substansi roh. Menurut Hume, tidak pernah ia mengamati
aku itu, tanpa ada satu pengamatan yang lain atau lebih dari satu pengamatan
yang lain. Oleh karena itu yang disebut ‘aku’ sebenarnya merupakan suatu
komposisi atau susunan kesan-kesan tadi di dalam diri kita tiada hal yang lain
kecuali kemarahan, ketakutan, kekacauan, pengharapaan, kesenangan dan lain
sebagainya.
Kaum Sofis
Kaum sofis ini mulai menekuni
bahasa mengadakan pembedaan tipe-tipe kalimat berdasarkan isi dan maknanya,
mungkin berdasarkan strukturnya. Protagoras sebagai tokoh kaum Sofis ini
membedakan tipe-
tipe
kalimat atas 7 tipe yaitu: narasi,
pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan.
6.
Immanuel Kant
Kant berusaha untuk melakukan
sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang
yaitu paham rasionalisme dan empirisme. Demikian Kant tersebut dikenal dengan
‘kritisisme’ menurutnya kritisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya
dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas resiko. Pengenalan
manusia merupakan panduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan
unsur-unsur aposteriori. Kant berupaya memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat
pada subjek bukan pada objek.
Kritik
dan Rasio Murni
Kritisisme kant
sebagai suatu raksasa
untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan
unsur apriori dalam pengenalan. Yang berarti unsure-unsur yang terlepas dari
segala pengalaman misalnya ide-ide bawaan ala Descartes. Sedangkan empirisme
menekankan unsure-unsur aposteorinya. Berarti hanya unsure-unsur yang berasal
dari pengalaman sebagaimana dikemukakan Loeke dan Hume.
Menurut Kant
baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya keduanya bersifat berat sebelah.
Ia berusaha menjelaskan bahwa
pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa
antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur
aposteriori. Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume yang bersifat
radikal dan konskuen, namun ia tidak menyetujui skeptisme yang di kembangkan
Hume yang menyimpulkan bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak dapat mencapai
suatu kepastian. Pada hal sebagaimana diketahui bersama bahwa pada masa Kant
sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh beberapa
ilmuwan mampu menenmukan dalil atau hokum-hukum yang sifatnya berlaku umum.
Dahulu para
filsuf mencoba mengerti akan pengenalan dengan mengandaikan bahwa subjek
mengarahkan diri pada objek. Kant berupaya mengembangkan pengenalan dengan
berpangkal pada suatu anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjek.
Sebagaimana ditetapkan oleh Copernicus bahwa bumu berputar sekitar matahari dan
tidak sebaliknya, demikian pila Kant berupaya memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat
pada subjek dan bukan pada objek(Bertens, 1989:60).
a. Pada taraf
indra
Pengenalan
merupakan sintesa antara unsur apriori dengan unsure aposteriori. Unsur apriori
memainkan peranan materi. Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada
taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam penegenalan inderawi selalu ada dua
bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi
ruang tidak merupakan ruang kosong, didirinya (ruang an sich). Demikian pula
waktu tidak merupakan ruang pada suatu arus tetap, di mana
penginderaan-penginderaan biasa ditempatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk
apriori dari pengenalan inderawi (Bertens 1989:60). Menrut Kant pengenalan itu
bersandar pada putusan. Oleh karena itu perlu pertama-tama diadakan penelitian
terhadap suatu keputusan. Suatu putusan menghubungkan dua pengertian, yang
terdiri atas subjek dan predikat, misalnya “logam mengembang”. Putusan ini
disebut putusan sintesis dan diperoleh secara aposteriori. Selain itu terdapat
juga putusan kedua yaitu bersifat analitis yang diperoleh secara apriori,
misalnya “bujur sangkar itu sama sisi”. Masih terdapat pula putusan yang
bersifat apriori namun bersifat sintesis juga, misalnya”segala kejadian ada
sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak. Ilmu pasti sebenarnya tersusun
atas dasar putusan apriori yang bersifat sintesis. Ilmu pengetahuan mengandaikan
adanya putusan-putusan yang member pengertian baru (sintesis) dan yang pasti
mutlak dan bersifat umum (apriori). Maka ilmu penetahuan menurut adanya
putusan-putusan apriori yang bersifat sintesis. Oleh karena itu suatu
metafisika yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus juga dapat
bekerja dengan mempergunakan putusan-putusan yang apriori. Namun bersifat
sintesis (Hadiwijono, 1983:65).
Pendirian
tentang pengenalan inderawi ini yang mempunyai implikasi yang penting yaitu,
memang terdapat suatu realitas yang terlepas dari subjek. Kant menyatakan bahwa
memang ada das ding an sich (benda-benda
pada dirinya sendiri). The ting in itself. Akan tetapi das ding an sich selalu
tinggal X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang selalu
merupakan suatu sintesa antara hal-hal yang dating dari luar dengan bentuk
ruang dan waktu (Bertens, 1989:61).
b. Pada taraf
akal budi
Kant membedakan akal budi
(verstand) dengan rasio (vernufit). Tugas akal budi adalah menciptakan orde
antara data-data inderawi, dengan lain perkataan akal budi menentukan putusan.
Pengenalan akal budi merupakan sintesa antara bentuk dan materi. Materi adalah
data-data inderawi dan bentuk adalah apriori yang terdapat dalam akal budi.
Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan “kategori” (Bertens, 1989:61). Menurut
Kant terdapat empat kategori sebagai berikut:
1)
Kategori
kuantitas, terdiri atas : singular (satuan), partikuler (sebagian) dan
universal (umum).
2)
Kategori
kua;itas, terdiri atas : realitas (kenyataan), negasi (pengingkara) limitasi (batas-batas).
3)
Kategori relasi,
terdiri atas : categories (tidak bersyarat), hypothetis (sebab dan akibat),
disjuntif (saling meniadakan).
4)
Kategori
modalitas, terdiri atas : mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebutuhan
(Hamersma, 1983:30).
Akal budi memiliki struktur yang sedemikian rupa,
sehingga terpaksa manusia memikirkan data-data inderawi sebagai subtansi atau
menurut
ikatan kategori lainnya. Dengan demikian Kant telah menjelaskan sahnya pengetahuan
alam.
c.
Pada taraf rasio
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari
putusan-putusan. Dengan lain perkataan, rasio mengadakan
argumentasi-argumentasi, seperti halnya akal budi menggabungkan kata-kata
inderawi dengan mengadakan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio
membntuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa,
dunia dan Allah. Dengan ide Kant memaksudkan suatu cita-cita yang menjamin
kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian
jasmani(dunia), dan dalam bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiga ide
tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman kita. Karena
kategori-kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, tetapi ketiga ide
tadi tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori-kategori akal budi hanya
berlaku untuk untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh
metafisikan misalnya upaya dalam bidang metafisika untuk membuktikan bahwa
Allah adalah sebagai penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu
metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia.
Adanya Allah dan immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika
berusaha yang sedemikian. Usaha metafisika itu sia-sia dan hal itu dibuktkan oleh Kant bahwa bukti-bukti
adanya Allah yang diberikan dalam filsafat praktis semuanya kontradiktoris
(Bertens, 1989:62).
Kritik Atas Rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga
rasio disebut ‘rasio teoritis’ atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’.
Tetapi disamping itu terdapat juga ‘rasio praktis’. Yaitu rasio yang mengatakan
apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan
perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis
memberikan perintah yang mutlak (imperative kategoris). Misalnya barang
kepunyaan orang lain harus dikembalikan atau secara negative berupa larangan
untuk tidak menyakiti orang yang tidak bersalah. Menurut Kant terdapat tiga hal
yang harus diandaikan agar tingkah laku kita tidak menjadi mustahil. Tetapi
harus diinsyafi bahwa ketiga hal itu tidak dibuktikan, melainkan hanya dituntut.
Itulah sebabnya Kant menyebut sebagai “ketiga postulat dari rasio praktis.
Yaitu kebebasan
kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah. Jadi apa yang tidak dapat ditemui
atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Tetapi
tentang kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah kita sama sekali
tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut
dinamakan Kant sebagai kepercayaan (Bertens, 1989:62).
7.
Positivisme August
Comte
Menurut aliran Positivisme pengetahuan
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Segala uraian atau persoalan yang
berada di luar apa yang ada sebagai sebagai fakta dikesampingkan.
Bilamana diamati ajaran positivisme
terutama dalam kaitannya dengan pengenalan pengetahuan masih memiliki kesamaan
prinsip terutama dalam hal mengutamakan pengalaman empiris. Positivisme hanya
membatasi diri pada pengalaman objektif dan tanpa melibatkan pengalaman
bathiniah.
Pemikiran
August Comte
Ajaran August Comte yang paling
terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia
perorangan maupun umat manusia secara keseluruhan. Asa tiga tahap zaman
tersebut merupakan suatu hubungan yang tetap.
a. Zaman
teologis
Pada zaman ini manusia percaya bahwa di balik gejala-gejala alam
terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerakan gejala-gejala
tersebut.
Kekuasaan
ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia,
tetapi manusia percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan makhluk-makhluk insani yang biasa.
b.
Zaman metafisis
Dalam
zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang abstrak. Seperti “kodrat” dan “penyabab”. Konsep-konsep
metafisika seperti subsrtansi.
c.
Zaman positif
Pada zaman ini manusia membatasi diri pada fakta-fakta
yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya
manusia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan-urutan yang
terdapat di antara fakta-fakta. Baru dalam zaman terakhir inilah manusia dapa
menghasilkan ilmu pengatahuan dalam artyang sebenarnya atau disebut ilmu
pengetahuan modern (Bertens, 1989: 73).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraan di atas, maka penulis dapat menarik beberapa simpulan, simpulan
tersebut sebagai berikut:
1.
Dari beberapa gambaran tentang
bahasa dapatlah kita ketahui bahwa bahasa itu memiliki karakter dan fungsi. Di
samping itu pula bahasa memiliki peranan yang lebih penting dari semua cabang
ilmu pengetahuan karena melalui bahasa, ilmu pengetahuan dapat ditransfer dan
teraplikasi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena pentingnya
bahasa tersebut, maka bahasa manjadi perhatian para filsuf mengenai hubungan bahasa
dengan masalah-masalah filsafat.
2. Sekalipun
terdapat perbedaan perhatian para filosof abad pertengahan dengan zaman Yunani namun bahasa
masih merupakan teman akrab dalam kegiatan refleksi filosisnya. Hal itu
berlangsung sampai zaman modern dan kemudian disusul filsuf-filsuf abad XX
justru semakin menyadari bahwa kekaburan, kelemahan dan ketidak jelasan
konsep-konsep filosofis dapat dijelaskan melalui analisis bahasa. Para filsuf
analitik berkiprah menjelaskan mengkritik dan mengungkapkan konsep-konsep filosofisnya
melalui analisis bahasa. Bersamaan dengan itu merebak pula reaksi tokoh-tokoh
postmodernisme yang mengakar keberbagai
bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media bahasa sebagai
dasar pijaknya terutama konsep dekonstruksinya.
3. Pandangan para filsuf terhadap bahasa itu
berbeda-beda, mereka memandang bahasa sesuai analisa masing-masing filfuf.
Namun perbedaan ini justru melahirkan pemkiran-pemikiran yang lebih positif
untuk mengkaji bahasa lebih dalam. Upaya-upaya para filsuf untuk menemukan
hakikat bahasa melahirkan konsep-konsep bahasa yang terjamin kebenarnnya.
Karena perbedaan pandangan filsuf itulah, para ahli bahasa terangsang untuk
menemukan kevailidan ilmu pengetahuan bahasa terutama untuk menjawab pertanyaan
mengapa bahasa menjadi sumber perhatian filsafat.
B.
SARAN
Berdasarka uraian di atas, maka penulis menganggap
perlu menyampaikan saran, saran tersebut sebagai berikut:
1.
Penulis
mengharapkan kepada pembaca untuk lebih memahami materi dalam makalah ini,
karena sangat berguna bagi mahasiswa yang memepelajari filsafat bahasa.
2.
Penulis
mengharapkan agar pembaca dapat mengetahui mengapa bahasa menjadi sumber
perhatian para filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komantarnya bossss